The management of PT Pertamina must not underestimate the damage in refinery processing. No matter how small the problem, when in rapid succession at several places, the impact will be great. That is what is now happening, State-owned company was threatened with a loss of more than Rp 1 trillion for a number of refineries stopped operating simultaneously. It is hard to understand how the management of Pertamina seemed to let this error continues to occur.
Since December 2, 2016, at least ten times Pertamina stopped work several refineries processing crude oil into fuel hers. Refinery Refinery Unit V Balikpapan or in East Kalimantan has ceased operations three times. Refineries producing fuel oil in Indonesia's second largest. After Cilacap in Central Java-recorded twice the total dead alias total black out.
Pertamina board always quibble machines aging refineries. True, the Balikpapan refinery was built in 1948 for unit 1 and 1980 for unit 2. problem is, why the old refineries have left without rejuvenation. Other refineries is the same, the average age of 50 years. Operate the refinery as running old vintage cars. The machines refineries should get extra care. Care should also not be late, let alone stretch up to a year or more.
Pertamina should have been able to anticipate the breakdown of the old refinery. They can rejuvenate or caring for elderly without waiting for damaged parts first. Point is often forgotten Pertamina management. Refinery encouraged constantly and treatment are delayed for various reasons, for example because the price of oil is good. Now all had already become corrupted. Some refineries have stopped operating. Pertamina must think of solutions that do not burden the state, for example, decided to import fuel.
Pertamina should utilize existing resources. They must optimize production from other refineries to cover the shortage of supply. Pertamina actually make the road map (road map) to increase oil production. Among them a plan to revitalize a number of refineries (refinery development masterplan / RDMP), building new refineries, and increase the capacity of the refinery.
The refinery revitalization program should be implemented immediately. Pertamina could implement the plan in Cilacap, Balikpapan, Plaju, Balongan, and Dumai. If the program was seamless, oil production is projected to increase 150 percent. Cilacap refinery capacity, for example, will increase from the current 348 thousand to 400 thousand barrels per day. There is no reason to delay this revitalization project. This mega project should be encouraged to be realized. Too much is at stake if Pertamina did not immediately find a solution to this problem, Endurance Energy Indonesia is now in danger can turn into a real disaster.
IN INDONESIAN
Revitalisasi Kilang Tunggu Apa?
Manajemen PT Pertamina tak boleh menganggap remeh kerusakan di kilang pengolahannya. Sekecil apa pun masalah itu, bila terjadi secara beruntun di beberapa tempat, dampaknya akan menjadi besar. Hal itulah yang sekarang terjadi, Perusahaan Milik Negara itu terancam merugi lebih dari Rp 1 triliun karena sejumlah kilang berhenti beroperasi secara simultan. Sulit memahami bagaimana manajemen Pertamina terkesan membiarkan kesalahan ini terus terjadi.
Sejak 2 Desember 2016, setidaknya sepuluh kali Pertamina menyetop kerja beberapa kilang pengolah minyak mentah menjadi bahan bakar minyak miliknya. Kilang Balikpapan atau Unit Refinery V di Kalimantan Timur telah berhenti beroperasi tiga kali. Kilang penghasil Bahan Bakar Minyak terbesar kedua di Indonesia ini. Setelah Kilang Cilacap di Jawa Tengah-tercatat dua kali mati total alias total black out.
Direksi Pertamina selalu saja berdalih mesin-mesin kilang sudah uzur. Benar, Kilang Balikpapan memang dibangun pada 1948 untuk unit 1 dan pada 1980 untuk unit 2. Masalahnya, mengapa kilang-kilang tua ini dibiarkan tanpa peremajaan. Kilang-kilang lain pun sama saja, rata-rata berusia di atas 50 tahun. Mengoperasikan kilang tua seperti menjalankan mobil kuno. Mesin-mesin kilang itu harus mendapatkan perawatan ekstra. Perawatan juga tidak boleh telat, apalagi molor hingga setahun atau lebih.
Seharusnya Pertamina bisa mengantisipasi macetnya kilang-kilang tua itu. Mereka bisa meremajakan atau merawat onderdil tua tanpa menunggu rusak terlebih dulu. Poin inilah yang sering dilupakan manajemen Pertamina. Kilang digenjot terus-terusan dan perawatan ditunda dengan berbagai alasan, misalnya lantaran harga minyak sedang bagus. Kini semua sudah telanjur menjadi rusak. Beberapa kilang sudah berhenti beroperasi. Pertamina harus memikirkan solusi yang tak membebani negara, misalnya memutuskan mengimpor BBM.
Pertamina semestinya memanfaatkan sumber daya yang ada. Mereka harus mengoptimalkan produksi dari kilang-kilang lain untuk menutup kekurangan pasokan. Pertamina sebenarnya sudah membikin peta jalan (road map) untuk meningkatkan produksi minyak. Di antaranya rencana merevitalisasi sejumlah kilang (refinery development masterplan/RDMP), membangun kilang baru, dan meningkatkan kapasitas kilang.
Program revitalisasi kilang itu seharusnya segera diterapkan. Pertamina bisa menerapkan rencana tersebut pada Kilang Cilacap, Balikpapan, Plaju, Balongan, dan Dumai. Jika program itu mulus, produksi minyak diprediksi meningkat 150 persen. Kapasitas Kilang Cilacap, misalnya, akan meningkat dari saat ini 348 ribu menjadi 400 ribu barel per hari. Tidak ada alasan untuk menunda proyek revitalisasi ini. Megaproyek ini harus didorong agar segera terealisasi. Terlalu banyak yang harus dipertaruhkan bila Pertamina tidak segera mencari solusi atas masalah ini, Ketahanan energi Indonesia yang kini dalam ancaman bisa berubah menjadi petaka yang nyata.
Koran Tempo, Page-11, Wednesday, Jan, 25, 2017
No comments:
Post a Comment