google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 Skema Bagi Hasil Minyak - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

MARKET

Thursday, December 15, 2016

Skema Bagi Hasil Minyak


    Indonesia salah satu negara penghasil minyak dan gas terbesar di dunia. Pernyataan yang benar sekali, tetapi itu dulu pada 1970-an. Kini, cadangan terbukti (proven reserve) minyak tinggal 3,8 miliar barel. Kalau berpatokan pada tingkat produksi minyak sekitar 800.000 barel perhari saat ini dengan situasi produksi yang konstan, cadangan minyak Indonesia hanya akan bertahan hingga 12 tahun ke depan. Sejak 12 tahun lalu, negeri ini telah mencatatkan diri sebagai net impor minyak.

    Selanjutnya, pada 2024 Indonesia diprediksi menjadi negara net impor gas. Celakanya, kegiatan eksplorasi minyak dan gas semakin menurun. Data menunjukkan, pada 2012 terdapat 72 aktivitas eksplorasi minyak kemudian anjlok menjadi 12 pada periode 2013 hingga 2015, padahal antara 20l2 sampai 2014 harga minyak sedang bagus. Hal itu harus dibaca bahwa ada persoalan besar yang membuat investor menahan diri mengeksplorasi minyak di Indonesia. 

    Memang, pemerintah tidak diam saja untuk merangsang investor senantiasa menanamkan modal dalam eksplorasi minyak. Sejumlah aktivitas birokrasi dipangkas melalui sejumlah penyederhanaan perizinan hingga rencana perubahan skema bagi hasil yang lebih praktis. Selama ini, pola bagi hasil minyak antara negara dan kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) berada pada kisaran 85% untuk negara dan 15% buat kontraktor.

    Selain itu, kontraktor masih dapat kompensasi lewat cost recovery yang diambilkan dari bagian negara. Cost recovery adalah biaya yang digantikan negara atas pengeluaran kontraktor untuk memproduksi minyak. Belakangan ini, terkait dengan cost recovery, banyak sekali mendapat sorotan karena dinilai selain tidak efisien juga merepotkan KKKS sehingga perlu dirumuskan ulang agar kedua pihak bisa diuntungkan. Lihat saja, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016 pos untuk cost recovery mencapai sebesar USD 11,6 miliar, sedangkan tahun depan sedikit diturunkan dengan pengalokasian anggaran sebesar USD 10,4 miliar.

    Meski angka cost recovery tersebut sudah dipangkas USD1,2 miliar oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Talhar, masih dinilai terlalu mahal yang berdampak pada penurunan pendapatan negara. Sebelumnya, Menteri Koordinator (Menko) Maritim Luhut B Pandjaitan sudah menitipkan pekerjaan rumah kepada petinggi Kementerian ESDM untuk meninjau atau menghitung ulang biaya operasi perusahaan minyak yang dikembalikan oleh negara atau cost recovery.

    Pemerintah menargetkan revisi cost recovery bisa dituntaskan sebelum akhir tahun ini. Selain dinilai mahal, cost recovery juga ditengarai sebagai sumber kebocoran anggaran negara yang luput dari perhatian selama ini. Dalam laporan keuangan pemerintah pusat 20 15 yang diserahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), salah satu temuan yang mengemuka adalah cost recovery membengkak sebesar Rp 2,56 triliun.

    Presiden Jokowi berjanji segera menuntaskan temuan BPK itu. Pembahasan penghapusan cost recovery sudah bergulir di DPR. Dalam rapat kerja antara Kementerian ES DM, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dengan Komisi VII di DPR, kemarin diwarnai insiden ringan. Pertemuan yang baru bergulir sekitar 10 menit, pimpinan sidang menskors rapat kerja karena tulisan data cost recovery 2015-2016 sulit terbaca oleh anggota Komisi VII DPR.

Secara terbuka, pihak DPR menyatakan persoalan cost recovery selama ini kurang transparan, padahal alokasi anggaran sangat besar. Rencananya skema bagi hasil minyak akan diganti dengan pola gross split . Seperti apa gross split itu. Gambaran sederhananya adalah bagi hasil negara dan KKKS masing-masing 50% dari hasil produksi minus cost recovery. Jadi, negara terbebas dari penggantian biaya operasi produksi minyak yang dikeluarkan KKKS sehingga bagian yang diterirna negara bersih sebanyak 50%.

    Di sisi lain berpotensi besar mendongkrak pendapatan KKKS seandainya aktivitasnya lebih efisien. Penghapusan cost recovery bukan berarti tanpa risiko. Kalangan pelaku industri penunjang hulu migas di dalam negeri kini menjadi panas dingin. Pasalnya, dalam skema cost recovery pemerintah bisa mewajibkan KKKS memakai produk dalam negeri, mengatur tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) karena pengeluaran operasional KKKS ditanggung oleh negara. Karena itu, adalah hal wajar kalau Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menitipkan kepada pemerintah agar perubahan skema bagi hasil minyak tidak merugikan industri nasional

IN ENGLISH

Oil Revenue Share scheme


    Indonesia has one of the largest oil and gas producer in the world. Which statement is true once, but it was used in the 1970s. Now, the proven reserves (proven reserves) lived 3.8 billion barrels of oil. If based on the level of oil production of about 800,000 barrels a day today with the situation of constant production, Indonesia's oil reserves will only last up to 12 years into the future. Since 12 years ago, the country has signed up as a net oil imports.

    Subsequently, in 2024 Indonesia is predicted to become a net gas imports. Unfortunately, oil and gas exploration activity has declined. Data show that in 2012 there were 72 oil exploration activities and then dropped to 12 in the period 2013 to 2015, whereas between 20l2 to 2014 oil prices were good. It should be read that there is a big problem that makes investors refrain from exploring for oil in Indonesia.

    Indeed, the government did not say anything to excite investors continue to invest in oil exploration. A number of bureaucratic activity mowed through a simplification of licensing to plan schema changes for more practical results. During this time, oil revenue sharing between the state and the contractor cooperation contract (PSC) in the range of 85% to 15% for the state and the contractor.

    In addition, contractors can still be compensated through cost recovery be taken from parts of the country. Cost recovery is a fee that replaced the state for spending a contractor to produce oil. In recent years, related to cost recovery, a lot of scrutiny because it is considered in addition to inefficient PSC's too troublesome so it needs to be redefined so that both parties can benefit. See, in the State Budget Amendment (APBN-P) 2016 heading for cost recovery totaled USD 11.6 billion, while next year slightly lowered by the allocation of a budget of USD 10.4 billion.

    Although the number of cost recovery has been trimmed USD1.2 billion by the Deputy Minister of Energy and Mineral Resources (ESDM) Arcandra Talhar, still considered too expensive impact on the state revenue. Earlier, Coordinating Minister (Menko) Maritim Luhut B Pandjaitan already entrust homework to the Ministry of Energy officials to revisit or recalculate the operating costs of the oil companies that are returned by the state or cost recovery.

    The government is targeting a revised cost recovery could be completed before the end of this year. Apart from being expensive, cost recovery is also considered as a source of state budget leaks that go unnoticed during this time. In the central government financial statements 20 15 submitted the Supreme Audit Agency (BPK) to President Joko Widodo (Jokowi), one of the findings uncovered is cost recovery swell to Rp 2.56 trillion.

    Jokowi President promised to immediately solve the BPK findings. Discussion on the elimination of cost recovery has been rolling in the House. In a meeting between the Ministry of ES DM, Special Unit of Upstream Oil and Gas (SKK Migas) to the House of Representatives Commission VII, yesterday characterized the incident light. New meeting revolving around 10 minutes, chairperson suspend the meeting because of the cost recovery 2015-2016 data writing difficult to read by members of House Commission VII.

    Openly, the House declared the issue of cost recovery has been less transparent, whereas very large budget allocation. The plan scheme for oil products will be replaced with a pattern of gross split. What kind of gross split it. A simple illustration is the result of state and KKKS each 50% of output minus cost recovery. Thus, the state free of cost recovery oil production operations issued KKKS so that part diterirna clean state as much as 50%.

    On the other hand potentially huge boost revenue if the PSC's activities more efficient. Elimination of cost recovery is not without risk. Supporting the upstream oil and gas industry in the country has now become a hot cold. Because, in the scheme of cost recovery could require the PSC's government put domestic products, regulate the level of domestic content (DCL) for operational expenditure borne by the state PSC. Therefore, it is natural that the Chamber of Commerce and Industry (Kadin) Indonesia entrust the government to change the oil revenue sharing scheme does not harm the national industry

Koran Sindo, Page-8,Thursday, Dec,15,2016

No comments:

Post a Comment

POP UNDER

Iklan Tengah Artikel 1

NATIVE ASYNC

Iklan Bawah Artikel