google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 MENIMBANG SISTEM BAGI HASIL MIGAS YANG PAS - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

Wednesday, December 14, 2016

MENIMBANG SISTEM BAGI HASIL MIGAS YANG PAS


    Belakangan ini, Kementerian ESDM menggulirkan rencana mengubah sistem bagi hasil migas dari production sharing contract (kontrak Bagi Hasil/KBH) menjadi gross split (GS). Seperti diungkapkan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar, yang dikutip beberapa media beberapa waktu lalu, alasan penggantian sistem bagi hasil adalah meningkatkan efisiensi kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) dengan menghilangkan cost recovery dan meningkatkan keuntungan negara dengan tidak meninggalkan fungsi kontrol.

    Pada pelaksanaannya nanti, besarnya GS akan bersifat fleksibel, di antaranya tergantung kondisi cadangan migas, lokasi, hingga teknologi yang digunakan. Sekilas, sistem kontrak yang diusulkan terlihat jauh lebih baik dan sistem KBH yang saat ini berjalan dan bisa meningkatkan pendapatan negara dari sektor migas. Tetapi benarkah? Kalau kita melihat kembali teori mendesain sistem kontrak migas, ada beberapa faktor utama yang menjadi dasar pertimbangan, antara lain besarnya keterlibatan negara yang diinginkan dalam usaha hulu migas.

    Pertimbangan lainnya adalah besarnya potensi cadangan migas yang dimiliki serta kemajuan industri pendukung migas, dan tingkat ketergantungan keuangan negara terhadap pendapatan dari sektor migas. Semakin besar campur tangan negara, bagian pendapatannya akan semakin besar dan akan kurang menarik buat investor. KBH adalah contoh kontrak dengan keterlibatan negara yang besar dan sistem konsesi adalah contoh sebaliknya.

    Sistem GS seperti yang saat ini diusulkan pada dasarnya adalah sama dengan sistem konsesi/royalti, di mana negara mendapatkan bagian penerimaan dari royalti, pajak dan fee lainnya. KKKS bertanggung jawab penuh terhadap hal-hal teknis operasional dan biaya operasi yang ditimbulkan. Sampai saat ini belum ada contoh negara yang menerapkan sistem konsesi/royalti, di mana pemerintah ikut mengkontrol kegiatan operasional seperti dalam sistem KBH.

    Bisa saja pemerintah membuat, aturannya, tetapi apakah ada investor yang akan tertarik? Pemikiran bahwa cost recovery cenderung dibesar-besarkan adalah kesimpulan yang terlalu dini untuk dijadikan alasan pergantian sistem. Dalam konsep KBH, KKKS juga akan ikut menanggung beban cost recovery yang dibesar-besarkan. Contohnya, jika pendapatan kotor adalah 120 dan biaya operasi 20, maka pendapatan bersihnya adalah 100, yang kemudian dibagi menjadi 85 untuk bagian negara dan 15 bagian KKKS.

    Tetapi jika biaya operasi membengkak menjadi 40, maka pendapatan bersih berkurang menjadi 80 dan bagian KKKS akan berkurang menjadi 12. Pendapatan pemerintah akan berkurang dan demikian pula KKKS. Lalu jika cost recovery dianggap tidak efisien, apakah yang menjadi pembandingnya? Apakah Kementerian ESDM memiliki perbandingan lifting cost (biaya yang dibutuhkan untuk mengangkat 1 barel minyak ke permukaan) Indonesia dibandingkan negara lain? Atau perbandingan lifting cost di negara yang menerapkan sistem KBH vs GS? Kemudian jika KBH diganti menjadi GS, apakah cost recovery (yang berakibat langsung terhadap lifting cost) akan menjadi turun? Cost recovery yang tinggi tidak otomatis menunjukan ketidakefisienan kinerja KKKS mengingat mayoritas lapangan-lapangan migas di Indonesia sudah beroperasi lebih dan 20 tahun.

    Analoginya, mobil tua membutuhkan biaya perawatan lebih tinggi. Selain itu jangan lupa bahwa selama ini ada beberapa kebijakan pemerintah yang berlawanan dengan usaha KKKS menurunkan lifting oost, seperti pelarangan pengurangan pegawai di saat harga minyak dunia- terpuruk. Disinilah sebenamya keunggulan KBH dibandingkan dengan konsesi/royalti karena pemerintah memiliki keleluasan untuk mengejar dampak multiplier effect buat masyarakat. Contohnya, seperti yang sudah diterapkan terhadap proyek pengembangan Blok Masela dengan kewenangannya mengkontrol manajemen usaha hulu migas.

    Justifikasi lain yang dikemukakan untuk menerapkan GS adalah potensi bagian penerimaan negara yang lebih baik dari KBH. Dari tingkat risiko investor, hal ini justru berlawanan arah. GS memiliki resiko ketidakpastian (baik dalam masa ekplorasi atau setelah tahap pengembangan) yang lebih besar meskipun bisa diktukar dengan penambahan klausul kontrak seperti adanya penyesuaian pembagian pendapatan berdasarkan besarnya cadangan yang ditemukan, biaya untuk mengembangkannya atau jumlah produksi yang dihasilkan. Dalam perhitungan ke ekonomian, risiko ini akan menjadi komponen biaya yang akan dimasukkan investor dalam menawar lelang kontrak wilayah kerja pertambangan baru.

    Investor akan meminta bagi hasil yang lebih besar untuk kompensasi biaya tersebut yang tentu saja akan mengurangi bagi hasil negara. Dalam sistem KBH, risiko investor hanya terjadi saat proses eksplorasi. Oleh karena itu investor ‘bisa menerima' jika bagian penerimaannya lebih kecil jika dibandingkan sistem konsesi/ royalti. Beberapa publikasi dapat menjadi referensi perbandingan besarnya penerimaan negara di seluruh sistem kontrak migas dunia.

    Contohnya, yaitu laporan Government Accountability Office ke Komite Energy & Natural Resources USA pada Mei 2007, yang menunjukkan total persentase penerimaan AS dari Gulf of Mexico sebesar 42%, UK Shallow Water (40,77%), Joint Development Area Thailand-Malaysia ((»4.3%), Malaysia Deep Water (67,4%), China offshore (74,1 %), Indonesia Onshore (80,13%), dan Indonesia Offshore (71,01 %). Referensi lainnya, yaitu SPE Paper 77912 berjudul Fiscal Regimes Competitiveness Comparison of Oil and Gas Producing Countries in the Asra Pacific Region: Australia, China, Indra, Indonesia and Malaysia yang berkesimpulan bahwa dari sisi investor, model kontrak yang paling disukai adalah China, India, Malaysia dan Indonesia.

    Hal ini sangat wajar karena seperti yang dibahas sebelumnya, persentase bagian negara Indonesia jauh lebih besar dari negara lain sehingga kurang menarik buat investor. Laporan Indonesia Petroleum Association, Mei 2009 yang berjudul Gross Sharing with Additional Payments: An Altemative to PSC Non-Cost Recovery to Overcome Increasing Cost Recovery Issues juga menyatakan bahwa sistem GS akan memiliki kesulitan untuk menarik investor di wilayah kerja pertambangan baru karena memiliki risiko ketidakpastian yang lebih tinggi.
Akibatnya pemerintah harus menurunkan porsi bagi hasilnya untuk menarik investor.

    Lalu, apakah sistem GS layak diterapkan? Kalau memang tujuan Kementerian ESDM saat ini adalah untuk menarik investor dan meningkatkan iklim investasi, bisa jadi GS atau sistem royalti/kontrak seperti yang diterapkan negara lain, seperti AS, Norwegia, dan Eropa layak dipertimbangkan. Termasuk juga mempertimbangkan risiko rasio penerimaan negara dan fungsi kontrol yang berkurang.

    Tujuan yang akan dicapai, sistem yang akan diterapkan, dan alasan yang dikemukakan hendaklah harus saling mendukung dan konsisten untuk menghindari kebingungan publik. Karena bisa saja persentase bagian negara mungkin hanya 50% dari pendapatan 200. Namun porsi itu tentu lebih baik jika dibandingkan dengan sistem yang hanya memberikan perentase 80% dari pendapatan 100.

    Selain itu disarankan juga untuk fokus kepada hal-hal langsung yang lebih esensial seperti penyederhanaan birokrasi perizinan, memetakan lifting cost KKKS di seluruh Indonesia, dan bersinergi untuk menurunkannya serta mengurangi pelontaran isu-isu yang tidak perlu Selamat bekerja untuk Pak Menteri & Wakil Menteri!

IN ENGLISH

CONSIDERING GAS SYSTEM REVENUE SHARING THE PAS

    Recently, the Ministry of Energy and Mineral Resources rolling plan to change the system for oil and gas from the production sharing contract (Contract Sharing / KBH) to gross split (GS). As expressed by the Deputy Minister of Energy and Mineral Resources (ESDM) Arcandra Tahar, who quoted some media some time ago, the reason for the replacement of profit-sharing system is to improve the efficiency of the contractor cooperation contract (PSC) by eliminating the cost recovery and increase state benefits by not leaving the control function ,

    In practice later, the magnitude of the GS will be flexible, depending on the condition of which oil and gas reserves, the location, to the technology used. At first glance, the proposed contract system looks much better and KBH system that is currently running and could increase state revenues from oil and gas sector. But is it true? If we look back oil and gas contract system design theory, there are several key factors which form the basis of consideration, among others, the desired amount of state involvement in upstream oil and gas.

    Another consideration is the amount of potential oil and gas reserves owned and progress in supporting oil and gas industry, and the level of the country's financial dependence on revenue from oil and gas sector. The greater the intervention of the state, the greater part of their income and would be less attractive for investors. KBH is an example of a contract with the involvement of a large country and the concession system is an example of the opposite.

    GS system as currently proposed in essence is the same as the concession system / royalties, where countries get a share of revenue from royalties, taxes and other fees. PSC is fully responsible for technical matters of operational and operating costs incurred. Until now there has been no examples of countries that apply the system of concession / royalties, where the government took control of operational activities in the system KBH.

    Only the government can make, the rules, but if there are investors who would be interested? Thought that cost recovery is likely to be exaggerated conclusions too early for any reason the turn of the system. In the concept of KBH, PSC will also bear the burden of cost recovery are exaggerated. For example, if the gross income is 120 and 20 operating costs, the net income is 100, which is then divided into 85 to parts of the country and 15 parts KKKS.

    But if the operating costs swelled to 40, net income was reduced to 80 and part of PSC's will be reduced to 12. The Government revenues will be reduced and so are the PSC. So if cost recovery is considered inefficient, what is the comparison? Does the Ministry of Energy has a ratio of lifting cost (cost required to lift the first barrel of oil to the surface) Indonesia compared to other countries? Or comparisons lifting cost in countries that implement KBH vs GS system? Then if KBH changed to GS, whether cost recovery (direct result of the lifting cost) will be down? High cost recovery does not automatically indicate inefficiencies in the performance of PSC since the majority of oil and gas fields in Indonesia and has been operating over 20 years.

    Analogues, old cars require higher maintenance costs. Also do not forget that during this time there are several government policies contrary to the PSC's efforts to lower lifting Oost, such as the prohibition of layoffs in the world- as oil prices slumped. KBH is where the actual advantages compared with concession / royalties because the government has the flexibility to pursue impact multiplier effect for society. For example, as has been applied to development projects Masela with the authority to control the management of upstream oil and gas.

    Another justification put forward to implement the GS is a potential part of the country a better acceptance of KBH. From the level of risk investors, this is precisely the opposite direction. GS has a risk of uncertainty (either during or after the exploration stage of development) is great although it could diktukar with the addition of a contractual clause as an adjustment of revenue sharing based on the size of the reserve is found, the cost to develop it or the amount of output produced. In the calculation to the economy, this risk will be a cost component will be put investors in a bid auction new contract mining work areas.

    Investors will ask for a bigger payoff for compensation of such costs which of course would reduce state revenue sharing. In the system KBH, investors risk only occurs when the exploration process. Therefore, investors 'accept' if acceptance section is smaller than the concession system / royalties. Some publications can be a reference comparison of the magnitude of the reception countries around the world system of oil and gas contracts.

    For example, the Government Accountability Office report to the Committee on Energy & Natural Resources USA in May 2007, which shows the total percentage of US acceptance of the Gulf of Mexico by 42%, UK Shallow Water (40.77%), Joint Development Area Thailand-Malaysia (( »4.3%), Malaysia Deep Water (67.4%), offshore China (74.1%), Indonesia Onshore (80.13%), and Indonesia Offshore (71.01%). other references, namely SPE Paper 77 912 Fiscal regimes titled Competitiveness Comparison of Oil and Gas Producing Countries in the Asra Pacific Region: Australia, China, Indra, Indonesia and Malaysia which concluded that on the side of investors, the most preferred contract model is China, India, Malaysia and Indonesia.

    It is very reasonable because as discussed earlier, the percentage parts of the Indonesian state is much larger than the other countries making it less attractive for investors. Report of Indonesia Petroleum Association, May 2009 entitled Gross Sharing with Additional Payments: An Altemative to PSC Non-Cost Recovery to Overcome Increasing Cost Recovery Issues also stated that the GS system will have difficulty attracting investors in the mining area recently because it has the risk of uncertainty higher. As a result, the government should lower portion of the proceeds to attract investors.

    Then, if the GS system is feasible? If indeed the Ministry of Energy goal now is to attract investors and improve the investment climate, it could be GS or the royalty system / contract as applied to other countries, like the US, Norway, and Europe is worth considering. Included also consider the risk ratio of revenues and control functions are reduced.

    Objectives to be achieved, the system will be applied, and the reasons stated must be of mutually supportive and consistent to avoid public confusion. Because it can be a percentage parts of the country may be only 50% of the revenue portion 200. However, it is certainly better than the system that only provides 80% of the revenue perentase 100.

    In addition it is also advisable to focus on things more immediately essential services such as simplification of bureaucratic licensing, map out lifting cost KKKS throughout Indonesia, and work together to bring it down and reduce hurling issues that do not need Congratulations to work for the Minister and Deputy Minister!

 Bisnis Indonesia, Page-1, Wednesday, Dec,14,2016

No comments:

Post a Comment

POP UNDER

Iklan Tengah Artikel 1

NATIVE ASYNC

Iklan Bawah Artikel