Saturday, December 10, 2016
Perusahaan Induk Migas dan Ketahanan Energi
Dunia energi telah berubah. Kita lihat fakta-fakta ini: pada era 1960-an, industri minyak dunia dikuasai oleh The Seven Sisters, perusahaan raksasa global yang kini kita kenal sebagai International Oil Company (IOC). Mereka adalah Mobil Oil, Chevron, Shell, BR Exxon, Gulf Oil, dan Texaco. Mereka menguasai lebih dari 85 persen cadangan minyak dunia. Hanya 1 persen yang dikelola perusahaan negara atau BUMN (national oil company/NOC). Selebihnya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan minyak milik eks Uni Soviet.
Kondisi itu berbalik. Porsi IOC tinggal 7 persen. Lebih dari 85 persen migas dunia kini dikuasai NOC dan sisanya Rusia.
Mengapa peran NOC di dunia migas meningkat? Sederhananya begini. Migas adalah sumber daya alam yang tak dapat diperbarui. Dengan ledakan penduduk, permintaannya melonjak terus, sementara cadangan migas dunia juga turun dan menakutkan banyak bangsa. Ini menimbulkan kesadaran, pengelolaan sumber daya migas tak bisa terlalu banyak diserahkan kepada asing, terutama IOC, karena membahayakan ketahanan energi.
Maka, wajar jika banyak negara kemudian mengalihkan pengelolaan sumber daya migas ke NOC-nya. Itu yang membuat peran NOC kini menjadi lebih besar. Ini berbeda dengan kondisi 1990-an saat dunia sedang kelebihan cadangan minyak dan negara pasar seperti Indonesia sedang kalah menghadapi kehendak negara adikuasa pemilik IOC. Bahkan, saat itu ada gagasan dari lembaga keuangan dunia untuk memecah Pertamina menjadi 2-3 perusahaan dengan alasan ”ia sudah terlalu besar dan kuat”. Beruntung hal itu tidak terjadi. Namun, upaya itu tak pernah berhenti.
Padahal, Pertamina justru harus diperbesar untuk menjalankan peran lebih berat di masa depan. Lalu, dalam kondisi demikian, di mana posisi Pertamina hari ini dan perannya dalam menjamin ketahanan energi kita? Sebelum masuk ke sana, saya ajak Anda melihat kondisi industri migas di dalam negeri dan luar negeri. Di dalam negeri, ladang-ladang minyak kita saat ini sudah dalam kondisi mature. Maksudnya, produksinya sudah melampaui titik tertinggi dan sedang bergerak menurun meski untuk gas, saya lihat, masih ada peluang untuk meningkat. Sayangnya, penurunan produksi minyak ini tak diimbangi upaya-upaya untuk menemukan cadangan-cadangan baru atau kerap disebut recovery rate (RR).
Idealnya tingkat RR industri ini 100 persen. Artinya, kalau kita mengambil 1 barrel minyak mentah dari perut bumi, mesti diimbangi dengan upaya menemukan cadangan dalam volume sama. Kenyataannya RR kita bahkan kurang dari 40 persen. Masalah lainnya, infrastruktur buruk. Kita terakhir kali membangun kilang lebih dari 20 tahun silam. Biaya paling murah untuk mengirimkan minyak dari ladang-ladang minyak ke kilang, atau dari kilang ke depo-depo penimbunan, juga dari depo ke stasiun pengisian bahan bakar untuk umum adalah lewat pipa.
Kenyataannya panjang pipa yang sudah kita bangun selama ini jauh dari mencukupi. Misalnya, panjang pipa BBM di Jawa baru mencapai 1.283 kilometer. Padahal, kebutuhannya mencapai 2.239 kilometer. Maka, jadilah minyak mesti kita angkut dengan truk-truk tangki yang lebih rawan kecelakaan dan rawan macet. Problem berikutnya adalah stok minyak mentah atau hasil olahannya. Saat ini stok BBM kita baru untuk 20 hari. Itu pun sebetulnya stok BBM yang ada di kilang dan depo. Bukan untuk stok.
Kita sama sekali tidak punya tangki timbun untuk BBM. Begitu pula untuk minyak mentah, kita tak punya tangki timbunnya. Jadi, kita tak punya stok minyak mentah. Posisi semacam ini, jika dilihat dari sisi ketahanan energi, jelas kurang menguntungkan. Itu dari sisi dalam negeri. Sementara, di luar sana industri minyak dunia tengah terpukul seiring turunnya harga minyak menjadi kurang dari 50 dollar AS per barrel.
Rendahnya harga ini memukul IOC dan NOC yang biaya produksinya bisa mencapai 60 dollar AS per barrel. Ini menyebabkan banyak perusahaan minyak, termasuk di AS yang semula naik daun berkat shale oil dan shale gas-nya, terjerembab dalam masalah. Sejumlah produsen shale oil dan shale gas di AS bahkan sudah meminta perlindungan pengadilan (Chapter ll) agar tak dipailitkan kreditornya. Hanya sampai berapa lama bisa bertahan, sementara harga minyak mentah di pasar dunia tak kunjung naik.
Di luar itu, di banyak belahan dunia, banyak ladang minyak yang tiba-tiba tidak laik secara ekonomis akibat rendahnya harga. Padahal, dulu ladang ini layak untuk dieksplorasi. NOC ke NEC. Apa yang bisa kita maknai dari fakta-fakta itu? Bagaimana pula dengan tugas utama NOC, termasuk Pertamina, dalam menjamin ketahanan energi bagi negaranya? Sejumlah krisis tersebut sejatinya adalah peluang. Apalagi Pertamina mempunyai biaya produksi relatif rendah, berkisar 20 dollar AS per barrel.
Maka, meski harga minyak mentah dunia kurang dari 50 dollar AS per barrel, bagi Pertamina dampaknya tak terlalu menyakitkan. Malah sebaliknya ini menjadi kesempatan bagi Pertamina untuk ekspansi, menguasai ladang-ladang minyak dunia di celah waktu yang sempit dan mungkin tak terulang lagi ini. Faktanya inilah saat pertumbuhan ekonomi dunia sedang berada dalam celah yang dalam, sementara ledakan penduduk dunia tak dapat dihindari. Harga sedang turun, sementara potensi rebutannya di masa depan tak terhindarkan.
Jadi, peluang terbesar untuk eksplorasi bukan pada ladang-ladang minyak di dalam negeri, melainkan di luar negeri. Hanya untuk bisa bersaing di luar, Pertamina mesti terlihat lebih perkasa. Sekarang, kalau bicara ukuran, Pertamina terbilang ”mini” dibandingkan perusahaan-perusahaan minyak lainnya. Lihat saja dalam daftar Fortune Global 500 edisi 2016, Pertamina masih menempati urutan ke-230 dengan pendapatan 41,76 miliar dollar AS.
Bandingkan dengan raksasa-raksasa migas asal Tiongkok, AS, dan Eropa. Dalam daftar tersebut, China National Petroleum ada di peringkat ketiga dengan 299,3 miliar dollar AS dan Sinopec urutan keempat (294,34 miliar dollar AS). Peringkat kelima ada Shell (272,16 miliar dollar AS dan ExxonMobil keenam (246,2 miliar dollar AS). Agar mampu memanfaatkan peluang dari jatuhnya harga minyak dan sekaligus menjamin ketahanan energi nasional, Pertamina harus menjadi besar dan berotot.
Besar di sini adalah dari sisi aset. Bagaimana caranya? Pertama, menjadikan Pertamina perusahaan induk (holding company) untuk seluruh bisnis migas di Tanah Air. Saat ini memang masih ada pro dan kontra terkait gagasan pembentukan perusahaan induk di sektor migas ini dengan argumen pendukung masing-masing. Namun, dari sisi ini, kita mungkin bisa belajar dari perusahaan-perusahaan swasta terbesar Indonesia yang manajemennya solid.
Sebut saja PT Astra International Tbk Sebagai holding company, meski besar, Astra tetap mampu secara efektif mengendalikan bisnis ratusan anak usahanya dan beroperasi secara efisien. Dalam hal ini harusnya isu holding jangan dijadikan hambatan. Ia adalah peluang untuk meleverage kemampuan kita dalam mengamankan kebutuhan energi di masa depan. Kedua, para Bapak Pendiri Bangsa kita sebetulnya sudah berpikiran jauh ke depan ketika menggagas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi atau UU No 8/1971 tentang Pertamina. Semangat dari perppu dan UU tersebut sama, yakni memberikan kekuasaan kepada negara untuk mengelola kekayaan migasnya dan menyerahkan pelaksanaannya kepada perusahaan negara.
Sayang, akibat tekanan Dana Moneter Internasional (IMF semasa krisis 1998, kita mengubah UU No 8/1971 dengan UU No 22/ 2001. UU ini bukan hanya memperlakukan Pertamina sama dengan perusahaan lain di bisnis migas, melainkan juga mencabut jiwa dan semangat Pasal 33 UUD 1945. UU ini betul-betul menyerahkan urusan bisnis migas pada mekanisme pasar. Kalau kita mau ketahanan energi di masa depan aman, kita harus punya BUMN minyak kelas global yang kuat.
Jangan malu putar arah dengan kembali ke semangat UU yang Iama. Biarkan Pertamina menjadi besar sehingga mampu melakukan langkah-langkah besar. Lalu, Pertamina yang berotot tercermin dari kemampuannya menggalang dana, baik dari dalam maupun luar negeri. Bagaimana caranya? Langkah membuat Pertamina menjadi besar tadi ibarat pepatah ”sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui. Maksudnya, upaya menjadikan Pertamina perusahaan raksasa sekaligus membuat BUMN itu bakal mampu menggalang dana dalam jumlah besar. Kalau ia kuat dan besar, jangan terlalu lama menjadi NOC. Mereka harus segera bertransformasi menjadi national Energy Company (NEC). Ini sesuai tugas utamanya, yakni menjamin ketersediaan energi, bukan ketersediaan minyak dan gas.
IN ENGLISH
Oil and Gas Holding Company and Energy Security
Energy world has changed. We refer to these facts: in the 1960s, the oil industry the world is ruled by The Seven Sisters, a global giant companies that we now know as the International Oil Company (IOC). They are Mobil Oil, Chevron, Shell, Exxon BR, Gulf Oil, and Texaco. They control more than 85 percent of world oil reserves. Only 1 percent managed by the state or state-owned enterprises (national oil company / NOC). The rest is controlled by oil companies belonging to the former Soviet Union.
The conditions turned around. Portions IOC stayed 7 percent. More than 85 percent of world oil is now controlled by the NOC and the rest of Russia. Why NOC's role in the world oil and gas increased? Simply put it this way. Oil and Gas is a natural resource that can not be updated. With the population explosion, the demand keeps soaring, while the world oil and gas reserves also dropped and frightening many nations. It raises awareness, management of oil and gas resources can not be too much left to the foreigners, especially IOC, for endangering energy security.
So normal that many countries in turn transferred the management of oil and gas resources to its NOC. That makes the role of NOC is bigger now. This contrasts with the 1990s, when the condition of the world is the excess reserves of oil and country markets such as Indonesia are being lost to the will of the owner IOC superpower. In fact, at that time there was the idea of the world's financial institutions to break up the company Pertamina to 2-3 with the reason "he was too big and strong". Lucky it did not happen. However, the effort was never stopped.
In fact, Pertamina must instead be enlarged to carry heavier role in the future. Then, in such conditions, in which Pertamina position today and its role in ensuring our energy security? Before you go in there, I invite you to see the condition of the oil and gas industry in the country and abroad. In the country, the oil fields we are now in a mature state. That is, production has exceeded the highest point and are moving downhill though for gas, I can see, there are still opportunities to improve. Unfortunately, the decline in oil production is not balanced efforts to find new reserves or often called the recovery rate (RR).
Ideally RR industry level is 100 percent. That is, if we take one barrel of crude oil from the bowels of the earth, must be balanced with efforts to find a backup in the same volume. RR fact we are even less than 40 percent. Other issues, infrastructure is poor. The last time we build refineries more than 20 years ago. The most inexpensive costs to send oil from oil fields to refineries or from refineries to depots hoarding, also from the depot to the refueling station to the public is through the pipe.
In fact the length of pipe that we have created over this is far from sufficient. For example, the length of the fuel pipe in the new Java reached 1,283 kilometers. In fact, the need for reaching 2,239 kilometers. Thus, we must be oil transport by tanker trucks are more prone to accidents and prone to misfire. The next problem is the stock of crude or processed products. Currently our new fuel stock for 20 days. It was actually the stock of fuel in refineries and depots. Not for the stock.
We just do not have a storage tank for fuel. Similarly, for crude oil, we do not have tanks timbunnya. So, we have no crude oil stockpiles. This kind of position, when viewed from the side of energy security, clearly less favorable. It is from within the country. Meanwhile, out there amid the world oil industry was hit as falling oil prices to less than 50 dollars per barrel.
The low price is hitting the IOC and the NOC that production costs could reach 60 dollars per barrel. This caused a lot of oil companies, including US initially rising thanks to shale oil and shale gas her, plunged in trouble. Some manufacturers of shale oil and shale gas in the US even has asked for court protection (Chapter II) so as not bankrupted creditors. Just how long can survive, while crude oil prices on world markets never go up.
Beyond that, in many parts of the world, many oil fields that suddenly economically not feasible due to low prices. In fact, once this field deserves to be explored. NOC to the NEC. What can we interpret from the facts? What about the main task of the NOC, including Pertamina, in ensuring energy security for the country? Some are actually the crisis is an opportunity. Moreover, Pertamina has relatively low production costs, about 20 US dollars per barrel.
Thus, although the price of crude oil less than 50 dollars per barrel, the impact is not too painful Pertamina. On the contrary it becomes an opportunity for Pertamina to expansion, control of the oil fields in the world narrow time gap and this may not happen again. In fact this is the time of world economic growth is in deep crevices, while the world population explosion is inevitable. Prices are down, while the potential for future rebutannya inevitable.
Thus, the greatest opportunities for exploration rather than on the oil fields in the country, but abroad. Just to be able to compete outside, Pertamina must look more powerful. Now, if you talk to the size, Pertamina spelled "mini" compared to other oil companies. Look at the Fortune Global 500 in 2016 edition, Pertamina still ranks 230 with revenues of 41.76 billion US dollars.
Compare with oil giants from China, the US, and Europe. In the list, China National Petroleum ranked third with 299.3 billion US dollars and Sinopec fourth (294.34 billion US dollars). Ranked fifth there Shell (272.16 billion US dollars and ExxonMobil sixth (246.2 billion US dollars). To be able to take advantage of the opportunities of falling oil prices and also ensure national energy security, Pertamina should be big and muscular.
Great here is in terms of assets. How to? First, make Pertamina holding company (holding company) for the entire oil and gas business in the country. Currently there are still pros and cons related to the idea of a holding company in the oil and gas sector with supporting arguments respectively. However, from this side, we might be able to learn from private companies whose management of Indonesia's largest solid.
Call it PT Astra International Tbk As a holding company, although large, Astra still able to effectively control the business of hundreds of subsidiaries and operating efficiently. In this case the issue of holding should not be a barrier. He is the opportunity to leverage their capabilities in securing our future energy needs. Second, the Founding Fathers we actually already thinking far ahead when it initiated a Government Regulation in Lieu of Law (Perppu) Number 44 Year 1960 regarding Oil and Gas or Law No. 8/1971 on Pertamina. And the spirit of the regulation has the same Act, which empowers the state to manage its oil and gas riches and handed over to the company's implementation of the country.
Unfortunately, due to the pressure of the International Monetary Fund (IMF during the crisis of 1998, we changed the Law No. 8/1971 by the Law No. 22 / 2001. This law not only treat Pertamina together with other companies in the oil and gas business, but also deprive the soul and spirit of Article 33 of the Constitution 1945. this law actually hand over to the oil and gas business in the market mechanism. If we want energy security in the future secure, we must have a global class oil SOE strong.
Do not be shy swivel direction by a return to the spirit of the Act which Iama. Let Pertamina to be great, to mobilize a large measures. Then, Pertamina muscular reflected in its ability to raise funds, both from within and outside the country. How to? Steps to make Pertamina a last big like the saying "once rowed two-three islands exceeded. That is, the effort to make the giant company Pertamina and make state enterprises that would be able to raise large amounts of funds. If he is strong and big, not too long into the NOC. They should be immediately transformed into national Energy Company (NEC). This corresponds to its main task, namely to guarantee the availability of energy, not the availability of oil and gas.
Kompas, Page-6,Friday,Dec,9,2016
Kuli Google Adsense, Admob, Android Developer, ternak tuyul online
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment