Tingkat keekonomian proyek kilang minyak di Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Kapasitas pengolahan enam kilang minyak di Tanah Air saat ini hanya 850.000-900.000 barel per hari (bph), sedangkan kebutuhan mencapai 1,6 juta bph. Artinya, sekitar 45%-50% BBM masih di impor untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Proyek dua kilang dengan kapasitas masing-masing 300.000 bph pun masih akan kurang untuk memenuhi defisit BBM tersebut.
Apalagi, ketika dua kilang tersebut telah beroperasi pada 2023 misalnya, kebutuhan BBM bukan lagi 1,6 juta bph, tetapi sudah melonjak seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan penambahan jumlah penduduk. Dalam analisis perusahaan konsultan Bain & Company, sejumlah kilang di Asia Pasifik belum bisa mengurangi impor karena tingginya tingkat konsumsi. Dalam beberapa tahun mendatang, para pemain di sektor pengolahan minyak juga akan menghadapi tantangan berupa pasokan minyak global yang akan semakin sulit diolah karena kandungan sulfur lebih banyak.
Bertambahnya kilang minyak juga akan meningkatkan persaingan dan berubahnya aturan terkait lingkungan seperti penggunaan biosolar dan bahan bakar minyak dengan nilai oktan tinggi demi emisi gas buang yang lebih baik. Bahkan, pada Februari 2016, Presiden Joko Widodo menekankan agar pembangunan sejumlah kilang minyak di dalam negeri mulai berjalan tahun ini. Dalam sambutannya di acara Penandatanganan Kontrak Kegiatan Strategis Tahun Anggaran 2016 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jokowi mengatakan, masa yang diperlukan untuk membangun kilang berkisar 4-5 tahun.
Dua kilang baru akan dibangun yaitu Kilang Tuban dan Kilang Bontang kapasitas masing-masing 300.000 bph. Dalam proyek Kilang Tuban, PT Pertamina bermitra dengan perusahaan migas raksasa asal Rusia, Rosneft. Sementara itu, proyek Kilang Bontang yang berlokasi di Kalimantan Timur belum menunjukkan progres signifikan. Kilang Bontang akan dibangun dengan skema public private partnership (PPP) atau kerja sama pemerintah badan usaha (KPBU).
Namun, saat ini muncul skema lain yaitu penunjukkan langsung pemerintah kepada Pertamina. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 146/2015 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri, pada skema KPBU, pemerintah bekerja sama dengan badan usaha swasta untuk membangun kilang. Pemerintah bisa menyediakan lahan berikut beberapa insentif seperti penangguhan pembayaran pajak. Badan usaha swasta mengeluarkan biaya untuk membangun kilang berikut mengatur dari mana pasokan minyak mentah.
Dari aspek hasil olahannya, diutamakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Skema KPBU memiliki kelemahan yakni membutuhkan persiapan yang lebih lama untuk memulai lelang. Pada skema penugasan, pemerintah akan menunjuk BUMN untuk melakukan konstruksi. Biaya konstruksi dikeluarkan BUMN yang bisa bermitra dengan badan usaha lainnya melalui pembentukan perusahaan patungan seperti yang dilakukan pada proyek Kilang Tuban. Proses pengadaan dianggap bisa dipercepat karena bisa menarik daftar teratas investor yang pemah mengikuti lelang pada proyek Kilang Tuban.
Pasalnya, batas untuk menetapkan pemenang lelang pun tak perlu ditentukan dari awal karena telah melakukan proses pengadaan pada proyek sebelumnya. Deputi Bidang Koordinasi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Wahyu Utomo mengaku tidak mengetahui kenapa ada usulan skema penunjukkan dalam pembangunan Kilang Bontang. Menurutnya, Kilang Bontang masih dibangun dengan skema KPBU sesuai dengan keputusan Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPIP) pada Februari 2016. Padahal, Pertamina mengklaim telah mendapat restu membangun Kilang Bontang pada kesempatan paparan kinerja perseroan kuartal III/2016.
Wahyu mengakui, skema PPP menelan lebih banyak waktu yakni sekitar setahun lebih lama dari skema penugasan. Namun, hal itu lebih baik karena pihaknya masih belum yakin dengan kemampuan finansial Pertamina bila skema pembangunan berubah. Berdasarkan Pasal 20 Peraturan Presiden No. 146/2015, dalam pelaksanaan penugasan dengan pembiayaan korporasi, Pertamina bisa saja mendapat fasilitas pendanaan berupa penyertaan modal negara (PMN), laba yang ditahan, pinjaman Pertamina yang berasal dari dalam atau luar negeri, pinjaman pemerintah dan penerbitan obligasi Pertamina.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menilai, skema KPBU membutuhkan waktu hingga dua tahun untuk bisa memilih pengembang proyek. Pada skema penugasan hanya diperlukan waktu lima hingga delapan bulan untuk menentukan pelaksana proyek. Defisit BBM di Tanah Air yang masih menggunung menjadi alasan utama pengubahan skema tersebut. Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, pemerintah mengupayakan agar skema pembangunan Kilang Bontang bisa diubah.
Adapun, pembicaraan masih dilakukan mengingat belum diperoleh kesamaan suara untuk membangun kilang lebih cepat. Bila hanya menyorot pada perbedaan pendapat tersebut, praktis pembangunan kilang akan kian mundur. Target untuk bisa mengolah sendiri BBM secara penuh pada 2023 dengan kapasitas terpasang 2 juta bph mungkin hanya target di bibir saja bila masih berkutat pada diskusi skema pembangunan kilang.
Pemerintah perlu mengambil keputusan cepat soal Kilang Bontang sehingga penyelesaian proyek tepat waktu pada 2023.
IN ENGLISH
Need Quick Decision
The economic level of the oil refinery project in Indonesia is not in doubt. The processing capacity of six refineries in the country today only 850000-900000 barrels per day (bpd), while demand reached 1.6 million bpd. That is, about 45% -50% of fuel is imported to meet the needs of the community. Project two refineries with a capacity of 300,000 bpd each still be lacking to meet the fuel deficit.
Moreover, when two refineries are now operating in 2023, for example, BBM no longer needs 1.6 million bpd, but has surged along with economic growth and the increase in population. In the analysis of the consulting firm Bain & Company, a number of refineries in the Asia Pacific region can not reduce imports because of high levels of consumption. In the next few years, the players in the oil processing sector will also face the challenge of global oil supply will increasingly difficult to process because it contains more sulfur.
Increased refinery will also increase competition and changing rules related to the environment such as the use of biodiesel and fuel with a high octane rating for the sake of exhaust emissions better. In fact, in February 2016, President Joko Widodo emphasized that the development of a number of oil refineries in the country started running this year. In his speech at the signing of the Contract of Strategic Activities for Fiscal Year 2016 Ministry of Energy and Mineral Resources, Jokowi said the time required to build refineries around 4-5 years.
Two new refineries will be built, namely Tuban and Bontang refinery capacity of 300,000 bpd each. In the Tuban refinery project, PT Pertamina partnered with the giant Russian oil company, Rosneft. Meanwhile, Bontang refinery project located in East Kalimantan has not shown significant progress. Bontang refinery will be built with public private partnership (PPP) or government cooperation with business entities (KPBU).
However, today appeared another scheme namely direct appointment by the government to Pertamina. Based on Presidential Decree No. 146/2015 on the Implementation of Construction and Development of Domestic Oil Refinery, the KPBU scheme, the government in collaboration with private companies to build refineries. The government could provide some incentives like land following the suspension of tax payments. Private entity to pay to build a refinery following set of which the supply of crude oil.
From the aspect of processed products, preferably to meet domestic needs. KPBU scheme has the disadvantage of requiring longer preparation for the start of the auction. On assignment scheme, the government will appoint SOE to do construction. Construction costs incurred SOEs that could partner with other enterprises through the establishment of a joint venture as done in Tuban refinery project. The procurement process is considered to be accelerated because it can attract top list of investors who never follow the auction in Tuban refinery project.
Because the limit set for the auction winner need not be determined from the outset because it has been doing in the previous project procurement process. Deputy for the Acceleration of Infrastructure and Regional Development Coordinating Ministry for Economic Affairs Wahyu Utomo said he did not know why no proposal designation scheme in Bontang refinery construction. According to him, Bontang still built with KPBU scheme in accordance with the Committee's decisions Priority Acceleration of Infrastructure Provision (KPIP) in February 2016. In fact, Pertamina claims to have received approval to build Bontang on the occasion of the company's exposure to the performance of the third quarter 2016.
Revelation admitted, swallowing PPP schemes more time which is about one year longer than the assignment scheme. However, it is better because it is not sure when the scheme's financial capability development Pertamina changed. Under Article 20 of Presidential Regulation No. 146/2015, in the assignment of the corporate finance, Pertamina could obtain financing facility in the form of state capital participation (PMN), retained earnings, Pertamina loans originating from domestic or foreign government loans and bond issuance Pertamina.
Ministry of Energy and Mineral Resources assess, KPBU scheme takes up to two years to be able to select the project developer. On assignment scheme should only take five to eight months to determine the project implementers. The deficit of fuel in the country that still mounting the main reason for changing the scheme. Deputy Minister Arcandra Tahar said the government seek to Bontang refinery construction scheme can be changed.
Meanwhile, talks were carried out considering not obtained the sound similarity to build refineries more quickly. When it highlights the differences of opinion, the practical construction of the refinery will increasingly withdraw. Target to be able to process its own fuel in full in 2023 with an installed capacity of 2 million bpd might be just lip service when the target was still preoccupied with discussions refinery construction scheme. The government needs to take a quick decision about Bontang so that timely completion of the project in 2023.
Bisnis Indonesia, Page-30, Monday, Nov, 21-2016
No comments:
Post a Comment