Kendati sudah lebih dua tahun draf revisi Undang-undang (UU) Migas Nomor 22/2001 ngendon di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hingga kini revisi UU Migas itu tidak kunjung diselesaikan juga. Molornya revisi UU Migas itu sempat menimbulkan spekulasi bahwa ada upaya dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk menghentikan secara sistemik revisi UU Migas tersebut. Tujuannya untuk mempertahankan status quo agar kepentingan mereka tidak terusik oleh perubahan UU Migas.
Padahal bagi bangsa ini, percepatan pehyelesaian revisi UU Migas sangat urgen. Pasalnya, UU Migas Nomor22/2001 dinilai sangat liberal, yang agar amanah konstitusi Pasal 33UUD 1945. Indikasi bahwa UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 telah dibuktikan dengan adanya putusan judicial review Mahkamah Konstitusi (MK) hingga tiga kali. Putusan MK Nomor I/2003, Putusan MK Nomor 20/ 2007, dan terakhir Putusan MK Nomor 36/ 2012: Hasil studi yang dilakukan Pusat Studi Energi ,UGM (2014) juga menyimpulkan bahwa beberapa pasal UU Migas 22/2001 bertentangan dengan UUD 1945. Ada beberapa pasal UU Migas Nomor 22/2001 yang dinilai MK bemuansa liberal sehingga harus diubah.
Pertama, penetapan produk migas sebagai komoditas pasar, bukan sebagai komoditas strategis. Dampaknya, penetapan harga jual komoditas migas dan pengelolaan lahan migas ditetapkan dalam mekanisme pasar persaingan usaha. Semangat ini mengakomodasi gagasan liberalisasi yang bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, ayat 2 yang berbunyi: “Cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Kedua penetapan Pertamina, BUMN migas yang sahamnya 100% dikuasai negara, sebagai salah satu pemain dalam pengelolaan migas.
Dampaknya Pertamina harus bersaing dengan perusahaan asing dalam setiap bidding untuk memperebutkan pengelolaan lahan migas. Ironisnya, Pertamina selalu kalah dalam menghadapi perusahaan asing untuk merebutkan hak pengelolaan lahan migas di negeri sendiri. Substansi ini melemahkan bentuk penguasaan negara terhadap sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat 2. Ketiga, Keputusan MK Nomor 36/2012 telah membubarkan BP Migas karena dinilai tidak sesuai dengan UUD 1945 sehingga keberadaan BP Migas termasuk inkonstitusional.
Setelah putusan MK itu, pemerintahan SBY mengganti BP Migas menjadi SKK Migas yang ditempatkan dibawah struktur Kementerian ESDM. Keberadaan SKK Migas mestinya bersifat sementara hingga disahkannya UU Migas yang baru. Kalau revisi UU Migas tidak kunjung disahkan, keberadaan SKK Migas yang memiliki fungsi persis sama dengan BP Migas dapat dikategorikan ilegal. Padahal salah satu fungsi SKK Migas adalah mewakili negara dalam menandatangani kontrak pengelolaan lahan migas dengan kontraktor asing. Kalau SKK Migas ilegal, semua perjanjian kontrak yang ditandatangani SKK Migas bisa dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum.
Adanya ketiga substansi UU Migas 22/2001, yang dinyatakan bertentangandengan UUD1945 oleh MK, mestinya itu menjadi alasan kuat bahwa percepatan revisi UU Migas harus segera dituntaskan dalam waktu dekat ini. Kalau DPR masih saja menunda revisi UU Migas itu dikhawatirkan akan timbul berbagai ketidakpastian yang berpotensi merugikan negara. Substansi Revisi UU Migas, Substansi revisi UU Migas Nomor 22/2001 paling tidak harus mengubah ketiga substansi yang dinilai melanggar UUD 1945.
Revisi itu harus mengembalikan migas sebagai komoditas pasar menjadi komoditas strategis yang dikuasai negara bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penetapan harga dan pengelolaan migas ditetapkan sepenuhnya oleh negara melalui peraturan pemerintah. Revisi itu juga harus mengubah posisi Pertamina, sebagai representasi negara, dalam penguasaan dan pengelolaan lahan migas. Sebagai representasi negara, Pertamina harus diberikan privilege sebagai manifestasi penguasaan sumber daya dan infrastruktur strategis migas oleh negara melalui BUMN migas nasional. Privilege itu di antaranya memberikan hak utama dalam penawaran lahan migas yang baru (new block offered), hakutama untuk mengakuisisi lahan yang dioperasikan (existing con tract), dan hak utama mengelola lahan yang kontraknya sudah berakhir (expiring contract).
Selain itu revisi UU Migas juga harus mengubah fungsi SKK Migas yang lebih sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945. Ada dua opsi yang bisa dipertimbangkan dalam menetapkan fungsi SKK Migas. Opsi pertama, SKK Migas dijadikan sebagai BUMN usus dalam skema tiga kaki yang membagi kewenangan kepada Menteri ESDM sebagai perumus kebijakan, menempatkan Pertamina Sebagai operator, dan BUMN khusus berfungsi sebagai regulator dan kontrol. Opsi kedua, menyerahkan fungsi SKK Migas sebagai regulator dan kontrol kepada Pertamina, sesuai dengan skema dua kaki. Fungsi perumus kebijakan tetap djberikan kepada Menteri ESDM, sedangkan Pertamina menjalankan fungsi regulator, kontrol dan operator.
Penetapan ketiga kewenangan tersebut akan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi Pertamina, sebagai representasi negara untuk memanfaatkan sumberdaya migas bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemberian kewenangan yang sangar besar kepada Pertamina harus didalam tata kelola yang transparan yang dapat meminimkan adanya konflik kepentingan bagi Pertamina dalam menjalankan ketiga kewenangan tersebut. Salah satu tata kelola itu adalah adanya pemisahan kewenangan dalam mejalankan ketiga fungsi itu. Kewenangan regulator dan kontrol dilaksanakan oleh Pertamina sebagai holding migas.
Sedangkan kewenangan operator dijalankan oleh anak Pefusahaan Pertamina. Selain ketiga substansi tersebut, revisi UU Migas juga harus mengakomodasi upaya integrasi hulu dan hilir, pengembangan infrastruktur, pembebtujab badan agregator, serta pemenuhan hak daerah dan pembentuk dan Oil fund. Daerah penghasil Migas lebih baik diberi dana bagi hasil. yang diambilkan dari FTP (first trancepetroleum) ketimbang Pemberian hak participatipasi interest yang selama ini tidak memberikan manfaat secara riil kePada daerah. Mengingat penundaaan revisi UU Migas 22/ 2001 sudah terlalu lama, tidak ada alasan bagi DPR untuk menunda lagi.
DPR Sudah seharusnya melakukan percepatan untuk menyelesaikannya pada tahun ini. Kalau ternyata DPR kembali menunda revisi UU Migas 22/ 2001, Presiden Joko Widodo harus berinisiatif untuk menertbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
Koran Sindo, Halaman : 8, Senin, 31 Okt 2016
No comments:
Post a Comment