Thursday, December 15, 2016
Harga Naik, Tren Produksi Masih Turun
Harga minyak dan gas, tahun depan, cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan dua tahun terakhir. Hal ini berpeluang meningkatkan penerimaan negara secara signifikan. Persoalannya, tren penurunan volume produksi minyak dan gas yang terjadi sejak 2004 masih akan berlanjut pada tahun depan. Dosen Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto menyatakan, terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) menimbulkan ketidakpastian perekonomian global dan berpotensi memunculkan ketegangan antara AS dan sejumlah negara mitra. Hal ini menjadi faktor utama yang mendorong harga minyak dunia naik.
Faktor ini diperkuat dengan keputusan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memotong produksi 1,2 juta barrel per hari, dari 33,7 juta barrel menjadi 32,5 juta barrel. Ini berlaku per Januari-Juni 2017 dan dapat diperpanjang untuk paruh kedua pada 2017. Pri memperkirakan harga rata-rata selama 2017 berkisar 55-60 dollar AS per barrel, sementara asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja N egara 2017 adalah 45 dollar AS per barrel.
Artinya, kenaikan harga minyak akan meningkatkan penerimaan negara. Namun, persoalannya adalah produksi minyak dan gas siap jual konsisten turun. Artinya, kenaikan harga minyak akan mendongkrak sumbangan migas terhadap penerimaan negara pada tahun depan, tetapi tidak terlalu signifikan. ”Jadi, tahun depan, penerimaan negara dari migas akan naik sedikit karena volume produksinya memang kecil. Sudah begitu, konsumsi dalam negeri meningkat sehingga akan semakin sedikit produksi migas yang diekspor,” kata Pri.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, penerimaan negara dari sektor migas anjlok dalam dua tahun terakhir. Ini sejalan dengan produksi migas siap jual yang konsisten turun. Pada periode yang sama, harga minyak dunia juga anjlok. Sejak 2004, produksi minyak siap jual konsisten turun. Saat itu, produksinya mencapai 1.038.000 barrel per hari. Pada tahun-tahun berikutnya, produksi terus turun sampai mencapai 778.000 barrel per hari pada 2015.
Tahun ini, proyeksinya 820.000 barrel per hari. Tahun depan, produksi diasumsikan turun menjadi 815.000 barrel per hari. Tren serupa terjadi pada produksi gas siap jual, dari 1,33 juta barrel setara minyak per hari pada 2010 menjadi 1,15 juta barrel setara minyak per hari pada 2016, Tahun depan, asumsinya 1,15 juta barrel setara minyak per hari alias stagnan. Turunnya produksi sejalan dengan anjloknya harga minyak dunia Setelah mencapai angka di atas 100 dollar AS per barrel selama 2011-2013, harga minyak dunia turun menjadi 97 dollar AS per barrel pada 2014.
Tahun 2015, harganya turun lagi menjadi 40 dollar AS per barrel. Kombinasi kedua faktor tersebut menyebabkan penerimaan negara dari sektor migas anjlok pada dua tahun terakhir. Penerimaan dari migas bersumber dari Pajak Penghasilan (PPh) migas dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas. Realisasi PPh migas pada 2014 adalah Rp 87,4 triliun. Tahun lalu, realisasinya merosot menjadi Rp 49,7 triliun. Tahun ini, proyeksinya Rp 33,4 triliun. Adapun PNBP migas pada 2014 mencapai Rp 216,9 triliun. Tahun lalu, realisasinya anjlok menjadi Rp 78,2 triliun.
Tahun ini, proyeksinya Rp 68,7 triliun. Perhatian minim, Pri berpendapat, isu utamanya terletak pada turunnya produksi migas.siap jual. Tren ini disebabkan minimnya perhatian pemerintah dan DPR pada hulu migas. Indikator utamanya adalah revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang tak kunjung dibahas dan dituntaskan. Padahal, kekosongan hukum di hulu migas terjadi sejak 2012. Hal ini berawal dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berimplikasi pada pembubaran Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).
MK memutuskan pasal yang mengatur tugas dan fungsi BP Migas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat. Gugatan ke MK diajukan oleh sejumlah organisasi masyarakat. Untuk mengisi kekosongan hukum, pernerintah lalu mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 untuk membentuk Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Meski demikian, hal itu dipandang tidak cukup sehingga menimbulkan ketidakpastian dalam iklim investasi hulu migas di Indonesia. Ditambah dengan harga minyak yang turun, eksplorasi migas menjadi lesu. Secara terpisah, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Maxensius Tri Sambodo memproyeksikan harga minyak dunia tahun depan berkisar 55-60 dollar AS per barrel. Pada satu sisi, ini akan meningkatkan penerimaan negara.
Namun, disisi lain, ini akan menggelembungkan biaya impor dan meningkatkan subsidi energi. Dalam sebuah acara, Selasa lalu; Menteri BUMN Rini S Soemarno meminta PT Pertamina agar lebih agresif mengakuisisi blok-blok minyak dan gas bumi yang ada di luar negeri. Akuisisi menjadi tumpuan di tengah sulitnya mencari cadangan minyak dan gas bumi baru di Indonesia. Kontribusi dari hasil akuisisi Cukup signifikan bagi Pertamina. Wakil Direkbur Utama Pertamina Ahmad Bambang menambahkan, dari belanja modal Pertamina yang setiap tahunnya berkisar 6-7 miliar dollar AS, porsi investasi di hulu mencapai 60-70 persen. Untuk akuisisi, Pertamina tengah mempertimbangkan blok migas di Aljazair yang saat ini masih dimiliki Repsol, perusahaan Spanyol.
IN ENGLISH
Prices Rise, Production Trend Still Down
Oil and gas prices, the next year, likely to be higher than the last two years. It is an opportunity to increase revenues significantly. The problem is, the downward trend in the volume of oil and gas production that occurred since 2004 would continue in the next year. Trisakti University lecturer, Pri Agung Rakhmanto states, the election of Donald Trump as President of the United States (US) lead to uncertainty in the global economy and the potential to cause tension between the US and a number of partner countries. This becomes the main factor driving world oil prices rose.
This factor is reinforced by the decision of the Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) production cut of 1.2 million barrels per day, from 33.7 million barrels to 32.5 million barrels. This applies as of January-June 2017 and may be extended for the second half of 2017. Pri estimate average prices for 2017 range from 55-60 dollars per barrel, while the assumption in the Budget N egara 2017 was 45 dollars per barrel.
That is, the increase in oil prices will increase state revenue. However, the problem is the production of oil and gas ready to sell consistently down. That is, the increase in oil prices will boost oil and gas contribution to state revenue in the next year, but not very significant. "So, next year, state revenues from oil and gas will rise slightly due to production volume is small. It's so, so the increased domestic consumption will be less oil and gas production is exported, "said Pri.
Based on data from the Directorate General of Budget, Ministry of Finance, the state revenue from oil and gas sector dropped in the last two years. This is in line with oil and gas production is ready to sell a consistent decline. In the same period, world oil prices also dropped. Since 2004, oil production is ready to sell consistently down. At that time, production reached 1.038 million barrels per day. In subsequent years, production continued to fall until it reached 778 000 barrels per day in 2015.
This year, the projected 820,000 barrels per day. Next year, production is assumed to fall to 815 000 barrels per day. Similar trends occurred in gas production for sale, from 1.33 million barrels of oil equivalent per day in 2010 to 1.15 million barrels of oil equivalent per day in 2016, next year, the assumption of 1.15 million barrels of oil equivalent per day alias stagnant. The fall in production in line with the drop in world oil prices Having risen above 100 dollars per barrel during 2011 to 2013, world oil prices fell to 97 dollars per barrel in 2014.
In 2015, the price dropped again to 40 dollars per barrel. The combination of these two factors led to the state revenue from oil and gas sector plummeted in the past two years. Revenue from oil and gas sourced from the Income Tax (VAT) of oil and gas and Non Tax Revenue (non-tax) of oil and gas. The realization of oil and gas income tax in 2014 was Rp 87.4 trillion. Last year, the realization sank to Rp 49.7 trillion. This year, the projection of Rp 33.4 trillion. As for the oil and gas non-tax revenues in 2014 reached Rp 216.9 trillion. Last year, the realization dropped to Rp 78.2 trillion.
This year, the projection of Rp 68.7 trillion. Attention minimal, Pri argues, the main issue lies in the decline in production migas.siap selling. This trend is due to the lack of attention of the government and parliament on the upstream oil and gas. The main indicator is the revision of Law No. 22 of 2001 on Oil and Gas that can not be discussed and resolved. In fact, the legal vacuum in the upstream oil and gas have occurred since 2012. It originated from the decision of the Constitutional Court (MK), which has implications for the dissolution of the Executive Agency for Oil and Gas (BP Migas).
The Court decided articles regulating the duties and functions of BP Migas as stipulated in Law No. 22 of 2001 on Oil and Natural Gas is contradictory to the 1945 Constitution and has no legal binding. Lawsuit filed to the Constitutional Court by a number of community organizations. To fill the legal vacuum, governmental and issued Presidential Decree No. 95 of 2012 to establish a Task Force While the Upstream Oil and Gas (SKK Migas).
Nevertheless, it was deemed not enough to cause uncertainty in the upstream oil and gas investment climate in Indonesia. Coupled with the fall in oil prices, oil and gas exploration became lethargic. Separately, Indonesian Institute of Sciences researcher Maxensius Tri Sambodo projecting world oil prices next year range from 55-60 dollars per barrel. On the one hand, this will increase state revenue.
However, on the other hand, this will inflate the cost of imports and improve energy subsidies. In a ceremony last Tuesday; SOE Minister Rini S Soemarno asked PT Pertamina to be more aggressive acquisition of blocks of oil and gas that are outside the country. Acquisition of a focus in the middle of the difficulty of finding oil and gas reserves in Indonesia recently. Contributions from the acquisition of significant Enough for Pertamina. Pertamina's vice Direkbur Ahmad Bambang added, Pertamina capital expenditure annually around 6-7 billion dollars, the share of investment in the upstream reaches 60-70 percent. For the acquisition, Pertamina is considering oil and gas block in Algeria, which is still owned by Repsol, the Spanish company.
Kompas, Page-1,Thursday, Dec,15,2016
Kuli Google Adsense, Admob, Android Developer, ternak tuyul online
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment