Wednesday, December 14, 2016
Oil and Gas Outlook Still Gloomy Next Year
Despite potential crude price hikes after a ncarly lwo-year slump, the upstream oil and gas sector may not benefit much from higher global investment duc to overbearing policies and lack of business certainty. Global crude price has gained around 17 percent since the Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) agreed to cut output by 1.2 million barrels of oil per day (bpod) next year, according to Bloomberg.
Although the output reduction will only be partially applied by its members, lower production will still lead to an annual crude price average of US$53 to $58 per barrel on benchmark Brent Crude, according to energy think tank Wood Mackenzie. Prices may further increase to $60 to $65 per barrel by May next year if non-OPEC members meet their commitment to trimoutput by 558,000 bopd.
According to Andrew Harwood, Wood Mackenzie’s Asia Pacific research director for upstream oil and gas, global investment in exploration and production activities, in line with the price trend, global investment in exploration and production activities will also climb to $450 billion, up 3 percent from this year, despite still 40 percent below investment in 2014. In addition, around 20 to 25 financial investment decisions will be completed in 2012 rising exponentially from a measly nine this year.
In spite of this brighter outlook, the energy consultancy group predicts Indonesia would not benefit from higher crude prices as well as bigger global investment due to the country’s notorious reputation of rampant red tape. “On a pure fiscal basis, Indonesia compares with some of the countries we’ve mentioned,” Harwood said at the 2016 Pertamina Energy Forum on Tuesday. “What investors are looking for, though, is legal certainty and policies that stimulate investment and I think that is an area where Indonesia falls down.”
Indonesia falls into the category of countries with high prospectivity and fiscal attractiveness to lure investment, which also include the United States and Australia. Despite this potential, as of end of November, investment in the upstream oil and gas sector only stood at US$10.43 billion, comprising $10.3 billion for production activities and $309 million forexploration activities, according to data from the Upstream Oil and Gas Regulatory Special Task Force (SKKMigas).
Although the government aims to garner $ 12.05 billion, total investment is expected to reach only $ 11.4 billion, dropping from about $14 billion booked last year. Several major investors, including Total E&P Indonesie, Chevron Indonesian and ConocoPhillips Indonesia, will likely decrease their investment in Indonesia, according to the consultancy group.
Acknowledging ongoing policy reforms, Harwood, however, noted that the efforts to address red tape did not run as rapidly as expected, while the offered fiscal terms remained undesirable. “More needs to be done and quicker, and you’re not going to see the tangible benefits of it, for example more wells, more investment until toward the end of this decade,” he said.
Oil and gas industry players also shared similar concerns. Indonesian Chamber of Commerce and Industry (Kadin) head of energy oil and gas regulations Firlie Ganinduto maintained a gloomy outlook, particularly about domestic oil exploration, as investors would be reluctant to place their money without legal certainty.
“Basically they all want to invest in a long-term plan, at least for around10 to 20 years. But it’s hard to convince them if we change regulations each time a new president, or even a new minister, takes oflice,” Firlie said. All players were waiting to see the results of the government’s plan to replace the cost recovery scheme for the upstream oil and gas industry with the so-called gross-split sliding scale, he added.
IN INDONESIA
Pemerintah Berbicara tentang Gross Split
Pemerintah berencana untuk menerapkan split skema kotor dalam pengelolaan proyek minyak dan gas nasional. Skema berpisah dari yang direncanakan kotor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merupakan salah satu solusi untuk menekan dana yang dialokasikan setiap tahun dalam APBN (APBN) sebagai pengganti dari hulu biaya operasi minyak dan gas (cost recovery). Bisnis tidak dapat menerima referensi untuk skema perpecahan kotor yang akan dijalankan oleh pemerintah.
Skema ini disebut untuk mengubur bisnis dalam negeri, terutama yang mendukung industri minyak dan gas. Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Sektor Migas Bobby Gafur mengatakan bahwa sejauh ini telah mendapatkan informasi langsung dari Menteri mengenai perubahan skema cost recovery menjadi kotor split. Jika peraturan ini ditandatangani, yang berarti bahwa negara tidak lagi kewenangan untuk mengatur kontraktor ini.
Bobby menjelaskan bahwa skema itu telah diselenggarakan gross memang terbelah kabinet. Selain itu, Presiden Joko Widodo menekankan bahwa di masa depan skema ini langsung menjalankan mulai tahun depan. Hal ini membuat Departemen Energi bergerak cepat untuk memastikan skema tersebut bisa dilaksanakan. Sayangnya, panggilan bisnis, skema ini harus disebarluaskan di muka, sehingga ada kejelasan seperti apa dampak positif dari skema.
Bobby mengatakan, tidak keinginan pemerintah untuk mendorong industri nasional kurang. "Berdasarkan diskusi kami, intinya kita takut karena tidak ada sosialisasi. Ini menjadi mimpi buruk kami. Sekarang setiap konten dari industri lokal (DCL) kita masih sulit, harga yang diminta rendah. Setelah kami 'tidur' karena harga minyak rendah, ini skema benar-benar dapat membuat tidur lebih lama, "kata Bobby. Wakil Presiden Direktur PT Pertamina Ahmad Bambang menilai jika skema yang diterapkan untuk menghilangkan fungsi perpecahan Unit Khusus kotor Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). "Jika hal itu terjadi dengan model (gross split), fungsi SKK Migas sehingga tidak ada, kontrak telah ditandatangani dan tidak perlu untuk mengawasi produksi," kata Ahmad.
Menurut Ahmad, apapun yang terjadi, pemerintah memiliki diskresi untuk memutuskan. Ia menilai, saat ini dalam mekanisme cost recovery masih ada masalah. Masalahnya adalah Ahmad adalah operasi utang cost recovery telah dilakukan. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan membagi skema kotor tidak membatasi kontraktor dalam penggunaan teknologi. "Terserah kontraktor, kotor perpecahan kesempatan yang dapat dimanfaatkan.
Jika sekarang, untuk menyertakan teknologi, butuh berapa lama? Dengan gross split, mempercepat proses, "kata Arcandra. Gross perpecahan adalah skema untuk produksi minyak dan gas, yang dibagi antara pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) yang dilakukan tepat setelah produksi minyak dan gas kotor. Arcandra kata, saat ini banyak bidang marginal di Indonesia. Untuk pengembangannya, membutuhkan senjata teknologi yang dapat memaksimalkan potensi yang ada.
Dengan teknologi yang ada, menurut Arcandra, mahal untuk tujuan produksi. Dengan demikian, Salah satu solusi yang ditawarkan kepada kontraktor membagi perjanjian pembagian pendapatan kotor. Artinya, jika yakin kontraktor dengan teknologi yang membawa kita tidak membatasi, mengembangkan lapangan. Ingin menggunakan teknologi dari mana saja, ini adalah kesempatan. Pemerintah hanya melihat berapa banyak output itu, "kata Arcandra.
Jakarta Post, Page-13, Wednesday, Dec,14,2016
Kuli Google Adsense, Admob, Android Developer, ternak tuyul online
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment