Gas production should be utilized as much as possible to support the national industry. In addition to the issue price, the gas supply must be provided so that the industry can produce. Therefore, the export policy of cheap gas in the long term should be reviewed and transferred to supply the needs of the national industry. On the other hand, the government should build gas infrastructure in order to use the gas in the country can be optimized. Chief Coordinator Gas Industry Chamber of Commerce and Industry (Kadin) Indonesia Achmad Widjaja said, the price of gas worth US $ 6 per mmbtu is ideal for industrial and could increase the added value.
Another advantage is that production costs can be saved up to 30%. He said the gas business is not just about price, but the supply should be provided so that the industry can produce. Currently, the national gas supply industry not sufficient so that shortcomings must be imported.
Employers did not mind as long as the import is done the right way. The domestic industry that many gas need to be able to produce. He said, the government can increase gas production by increasing the development of the national central processing plant (CPP).
Currently, the CPP has been widely spread in several regions in Indonesia and the construction is done PT Pertamina. Proposed employers to boost gas production is to increase CPR. Achmad Widjaja said almost all types of industries require gas, so that domestic gas needs must be fulfilled. Based on data from Wood Mackenzie, the selling price of gas (LNG) in Indonesia is relatively more expensive than Singapore, Malaysia, and India. For the gas piped, prices in Indonesia are still more expensive than Malaysia and Vietnam, but cheaper than Singapore, the Philippines, and India.
Meanwhile, the government's plan opens the door for the gas imported industrial rated only be term solution short. Chairman of the Indonesian Employers Association (Apindo) Haryadi Sukamdani said, if the price of gas imports could provide a cheaper and improve competitiveness, the plan could be a solution. If gas imports to meet the expectations of the industry, it is very good, although in terms of strategic rather strange, because we also have gas. But, there may be a problem that makes the price so high
With gas imports, Haryadi rate, the industry has is the option to use gas from domestic or imported. Moreover, if one of them is much cheaper. This strategy should ideally only be done in the short term. As for the long term, according to Haryadi, the government should map out the problem of why the price of gas in the country is much more expensive. If the price of imported gas is cheaper, while good for increasing added value, go ahead. But for the long term, the strategy must be seen again. Should be met from within the country.
He added that gas distribution are also considered. This includes who will manage and create access to industrial customers. Thus, this strategy could be positive for the industry. "If we can reach more and cheaper industrial good" he said.
Less Infrastructure
Member of Commission VII of the House of Representatives (DPR) Ganinduto Dito said, the main problem of gas utilization in the country is the lack of gas infrastructure. Because the sources of gas to be away from the location of the consumer. Our gas reserves much but the infrastructure is lacking. Dito said, the government should begin the construction of the gas network so that the public can use. With the availability of infrastructure, the price of gas can be suppressed. In addition, he highlighted the price of gas is still high.
According to him, the price of gas can be reduced partly by reducing state revenues in the upstream and evaluate the toll fee on the use of pipe joint (open access). "Efficiency was the key," he said. Director of Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Coal expressed the same opinion. He considered gas Indonesia exported more gas because of inadequate infrastructure. Starting from the receiving terminal to the pipeline to consumers. Now they are exported for long-term contracts. Second, because we do not have adequate infrastructure to absorb.
Marwan said, the use of gas in the country has not supported the road map (roadmap). He calls when high world oil prices raised the idea to use cheaper gas. For example, gas for vehicles using converter kits. But when oil prices fell, as now, the ideas of gas utilization was missing. We did not have a clear roadmap about the use of gas.
Marwan criticized the scheme for gross proceeds (gross split) which was offered by the government. He argues, such a scheme is not attractive for investors to explore. Investors prefer the existing oil and gas field exploitation. The reason is there certainty about the backup and the return on investment. If exploration is reduced, then the oil and gas reserves are decreasing. Gross split should be reviewed.
Import Gas
Minister of Industry Airlangga Hartanto said the government this year will be to tap natural gas imports to maintain the supply of natural gas needs for the domestic industry. The government is currently looking for skim right about the mechanism of import of natural gas from a number of countries. "Details still need to be discussed. But that has been allowed to import gas is carried out. It will be discussed how the mechanism, "said Airlangga limited cabinet meeting after work at the Presidential Office.
Meeting led by President Joko Widodo specifically discuss about the price of gas for industry as well as the implementation of the Regulation of the Minister of Energy and Mineral Resources No. 40 on Natural Gas Prices for Industry Specific. Present at the meeting were Coordinating Minister maritime Luhut Binsar Panjaitan, SOE Minister Rini Soemarno, Tahar Arcandra Deputy Minister and Cabinet Secretary Pramono Agung. Airlangga said the government has yet to determine which countries that will be the source of natural gas imports. From where his future will be discussed. The supply depends on what will later be given sector. Later determined whether skim per sector or region.
IN INDONESIAN
Optimalkan Produksi Gas untuk Industri Dalam Negeri
Produksi gas harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk mendukung industri nasional. Selain masalah harga, pasokan gas harus tersedia agar industri bisa berproduksi. Karena itu, kebijakan ekspor gas dengan harga murah dalam jangka panjang mesti dikaji ulang dan dialihkan untuk memasok kebutuhan industri nasional. Di sisi lain, pemerintah harus membangun infrastruktur gas agar pemanfaatan gas di dalam negeri bisa optimal. Ketua Koordinator Gas Industri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Achmad Widjaja mengatakan, harga gas senilai US$ 6 per mmbtu cukup ideal untuk industri dan bisa meningkatkan nilai tambah.
Keuntungan lain adalah biaya produksi bisa dihemat hingga 30%. Dia mengatakan, urusan gas bukan hanya masalah harga, melainkan pasokan-nya harus tersedia agar industri bisa berproduksi. Saat ini, suplai gas nasional belum mencukupi kebutuhan industri sehingga kekurangannya harus di impor.
Pengusaha tidak keberatan dengan impor asalkan dilakukan dengan cara yang benar. Industri dalam negeri butuh gas yang banyak agar mampu berproduksi. Dia menuturkan, pemerintah bisa meningkatkan produksi gas nasional dengan menambah pembangunan central processing plant (CPP).
Saat ini, CPP sudah banyak tersebar di beberapa wilayah di Indonesia dan pembangunannya dilakukan PT Pertamina. Usulan pengusaha untuk meningkatkan produksi gas adalah menambah CPR. Achmad Widjaja menjelaskan, hampir semua jenis industri membutuhkan gas, sehingga kebutuhan gas dalam negeri wajib dipenuhi. Berdasarkan data Wood Mackenzie, harga jual gas (LNG) di Indonesia relatif lebih mahal dibanding dengan Singapura, Malaysia, dan India. Untuk gas yang disalurkan lewat pipa, harga di Indonesia juga masih lebih mahal dari Malaysia dan Vietnam, tapi lebih murah dari Singapura, Filipina, dan India.
Sementara itu, rencana pemerintah membuka pintu impor gas untuk industri dinilai hanya menjadi solusi jangka pendek. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani mengatakan, jika dengan impor bisa memberikan harga gas yang lebih murah dan meningkatkan daya saing, rencana tersebut bisa menjadi solusi. Kalau impor gas bisa memenuhi ekspektasi industri, itu baik sekali, walaupun dari sisi strategis-nya agak aneh, karena kita juga punya gas. Tapi, mungkin ada masalah yang membuat harganya jadi tinggi.
Dengan impor gas, Haryadi menilai, industri memiliki pilihan mau menggunakan gas dari dalam negeri atau impor. Apalagi, jika salah satunya jauh lebih murah. Strategi ini idealnya hanya dilakukan untuk jangka pendek. Adapun untuk jangka panjang, menurut Haryadi, pemerintah harus memetakan masalah kenapa harga gas dalam negeri jauh lebih mahal. Kalau harga gas impor lebih murah, sedangkan bagus untuk meningkatkan nilai tambah, silakan saja. Tetapi untuk jangka panjang, harus dilihat lagi strateginya. Harusnya bisa dipenuhi dari dalam negeri.
Dia menambahkan, distribusi gas juga diperhatikan. Ini mencakup siapa yang akan mengelola dan membuat akses menuju pelanggan industri. Dengan begitu, strategi ini bisa berdampak positif bagi industri. “Kalau bisa menjangkau lebih banyak industri dan harganya lebih murah bagus” kata dia.
Kurang Infrastruktur
Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dito Ganinduto mengatakan, masalah utama pemanfaatan gas di dalam negeri adalah minimnya infrastruktur gas. Pasalnya, sumber-sumber gas berada jauh dari lokasi konsumen. Cadangan gas kita banyak tapi infrastruktur-nya kurang. Dito menuturkan, pemerintah sebaiknya memulai pembangunan jaringan gas agar masyarakat luas bisa memanfaatkannya. Dengan tersedianya infrastruktur maka harga gas bisa ditekan. Selain itu, dia menyoroti harga gas yang masih tinggi.
Menurut dia, harga gas bisa ditekan antara lain dengan mengurangi pendapatan negara di sisi hulu dan mengevaluasi toll fee dari pemakaian pipa bersama (open access). “Efisiensi itu kunci utamanya,” katanya. Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menyampaikan pendapat yang sama. Dia menilai gas Indonesia lebih banyak diekspor lantaran belum memadainya infrastruktur gas. Mulai dari terminal penerima hingga jaringan pipa ke konsumen. Sekarang masih banyak diekspor karena kontrak jangka panjang. Kedua, karena kita sendiri tidak punya infrastruktur yang memadai untuk menyerap.
Marwan menuturkan, pemanfaatan gas di dalam negeri belum ditunjang dengan peta jalan (roadmap). Dia menyebut ketika harga minyak dunia tinggi timbul ide untuk pemakaian gas yang lebih murah. Sebagai contoh gas untuk kendaraan dengan memakai konverter kit. Namun ketika harga minyak melemah seperti sekarang ini, ide-ide pemanfaatan gas itu hilang. Kita tidak punya roadmap yang jelas soal penggunaan gas.
Marwan mengkritisi skema bagi hasil kotor (gross split) yang mulai ditawarkan pemerintah. Dia berpendapat, skema tersebut tidak menarik bagi investor untuk melakukan eksplorasi. Investor lebih memilih lapangan migas yang sudah eksploitasi. Pasalnya sudah ada kepastian mengenai cadangan dan tingkat pengembalian investasi. Kalau eksplorasi berkurang, maka cadangan migas pun menurun. Gross split sebaiknya ditinjau kembali.
Impor Gas
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah pada tahun ini akan membuka kran impor gas bumi untuk menjaga ketersediaan pasokan kebutuhan gas bumi bagi industri dalam negeri. Saat ini pemerintah sedang mencari skim yang tepat tentang mekanisme impor gas bumi dari sejumlah negara. “Detail-nya masih perlu dibahas. Tapi yang sudah diizinkan adalah dilakukan impor gas. Nanti akan dibahas bagaimana mekanisme-nya,” kata Airlangga usai rapat terbatas kabinet kerja di Kantor Kepresidenan.
Rapat yang dipimpin Presiden Joko Widodo khusus membahas tentang harga gas bumi untuk industri serta pelaksanaan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 40 tentang Harga Gas Bumi untuk Industri Tertentu. Hadir dalam rapat itu Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, Menteri BUMN Rini Soemarno, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Airlangga mengatakan, pemerintah sampai saat ini belum menentukan negara-negara mana saja yang akan dijadikan sumber impor gas bumi. Dari mana-nya nanti akan kita bicarakan. Suplainya tergantung nanti sektor apa yang akan diberikan. Nanti ditentukan apakah skimnya per sektor atau wilayah.
Investor Daily, Page-1, Wednesday, Jan, 25, 2017
No comments:
Post a Comment