google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 Berburu Emas Hitam dari Hutan Wonocolo - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

MARKET

Wednesday, November 2, 2016

Berburu Emas Hitam dari Hutan Wonocolo

Menambang minyak mentah dengan Cara tradisional seperti dilakukan di Desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan, Bojonegoro, membutuhkan modal cukup besar. Bau asap knalpot tercium dari jarak ratusan meter. Makin mendekat, polusi udara makin menebal. Tak lama kemudian puluhan mesin-mesin puso meraung dengan keras. Kemudian, tambang haja yang terlilit di gulungan kayu besar diputar. Tali baja terus berputar. Makin atas, suara mesin bertambah kencang. Sekitar 200 meter lebih tali baja itu digulung cepat. Sejuruh kemudian pipa baja dengan diameter 5 meter itu keluar dan menyentuh tanah. Byuur! cairan kuning kecokelatan muncrat dari ujung bawah pipa yang menyentuh tanah.

Paralon baja itu digantung tiga pasak setinggi 12 meter. Cairan berbau belerang menyengat itu mengalir di kolam penampunganwarnanya hitam kehijauan. Airnya mengendap, cairan kental mengambang. Air mengucur ke penampungan bawah melalui pipa berukuran diameter 2 meter. Setelah cairan itu habis, paralon baja ditarik kembali. Begitu seterusnya. Itulah aktivitas sehari-hari pertambangan minyak tradisional di hutan Desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan, Bojonegoro, Jawa Timur.

Tiga tahun lalu, sejumlah penamhang masih menarik seling baja dengan tangan telanjang. Aktivitas semacam itu biasa dilakukan buruh tambang minim modal. Dahulu untuk mendapatkan jantung (minyak mentah), para buruh harus memnuuni lembah dan menarik tali baja yang pangjangnya ratusan meter dengan tangan; Seperti halnya mesin, para kuli minyak ini harus menangkap pipa lantung dari perut bumi. Dalam sehari, perolehan lantung hanya satu drum yang terangkut ke atas.

Namun, hati para kuli minyak sudah puas. Seiring perubahan zaman, saat modal diperoleh, buruh tambang mengganti tenaganya dengan mesin. Puluhan mesin Fuso yang meraung setiap hari itu menjadi pengganti tenaga para buruh. Kegiatan tersehut berlangsung sejak subuh hingga petang hari. Praktik tambang minyak dikerjakan masyarakat setempat di tengah hutan. Namun, kini kawasan hutan yang ditambang itu sudah nyaris tanpa tanaman.

Mungkin sudah belasan atau hingga puluhan hektare kawasan hutan di sekitar itu rusak parah akibat penambangan minyak tradisional, dan entah sejak kapan ribuan batang pohon jati di tempat itu juga ditebang hahis untuk keperluan tambang minyak. Air yang mengalir di sungai jauh-dari jernih. Buih cokelat kehitaman mendominasi aliran air di sekitar lokasi tambang. Besar kemungkinan karena tercemar aktivitas pertambangan di kawasan setempat.

Masyarakat sekitar kawasan hanya tahu, ratusan sumur minyak itu sudah dikelola sejak masa kolonial Belanda. Hingga kini, kawasan itu terus dieksplorasi ratusan penambang tradisional. Meski demikian, penambang bukan cuma-cuma mendapatkan lantung itu. Buruh angkut minyak itu mesti keluarkan kocek cukup hesar dari kantongnya. Sekarang kita mesti punya uang sekitar Rp200 juta 300 juta untuk hisa dapat minyak. Besaran angka modal yang dikeluarkan disebabkan harga peralatan yang diperlukan sangat mahal.

Misalnya, untuk membeli truk bekas, tak cukup duit Rp 75 juta yang dikeluarkan. Begitu juga pemhelian paralon besi dan tambang baja yang dimodifikasi untuk menimba minyak dari perut bumi. Dana ratusan juta itu diperoleh dari patungan belasan orang yang akan mengelola sumur minyak tersebut. Para pengelola juga harus menyiapkan dana yang tidak sedikit untuk biaya persiapan menguras sumur hingga minyak keluar.

Media Indonesia, Halaman : 2, Rabu, 2 Nop 2016

No comments:

Post a Comment

POP UNDER

Iklan Tengah Artikel 1

NATIVE ASYNC

Iklan Bawah Artikel