Monday, December 5, 2016
Krisis Energi Intai Anak-Cucu
Cadangan minyak di perut bumi Indonesia, tanpa ada eksplorasi baru, diprediksi akan habis 12 tahun-15 tahun lagi. Sementara itu, perkembangan energi non-fosil di Indonesia masih minim. Hal itu diperparah dengan terus naiknya tingkat konsumsi minyak nasional. Saat ini saja angkanya sudah mencapai 1,6 juta barrel per hari (BPH). Adapun produksi minyak hanya 600.000 BPH-800.000 BPH. Ketidak seimbangan antara produksi minyak yang terus turun dengan konsumsi dalam negeri yang terus naik membuat impor tidak bisa terelakkan.
Diprediksi, angka impor minyak akan terus membengkak dari tahun ke tahun hingga mencapai 1 juta BPH-2 juta BPH pada periode 2020-2025 mendatang. Jelas ini sangat mengkhawatirkan, ujar pengamat energi sekaligus Direktur Indonesian Resources Studies Marwan Batubara. Kekhawatiran itu cukup beralasan. Apalagi pemerintah dinilai belum menunjukkan keseriusan mengembangkan energi di luar minyak bumi. Padahal, ada potensi besar mengembangkan industri gas, energi geotermal atau panas bumi untuk listrik, dan bioetanol untuk bahan bakar.
Sayangnya, keseriusan itu dinilai belum tampak. Bahkan ia juga menyoroti dana subsidi BBM yang dipangkas pemerintah belum terasa mengalir untuk pengembangan energi terbarukan. Begitu juga anggaran di Direktorat Jenderal Energi Baru dan Terbarukan, serta Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM justru dipangkas pada APBN-P 2016. Berbagai persoalan di sektor energi itu harus segera diselesaikan. Sebab, generasi yang akan datang akan menanggung beban berat akibat persoalan itu. Indonesia diyakini akan terus tergantung dengan impor minyak bila tidak ada keseriusan mengembangkan energi baru terbarukan.
Akibatnya, devisa negara akan terus terkuras hanya untuk impor minyak. Kenaikan harga minyak dunia ke angka 80 dollar AS-100 dollar AS per barrel seperti beberapa tahun silam masih menjadi bayang-bayang. Bila itu terjadi lagi, maka pemerintah harus mengeluarkan lebih banyak rupiah untuk impor minyak. Sedangkan dari sisi APBN, pemerintah sudah kepayahan meningkatkan penerimaan negara di tengah lemahnya pertumbuhan ekonomi global, anjloknya harga komoditas, hingga gejolak pasar keuangan. Padahal, APBN adalah ruh perekonomian dan pembangunan bangsa.
IN ENGLISH
Energy Crisis Reconnaissance Children Grandchildren
Oil reserves in the bowels of the Earth Indonesia, without any new exploration is predicted to be depleted 12 years-15 years. Meanwhile, the development of non-fossil energy in Indonesia is still minimal. It was compounded by the continued rise of national oil consumption. At this moment, the figure has reached 1.6 million barrels per day (CPD). The oil production is only 600,000 BPH BPH-800,000. Imbalance between oil production continues to fall with domestic consumption continues to rise makes imports can not be inevitable.
Predictable, figures oil imports will continue to grow from year to year until it reached 1 million-2 million BPH BPH in the 2020-2025 period. Obviously this is very worrying, said energy analyst and Director of the Indonesian Resources Studies Marwan Coal. The concerns were well-founded. Moreover, the government considered not showing seriousness develop energy beyond oil. In fact, there is great potential for developing the gas industry, geothermal energy or geothermal energy for electricity and ethanol for fuel.
Unfortunately, the seriousness of it is considered not visible. In fact, he also highlighted the funding cut fuel subsidies that the government has not seemed to flow for renewable energy development. Likewise, the budget in the Directorate-General of New and Renewable Energy and Energy Conservation (EBTKE) MEMR precisely trimmed in APBN-P 2016. Various problems in the energy sector must be resolved. Therefore, future generations will bear a heavy burden due to the problem. Indonesia believed would continue to depend on oil imports when there is no seriousness develop new energy sources.
As a result, foreign exchange will continue to drain only for oil imports. The increase in world oil prices to 80 dollars to 100 dollars per barrel as a few years ago is still a shadow. If it happens again, then the government has to spend more rupiah to oil imports. In terms of the state budget, the government has exhausted increase state revenues amid weak global economic growth, commodity prices, until the financial market turmoil. In fact, the budget is the spirit of the nation's economy and development.
Harian Bangsa, Page-5, Monday, Dec,5,2016
Kuli Google Adsense, Admob, Android Developer, ternak tuyul online
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment