Thursday, December 8, 2016
Keputusan OPEC dan Sikap Indonesia
Keputusan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak untuk menurunkan produksi minyak para anggotanya pada sidang OPEC minggu lalu, 30 November, dipercaya bisa mendongkrak harga minyak dunia pada 2017. Namun, pada waktu yang bersamaan, Indonesia menyatakan membekukan kembali keanggotaannya dalam OPEC karena tidak bisa mengikuti kesepakatan OPEC untuk menurunkan produksinya. Rumusan OPEC menyatakan bahwa Indonesia harus menurunkan produksi minyaknya hingga 37.000 barrel per hari. Jika asumsi lifting Indonesia tahun 2017 diproyeksikan 820.000 barrel per hari, produksi minyak Indonesia akan diturunkan mencapai angka 783.000 barrel per hari.
Jadi, ada dua hal penting yang kita sorot di sini. Pertama, kesepakatan bulat untuk menurunkan produksi minyak bisa dicapai oleh OPEC untuk pertama kalinya sejak delapan tahun lalu, Kedua, yang menyangkut Indonesia adalah keputusan untuk tidak mengikuti kesepakatan penurunan produksi minyaknya dengan konsekuensi keluar dari organisasi tersebut dengan membekukan keanggotaannya. Beberapa hari sebelum sidang OPEC di kota Vienna tersebut, saya termasuk yang mempertanyakan apakah bisa semua negara anggota OPEC sepakat karena salah, satu masalah. yang sensitif adalah 'bagaimana merumuskan ’jatah” pemotongan minyak untuk setiap anggota OPEC karena menyangkut pula faktor apakah situasi politik dan ekonomi setiap anggota mampu menerima rumusan tersebut.
Ini persoalan klasik sejak puluhan tahun terakhir, dan tidak pernah ditemukan jalan keluar yang memuaskan semua pihak. Ada informasi bahwa Irak, Iran, dan Venezuela juga sudah menyatakan keberatan mereka mengenai rumusan itu. Jadi, tanpa ada persetujuan mengenai isu terpenting OPEC, yaitu mengenai jatah pengurangan, berarti masih terbentang sebuah jalan panjang penuh hambatan ketidakpastian dalam memprediksi harga minyak dunia. Keberatan negara seperti Iran, Irak, dan Venezuela bisa dipahami karena ketiga negara tersebut menghadapi persoalan yang berat di dalam negeri mereka sendiri.
Irak masih dalam suasana perang yang tentu saja memerlukan alokasi dana yang besar untuk menghadapinya. Venezuela sedang dalam situasi ekonomi dalam negeri yang rumit dan belum ada tanda-tanda bahwa pemerintah sekarang mampu mengatasi krisis ekonomi dan juga politik di dalam negeri mereka. Sementara itu, Iran yang baru terbebas dari embargo panjang AS pasti ingin mengoptimalkan produksi mereka untuk mendapat devisa. Baik Irak, Venezuela, maupun Iran mempunyai jumlah penduduk yang cukup besar dan semua memerlukan dana yang besar yang antara lain bisa didapatkan dari ekspor minyak mereka yang tinggi.
Ini sedikit berbeda dengan posisi anggota OPEC lain, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, atau Kuwait, yang relatif punya jumlah penduduk kecil sehingga posisi fiskal mereka lebih terkendali. Negara-negara OPEC pada 2016 menghasilkan minyak sekitar 33,7 juta barrel per hari. Rumusan dari sidang tersebut adalah memotong produksi hingga 1,2 juta barrel per hari dengan formula pemotongan yang berusaha memberi keadilan kepada semua anggota. Tentu saja negara yang produksinya besar mengalami pemotongan yang besar pula seperti Arab Saudi yang harus mengurangi produksi hingga 486.000 barrel per hari dan Irak sampai 210.000 barrel per hari.
Meskipun ada optimisme sebagai hasil dari pertemuan OPEC, dapat saya katakan bahwa sulit mengharapkan harga minyak dunia pada 2017 akan kembali ke Zaman keemasannya seperti beberapa tahun lalu. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa naik dan turunnya tidak akan keluar dari angka 60 dollar AS per barrel. Masih ditambah dengan catatan bahwa anggota OPEC sendiri bisa menjaga disiplin anggota-anggotanya untuk mematuhi keputusan mereka sendiri karena dalam sejarah kita ketahui, biasanya negara seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Kuwait itulah yang disiplin untuk mematuhi jumlah produksi, sementara sebagian besar negara lainnya justru melakukan ”gerilya” agar produksi mereka diam-diam disesuaikan dengan kepentingan negara itu sendiri.
Dengan segala kelemahannya, OPEC paling tidak telah menunjukkan bahwa organisasi ini masih bisa menyandang julukan sebagai salah satu prime mover produksi minyak dunia, walaupun jumlah keluaran minyaknya hanya sepertiga dari produksi total dunia, sementara lanskap produser minyak dunia sudah berubah sejak adanya para pemain baru eks Uni Soviet sérta ditemukannya shale gas di AS.
Kekompakan dan disiplin menjadi kunci utamanya. Dan, diplomasi OPEC untuk meyakinkan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk setuju mengurangi produksi minyak mereka patut dipuji walaupun Menteri Perminyakan Arab Saudi Khalid aJ-Falih sempat mempertanyakan apakah perlu dicapai kesepakatan pengurangan produksi minyak karena ia percaya bahwa pasar minyak akan menemukan keseimbangan sendiri tanpa harus dibatasi atau dicampuri produksinya (The Wall Street Journal, 29/11).
Sikap Indonesia Sikap Indonesia untuk kembali membekukan keanggotaannya dalam OPEC sangat tepat. Sebagai sebuah negara yang menjunjung tinggi etika pergaulan dunia, kita selalu berusaha mematuhi kesepakatan yang diambil dalam OPEC. Apabila kesepakatan tersebut akan merugikan kepentingan nasional sehingga akan menyulitkan, alternatif yang jujur adalah dengan keluar dari kesepakatan tersebut. Kita dahulu (sebelum tahun 2008) anggota OPEC yang cukup disegani, tetapi kemudian keluar dari organisasi tersebut ketika Indonesia dari negara pengekspor minyak perlahan menjadi importir neto minyak.
Kepentingan kita menjadi tidak seiring kepentingan OPEC sendiri. Sebelumnya pemah di isyaratkan bahwa Indonesia bersedia mengurangi produksi minyaknya hingga angka 5.000 barrel per hari, sebuah angka yang sebenarnya tidak cukup signifikan bagi pengurangan produksi OPEC tetapi lebih menunjukkan segi etika kepatuhan dan solidaritas. Jadi rumusan pemotongan hingga 37.000 barrel per hari jelas-jelas akan merusak asumsi APBN kita karena menggerus pendapatan negara yang andalan utamanya masih bertumpu pada penerimaan minyak dan pajak . Pertanyaan seberapa lama Indonesia akan tidak mengikuti organisasi OPEC akan muncul.
Namun melihat prospektif ke depan, agaknya kita sudah harus berani memutuskan untuk tidak masuk lagi ke dalam organisasi itu dan bukan sekadar membekukan keanggotaan. Indonesia mungkin hanya menjadi pengamat (observer). Ada konsekuensi bahwa kita tidak punya peran lagi menentukan harga dan produksi minyak OPEC, tetapi dengan berposisi bebas dan tidak terikat pada kesepakatan OPEC lebih banyak untung dibanding kerugian yang Indonesia peroleh nantinya. Paling tidak, kita bebas menggenjot produksi minyak kita, bebas pula bernegosiasi dengan negara-negara lain, termasuk juga bernegosiasi dengan produsen minyak non-OPEC seperti Rusia.
IN ENGLISH
OPEC decisions and attitudes Indonesia
The decision of the Organization of the Petroleum Exporting Countries to cut oil production OPEC members at a hearing last week, November 30, is believed to boost world oil prices in 2017. However, at the same time, Indonesia declared re-freeze its membership in OPEC because they can not follow the agreement OPEC to cut production. The formulation of OPEC stated that Indonesia should cut oil production by 37,000 barrels per day. If the assumption lifting Indonesia in 2017 is projected to 820,000 barrels per day, Indonesia's oil production will be reduced reach 783 000 barrels per day.
So, there are two important things that we highlight here. First, the unanimous agreement to cut oil production could be achieved by OPEC for the first time since eight years ago, the Second, concerning Indonesia is a decision not to follow the decline in oil production deal with the consequences out of the organization by freezing its membership. A few days before the session of OPEC in Vienna city, I included the question whether all OPEC member countries could agree for one, one problem. sensitive is' how to formulate a 'quota' cutting oil for every member of OPEC because it involves also a factor whether the political and economic situation of each member is able to accept the formula.
This is a classic problem since the last decades, and never found a way out that is satisfactory to all parties. There is information that Iraq, Iran, and Venezuela have expressed their reservations about the formula. So, without any OPEC agreement on the key issues, namely the quota reduction, means there lies a long road full of obstacles uncertainties in predicting oil prices. Objection countries such as Iran, Iraq, and Venezuela is understandable because these countries face severe problems in their own country.
Iraq is still in the war which of course requires the allocation of funds to deal with it. Venezuela is in the economic situation in the country is complicated and there are no signs that the government is now able to overcome the economic crisis and also in their domestic politics. Meanwhile, Iran's newly freed from the long US embargo definitely want to optimize their production to earn foreign exchange. Neither Iraq, Venezuela, and Iran has a population large enough and all require substantial funds, among others, can be obtained from their oil exports were high.
It's a bit different with the position of other OPEC members such as Saudi Arabia, United Arab Emirates, or Kuwait, which has a relatively small number of people so that they are more restrained fiscal position. OPEC countries in 2016 to produce around 33.7 million barrels of oil per day. The formulation of the trial is to cut production by 1.2 million barrels per day by cutting formula that attempts to give justice to all the members. Of course, countries whose production of experiencing greater cuts such as Saudi Arabia which should reduce production by 486,000 barrels per day and Iraq by 210,000 barrels per day.
Although there is optimism as a result of the OPEC meeting, I can say that it is difficult to expect oil prices in 2017 will return to the golden Age as a few years ago. Simply to say that the rise and fall would not be out of the number 60 US dollars per barrel. Was coupled with a note that OPEC members themselves can maintain the discipline of its members to adhere to their own decisions because of the history we know, usually a country like Saudi Arabia, United Arab Emirates, and Kuwait that is the discipline to adhere to production quantities, while most other countries just do a "guerrilla" production so they quietly tailored to the interests of the country itself.
With all its weaknesses, OPEC least have shown that this organization could still hold the title as one of the prime movers of world oil production, although its output of oil is only a third of total world production, while landscape oil producer, the world has changed since the new players former Union Soviet as well as the discovery of shale gas in the US.
Compactness and discipline is key. And, diplomacy OPEC to convince Russian President Vladimir Putin to agree to reduce their oil production praiseworthy despite Saudi Arabian Oil Minister Khalid AJ-Falih had questioned whether it was necessary to achieve an agreement to cut its output because he believes that the oil market will find your own balance without having to be restricted or mixed production (The Wall Street Journal, 29/11).
Attitude Indonesia Indonesian attitude to re-freeze its membership in OPEC is very appropriate. As a country that upholds the etiquette of the world, we always tried to comply with the agreement taken in OPEC. If the agreement would be detrimental to the national interest so that it will be difficult, honest alternative is to get out of the deal. We advance (prior to 2008) are well respected member of OPEC, but then out of the organization when Indonesia from oil-exporting countries are slowly becoming a net importer of oil.
Our interest becomes due interests of OPEC itself. Previous ever in hinted that Indonesia is willing to reduce oil production to 5,000 barrels per day figure, a figure which is not significant enough for OPEC production cuts but rather demonstrate compliance in terms of ethics and solidarity. So the formulation of cutting up to 37,000 barrels per day obviously would ruin our budget assumptions for revenue erode the mainstay of the country still primarily relies on oil revenues and taxes. Question how long Indonesia will not follow OPEC organization will emerge.
But seeing the prospective future, it seems we should be bold decided not to go back into the organization and not just freeze the membership. Indonesia may just be an observer (observer). There are consequences that we do not have a role again determine the price and production of oil OPEC, but with an independent position and is not bound by OPEC deal more profit than losses that Indonesia will earn. At least, we are free to boost oil production, also free to negotiate with other countries, including negotiating with non-OPEC oil producers like Russia.
Kompas, Page-7,Wednesday, Dec,7,2016
Kuli Google Adsense, Admob, Android Developer, ternak tuyul online
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment