Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) didesak untuk segera menyelesaikan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pasalnya, pembahasan revisi beleid ini telah dimulai sejak 2010 ketika dicantumkan dalam daftar program Legislasi nasional (Prolegnas) DPR. Koalisi Masyarakat Sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mencatat, tahun 2016 menandai 12 tahun pasca terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi No 002/PUU-I/2003 yang membatalkan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Migas. Tahun ini juga merupakan empat tahun setelah terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi No 36/PUU-X/2012 yang membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).
Namun, meski DPR Periode 2014-2019 telah memasuki tahun ketiga, revisi beleid belum juga kelar. Anggota Badan Pengarah PWYP Indonesia Sulastio menyampaikan, terhentinya pembahasan revisi UU Migas sejalan dengan buruknya kinerja legislasi DPR yang sampai dengan 9 November 2016 hanya menyelesaikan sembilan undang-undang dari 50 yang ditargetkan, atau hanya sekitar 18% saja. Meski selalu masuk
Prolegnas, pembahasan revisi aturan ini terlihat hanya ala kadarnya. Tak hanya itu, prosesnya dinilai kurang transparan. Berdasarkan catatan Indonesia Parlianmentary Center (IPC) atau Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU MD3, evaluasi atas proses Legislasi DPR RI untuk Masa Sidang V Tahun 2016 menunjukkan bahwa rapat pembahasan RUU Migas seluruhnya bersifat tertutup.
Ruang partisipasi masyarakat dalam pembahasan RUU Migas sangat terbatas dan hanya melibatkan pihak secara terbatas, yaitu mitra dari pemerintah. Mengingat bahwa sektor migas adalah sektor strategis, yang rentan ditunggangi oleh kepentingan mafia minyak dan gas, sudah seharusnya proses-proses pembahasannya transparan dan partisipatif. Padahal, dia menilai masa sidang tahun ini merupakan momentum yang tepat untuk merampungkan revisi Undang-Undang Migas. Pasalnya, tahun 2016 ini sepi dari agenda politik seperti penyelenggaraan Pilkada dan persiapan Pemilu 2019.
Pada 2017, DPR akan kembali disibukan dengan agenda politik nasional seperti target pemenuhan paket undang-undang politik dan persiapan penyelenggaraan Pemilu 2019. Koordinator Nasional PWYP Indonesia Maryati Abdullah menambahkan, percepatan revisi Undang-Undang Migas juga terkait dengan berbagai persoalan yang menuntut solusi yang sistemik, salah satunya ancaman nyata krisis energi pada 2025. Menurut data Dewan Energi Nasional (DEN), Indonesia diprediksikan membutuhkan energi 7,49 juta barel setara minyak per hari dengan 47% sumber energi dan migas. Sementara realisasi produksi migas saat ini masih jauh dari angka tersebut.
Karenanya, Maryati meminta Pimpinan DPR untuk mendesak Komisi VII segera membahas revisi UU Migas. Pembahasan RUU migas adalah suatu kegentingan yang tidak boleh ditunda lagi. Komitmen DPR atas agenda pembahasan revisi UU Migas tidak boleh lagi hanya sebatas wacana, tetapi harus disertai dengan langkah nyata. Kami berharap setidaknya sampai akhir masa sidang ini sudah ada draft revisi UU Migas versi DPR untuk kemudian segera dibahas bersama-sama dengan Pemerintah. Pada revisi Undang-Undang Migas ini, Pertamina diusulkan menjadi regulator, pengawas, dan operator kegiatan usaha hulu migas di Tanah Air, menggantikan peran Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Kewenangan perumusan kebijakan dan strategi tetap berada di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Revisi UU Migas sangat mendesak untuk segera mengubah kelembagaan SKK Migas yang lebih sesuai dengan amanat UUD 1945 dan Keputusan Mahkamah Konstitusi. Menurut Fahmy, ada dua opsi yang bisa dipertimbangkan dalam merevisi fungsi kelembagaan SKK Migas. Opsi pertama, SKK Migas dijadikan sebagai BUMN Khusus dalam skema ‘tiga kaki’. Opsi kedua adalah menyerahkan fungsi dan kewenangan SKK Migas ke Pertamina dengan skema ‘dua kaki’. Dari dua skema ini, opsi ‘dua kaki’ paling menarik dan memiliki sejumlah kelebihan.
Beberapa kelebihan opsi ‘dua kaki’ tersebut adalah skema Kementerian ESDM sebagai perumus kebijakan dan strategi serta Pertamina sebagai regulator, kontrol, dan operator. Pertama, Pertamina menjadi tulang punggung (backbone) negara dalam mengembang fungsi pengelolaan sumber daya migas. Kedua, Pertamina pengembang utama privilese yang diberikan pemerintah di sisi hulu (upstream). Ketiga, Pertamina memiliki kapitalisasi aset besar yang memberikan leverage di pasar internasional.
Kelebihan lain dari opsi ‘dua kaki’ ini adalah Pertamina memiliki keleluasan dalam manajemen portfolio upstream. Fahmy mengungkapkan, bila tujuannya untuk memperkuat posisi Pertamina, BUMN yang 100 persen sahamnya dikuasai negara, sebagai representasi negara dalam pemanfaatan sumber daya migas bagi sebesarnya kemakmuran rakyat, opsi ‘dua kaki’ adalah pilihan tepat dibandingkan opsi ‘tiga kaki. Kelemahan opsi ‘dua kaki’ adalah berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dalam menjalankan ketiga fungsi kewenangan.
Untuk mengurangi adanya konflik kepentingan dalam menjalankan ketiga fungsi itu, revisi UU Migas juga harus mengatur adanya perusahan. Kewenangan regulator dan kontrol dilaksanakan oleh Pertamina sebagai holding migas, sedangkan fungsi operator dijalankan oleh anak perusahaan holding migas. Fahmy menegaskan, revisi UU Migas harus memperkuat posisi Pertamina sebagai National Oil Company (NOC) yang merupakan representasi negara dalam penguasaan dan pengusahaan lahan migas. Untuk itu, revisi UU Migas juga harus memberikan privilese kepada Pertamina. Privilese ini meliputi pemberian hak utama dalam penawaran lahan migas yang baru (new block offered), hak utama untuk mengakuisisi partisipasi interest (existing contract), dan hak utama untuk mengelola lahan yang kontraknya sudah berakhir.
IN ENGLISH
Parliament Urged Soon Completes Revised Gas Law
House of Representatives (DPR) urged to complete the revision of Law No. 22 of 2001 on Oil and Gas. Because the discussion of the revision of this policy has been started since 2010 when the program included in the list of national legislation (Legislation) of the House. Civil Society Coalition Publish What You Pay (PWYP) Indonesia noted that 2016 marks 12 years after the publication of the Constitutional Court decision No. 002 / PUU-I / 2003 canceled a number of clauses in the oil and gas law. This year is also the four years after the publication of the Constitutional Court decision No. 36 / PUU-X / 2012 which dissolved the Executive Agency for Upstream Oil and Gas (BP Migas).
However, despite the period of 2014-2019 Parliament has entered its third year, the revision of a regulation has not yet finished. Steering Board Member of PWYP Indonesia Sulastio deliver, cessation of the deliberations on the Oil and Gas Law in line with the poor performance of the DPR legislation until 9 November 2016 just finished nine laws of 50 targeted, or just about 18% only. Although always sign Prolegnas/Legislation, discussion of revision of this rule looks just perfunctory. Not only that, the process is considered less transparent. Based on the record Indonesia Parlianmentary Center (IPC) or the Civil Society Coalition for Law MD3, evaluation of the Parliament's Legislative Session Period V 2016 shows that the discussion meeting after the bill entirely clandestine.
Space for public participation in the discussion after the bill is very limited and only involve a limited basis, which is a partner of the government. Given that the oil and gas sector is a strategic sector, which is vulnerable ridden by mafia interests of oil and gas, should the processes transparent and participatory discussion. In fact, he considered the period of this year's session is the right moment to finalize the revision of oil and gas law. Because the 2016 is devoid of the political agenda such as the organization of elections and the preparation of elections in 2019.
In 2017, the House will return preoccupied with national political agenda as a targeted package of political legislation and preparation of election 2019. National Coordinator of PWYP Indonesia Maryati Abdullah added, accelerating the revision of oil and gas law is also associated with various problems that require systemic solutions, one of them is a real threat of an energy crisis in 2025. According to data from the National energy Council (DEN), Indonesia is predicted to require energy of 7.49 million barrels of oil equivalent per day by 47% of energy sources, oil and gas. While the realization of oil and gas production is still far from that number.
Therefore, Maryati ask the House leadership to urge the Commission VII immediately discuss the revision of the Oil and Gas Law. Discussion of the oil and gas bill is an urgency that can not be postponed again. Parliament's commitment on the discussion agenda revision of oil and gas law may no longer just limited discourse, but must be accompanied by concrete steps. We expect at least until the end of this session already revised draft oil and gas law for the House version and then be discussed together with the Government. In the revised Law on Oil and Gas, Pertamina proposed as regulator, supervisor and operator upstream oil and gas activities in the country, replacing the role of Special Unit of Upstream Oil and Gas (SKK Migas).
The authority of the formulation of policies and strategies remain in the Ministry of Energy and Mineral Resources. Revised Oil and Gas Law is very urgent to change the institutional SKK Migas more in line with the mandate of the 1945 Constitution and the Constitutional Court's decision. According to Fahmy, there are two options that can be considered in revising the institutional functions SKK Migas. The first option, SKK Migas serve as Special SOEs in the scheme of 'three feet'. The second option is to hand the functions and authority of SKK Migas Pertamina schemes 'two legs'. Of these two schemes, the 'two feet' most charming and has a number of advantages.
Some of the advantages of the 'two feet' is a scheme the Ministry of Energy as a formulator of policy and strategy as well as Pertamina as a regulator, control, and operator. First, Pertamina become the backbone (backbone) in the state management function expands oil and gas resources. Second, the main developer Pertamina privileges given by the government on the upstream side (upstream). Third, Pertamina has a great asset capitalization which gives leverage in the international market.
Another advantage of the 'two legs' are Pertamina has flexibility in the management of upstream portfolio. Fahmy said if the purpose is to strengthen the position of Pertamina, the state is 100 percent owned by the state, as a representation of the state in the utilization of oil and gas resources for sebesarnya prosperity of the people, the 'two feet' is the right choice compared to the 'three legs. The weakness of the 'two feet' is a potential conflict of interest in performing the three functions of the authority.
To reduce the conflict of interest in performing the three functions of the revision of the oil and gas law must also manage their firms. The regulator's authority and control carried out by Pertamina as holding oil and gas, while the operator functions are run by a subsidiary of holding oil and gas. Fahmy stressed that the revision of oil and gas law must strengthen the position of Pertamina as the National Oil Company (NOC) that represent the country in the control and operation of oil and gas fields. Therefore, the revision of oil and gas law should also give privilege to Pertamina. This privilege includes the granting of major new oil and gas land deals (new block offered), the primary right to acquire a participation interest (existing contract), and the primary right to manage land whose contract has expired.
Investor Daily, Page-9, Tuesday, Nov,22,2016
No comments:
Post a Comment