Meski penambangan minyak secara tradisional sudah dilakukan ratusan tahun silam, kesejahteraan para pekerja tidak kunjung membaik. Kehidupan mereka seolah-olah jalan di tempat. Perekonomian para kuli minyak ini bisa dilihat dari kondisi rumah mereka dan pola kehidupan yang tidak kunjung berubah dari waktu ke waktu. Nominal pengliasilan jauh berkurang jika dibandingkan dengan tiga tahun silam saat minyak dijual dengan harga Rp 3.000 per liter.
Dengan harga minyak saat itu, dalam sepekan para penambang minyak bisa memperoleh penghasilan sebesar Rp l juta. Kini dalam seminggu, penghasilan antara Rp 300 ribu-Rp 500 ribu. Belum lagi soal sistem kerja yang dilakukan secara bergantian membuat penghasilan mereka harus dibagi dengan anggota kelompoknya. Masing-masing sepekan sekali kerja dengan cara bergiliran. Pendapatan yang mereka peroleh itu digumakan untuk memenuhi kebutuhan hidup selama dua pekan.
Pendapatan yang diperoleh penambang tidaklah besar. Namun, mereka tidak hisa berbuat banyak atau pindah pekerjaan. Penyehabnya ladang pertanian sekitar kawasan tambang juga gersan sehingga tidak bisa diharapkan hasilnya optimal. Dalam beberapa tahun terakhir ini diprediksi produksi ratusan sumur minyak menurun drastis. Akhir April lalu, asosiasi penambang menyebutkan di kawasan ini terdapat 200 titik sumur yang dioperasikan sekitar 2.500 penambang secara bergantian.
Minyak mentah yang diproduksi masyarakat sekitar itu dijual kepada KUD Sumber Pangan, lembaga bentukan Pertamina dan Pemkab Bojonegoro. Sebagian minyak hasil tambang juga dijadikan bahan bakar minyak oleh penambang setempat. Satu sumur dengan rata-rata berkedalaman 300 meter itu mampu memproduksi antara 1-2 ton per hari. Belakangan ini produksi minyak terus menurun, seiring menipisnya kandungan minyak di kawasan itu. Jika tahun lalu sumur-sumur yang masih berproduksi mencapai 200 unit, kini tinggal separuhnya. Minyak mentah (lantung) yang disetorkan ke Pertamina juga berkurang. Saat ini produksi bagus. Penamban masih bisa setor 20-25 armada per hari.
Kini tinggal lima armada atau 25 ribu liter minyak yang disetor jauh berkurang, penambangan terburuk tahun ini. Kondisi ini ditambah dengan berkurangnya perhatian dari berbagai kalangan, termasuk asosiasi yang selama ini mengkoordinasi penarnbang yang sudah tidak aktif lagi. Dengan nominal ongkos angkat dan angkut yang hanya Rp 1.880 per liter membuat sebagian besar penamhang enggan setor ke Pertamina. Alasannya, jika lantung dijual pada penyuling, minyak penambang masih dihargai Rp 2.300 per liter.
Dengan disparitas harga itu membuat penambang enggan setor pada Pertamina melalui KUD. Pemkab Bojonegoro bersama Pertamina EP Cepu bertekad menjadikan tambang minyak Wonocolo sehagai petroleum geoheritage pertama di Indonesia. Pada 27 April lalu, kawasan itu resmi dijadikan desa wisata migas. Namun, sarana pendukung belum sepenuhnya siap. Dua jalan akses masuk yang mengarah ke lokasi belum sepenuhnya baik meski sebagian mulai dilakukan perbaikan. Jalan-jalan pendukung di dalam lokasi wisata masih berwujud jalan makadam. Pemkab telah menyiapkan rumah singgah lengkap dengan dioramanya.
Nantinya akan dirintis jalur untuk of road dan down hill. Beberapa sumur percontohan telah disiapkan, tetapi hingga kini pengerjaannya belum tuntas. Pada tingkat penambang juga terjadi tarik ulur penetapan desa wisata migas tersehut. Mereka khawatir saat tempat wisata tersebut sukses berjalan, aktivitas menambang di sekitar lokasi tidak diizinkan. Para penambang berharap keberadaan desa wisata migas bisa membuat perekonomian mereka makin baik dan sejahtera. Apalagi, saat ini lebih dari 100 titik sumur minyak telah mati sehingga memengaruhi pendapatan mereka.
Media Indonesia, Halaman : 23, Rabu, 2 Nop 2016
No comments:
Post a Comment