Monday, November 28, 2016
Menyerap Gas Masela
Dengan tujuan mengoptimalkan efek pengganda bagi masyarakat sekitar, Presiden Joko Widodo mengubah skema pembangunan kilang di Lapangan Abadi, Blok Masela dari kilang terapung (floating liquefied natural gas/ FLNG] menjadi kilang darat (onshore liquefied natural gas/OLNG]. Pemerintah pun melakukan berbagai cara untuk mempercepat proyek migas tersebut agar berjalan sesuai dengan target. Kementerian Perindustrian dan pelaku industri terkait yang menggunakan gas sebagai bahan baku berembuk guna menyerap gas dari Masela.
Direktur industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam mengatakan, pihaknya baru melakukan pembahasan secara intens pada terkait pemanfaatan gas Masela pada sebulan terakhir. Beberapa perusahaan ‘ditodong’ untuk membuat perencanaan pabrik guna memanfaatkan pasokan gas Masela. Menurutnya, belum ada hasil uji kelayakan untuk membangun pabrik baru terkait dengan pasokan gas dari Masela. Kapasitas pabrik yang akan dibangun pun belum diketahui.
Bahkan, dia menyebul terdapat perusahaan yang juga akan menyerap gas dari proyek Tangguh Train III di Teluk Bintuni yang beroperasi pada 2020 yaitu PT Pupuk Indonesia. Dengan demikian, industri pengguna gas harus menghitung secara cepat agar bisa mendapat jatah gas Masela. Pihaknya telah mengusulkan alokasi untuk tiga perusahaan yang akan membangun pabrik di sekitar proyek kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Perusahaan tersebut yakni PT Pupuk Indonesia dengan kebutuhan gas 240 MMscfd, PT Kaltim Methanol Industri 130 MMscfd, dan PT Elsoro Multi Pratama dengan kebutuhan gas 100 MMscfd.
PT Pupuk Indonesia akan membangun pabrik metanol, oleiin dan poliolefin. Semen tara itu, PT Kaltim Methanol dan PT Elsoro Multi Pratama untuk membangun pabrik metanol. Pembangunan pabrik petrokimia diperkirakan membutuhkan biaya US$ 3,9 miliar dengan pasokan gas yang dimulai 2024. Menurutnya, lokasi di sekitar Masela merupakan pulau-pulau kecil yang sulit untuk membuat kilang LNG dan pabrik turunannya di lokasi yang sama. Sebelumnya pernah disebutkan bahwa pilihan pulau lokasi proyek di Pulau Yamdena, Pulau Selaru, dan Pulau Aru.
Pulau Aru memiliki luas yang cukup untuk membangun kilang dan industri pemanfaat gasnya yaitu 6.325 kilometer persegi Pulau Yamdena luasnya 3,333 km2, dan Pulau Selaru 3.667 kml. Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, pemilihan lokasi memungkinkan akses pipa, memungkinkan dibangun pabrik ‘petrokimia dan memenuhi skala ekonomi. Pemilihan lokasi kilang akan menentukan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan kajian frontend engineering design (FEED). Dari data Kementerian Perindustrian, produksi metanol sebesar 660.000 ton per tahun sedangkan kebutuhannya 813.339 ton.
Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan metanol masih impor 153.339 ton. Kebutuhan metanol pun diperkirakan naik 5,5% per tahun. Namun, dengan mahalnya biaya pengembangan Masela, apakah industri tersebut bisa menyerap gas? Pasalnya, kemampuan industri petrokimia hanya mampu membeli gas dengan harga rata-rata US$4 per MMBtu di tingkat hulu. Sebagai perhandingan, pengembangan Lapangan Kasuri hingga saat ini masih terkendala karena belum mendapat calon pembeli gas. Lalu, bagaimana dengan Lapangan Abadi yang mengalami perubahan skema pembangiman kilang dan hingga kini belum mendapat jawaban atas permintaan untuk membuat proyek berjalan sesuai dengan skala keekonomian.
IN ENGLISH
Absorb Gas Masela
With the aim of optimizing the multiplier effects for the surrounding community, the President Joko Widodo change the scheme to build a refinery in the Abadi field, Masela refinery float (floating liquefied natural gas / FLNG] into the refinery land (onshore liquefied natural gas / OLNG]. The government also made a variety of ways to accelerate oil and gas project to run in accordance with the target, the Ministry of industry and perpetrators of related industries that use gas as a raw material in order to absorb the counsel of the Masela gas.
Director of Upstream Chemical Industry Ministry of Industry Muhammad Khayam said he recently did an intense discussion in the Masela associated gas utilization in the past month. Some companies 'mugged' for planning the plant to utilize Masela gas supply. According to him, there are no results due diligence to build a new factory to supply associated gas from Masela. The capacity of the plant to be built is not yet known.
In fact, he menyebul There are companies that will also absorb the gas from the Tangguh project in Bintuni Bay Train III operating in 2020, PT Pupuk Indonesia. Thus, industrial gas users have to calculate quickly in order to receive rations Masela gas. It had proposed allocations for the three companies will build factories around the project to the Ministry of Energy and Mineral Resources. The company PT Pupuk Indonesia needs 240 MMSCFD gas, PT Kaltim Methanol Industri 130 MMSCFD, and PT Elsoro Multi Pratama needs 100 MMSCFD gas.
PT Pupuk Indonesia will build a methanol plant, oleiin and polyolefins. Temporal, PT Kaltim Methanol and PT Elsoro Multi Pratama to build a methanol plant. Petrochemical plant construction is expected to cost US $ 3.9 billion to supply gas starting 2024. According to him, the location around Masela are small islands that are difficult to make LNG and derivatives plant at the same location. He has previously stated that the selection of the project site on the island of yamdena, selaru and Aru Island.
Aru Island has sufficient area to build a refinery and industrial users of gas that is 6325 square kilometers yamdena extent of 3,333 km2 and 3,667 kml selaru. Deputy Minister Arcandra Tahar said, the choice of location allows access to the pipeline, enabling built factory 'petrochemical and meet the economic scale. Selection of the location of the refinery will determine the costs incurred to conduct a study frontend engineering design (FEED). From the data of the Ministry of Industry, methanol production of 660,000 tons per year, while its needs 813 339 tons.
Thus, to meet the needs of 153 339 tonnes of methanol is imported. Needs methanol was expected to rise 5.5% per year. However, the high cost of development of the Masela, whether the industry could absorb the gas? Because the ability of the petrochemical industry is only able to buy gas at an average price of US $ 4 per MMBtu at the upstream level. As perhandingan, Kasuri Field development is still hampered because potential buyers have not got gas. Then, what about the Abadi field that are changing the scheme pembangiman refinery and has yet to get a reply to a request to make the project go according to economies of scale.
Bisnis Indonesia, Page-14, Monday, Nov,28,2016
Kuli Google Adsense, Admob, Android Developer, ternak tuyul online
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment