google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 Useless Without Infrastructure - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

Wednesday, February 1, 2017

Useless Without Infrastructure

LNG Import Policy


The government has issued a package Ill Economic Policy in early October 2015. One of the contents in the package of measures that are the price of gas for the plant from the gas field is set according to the purchasing power of the fertilizer industry at US $ 7 per MMBTU.

Meanwhile, the price of gas to other industries such as petrochemicals and ceramics will be reduced in accordance with the ability of their respective industries. The decline in gas prices made possible by the efficiency of the gas distribution system as well as a reduction in state revenue or Non Tax Revenue (non-tax) gas.

Package it was confirmed that the decline in gas prices will not affect the amount of receipts that are part the gas company. Then through the package, the price of gas for the industry will be effective starting January 1, 2016. However, the package could be realized in the beginning of 2017. It was only on three sectors, namely fertilizers, petrochemicals, and steel. Because the use of gas by the three sectors reached 70% of the total cost of their production.

Meanwhile other industries such as glass, ceramics, rubber gloves, and oleochemical still waiting for those promises. One more years to implement the policy package. Long enough. Therefore, the government finally chose the option to open the import of liquefied natural gas / LNG. When Luhut Binsar Pandjaitan served as Acting Minister of Energy and Mineral Resources recently after a limited cabinet meeting at the palace, LNG import options back to the surface. In fact, following the projection of the Ministry of Energy, imports of liquefied natural gas was newly opened in 2019. Is it true import of LNG will make the selling price of gas to industrial hand cheaper?

It can be achieved if the price of LNG from the country of origin of US $ 2 per MMBtu plus freight charges of $ 1.5. Then, the cost of regasification and delivery of gas through the pipeline (toll fee) a maximum of US $ 3 per MMBtu, the consumer prices of US $ 6.5. The price was still higher than the limit that is desired by the industry US $ 4-US $ 5 per MMBtu.

Based on data from the Downstream Regulatory Agency for Oil and Gas (BPH Migas), rental fees or toll fee gas pipeline in 55 sections of pipe, the difference is very much which ranges from approximately US $ 0.1 to US $ 2.5 costliest per MSCF. The highest price in the segment of pipe Arun-Belawan, Kepodang-Tambak Lorok, South Sumatra-West Java (SSWJ) SSWJ I and II. Meanwhile, the lowest prices in the mas-Dawuan Citarik pipe, Pulau Layang-Pupuk Sriwijaya and-PLN Gresik Gresik with price below US $ 0.5 per mscf. In fact, the average toll fee under US $ 1 at US $ 0.89.

Lock normalization of gas prices are on the efficient activity of the industrial sector gas absorbers, producers, processors, and conductor also gas price formula is right. Until now, the government has not been able to apply the margin settings in the middle and downstream.

TRADER STORY

Although given two years to commit to building infrastructure, the government was held hostage because of gas prices could not fall significantly before 2018. On the other hand, prices drop significantly is in the downstream gas penghantaran often ridden storied trader who makes the supply chain is getting longer. If successful, the projected selling price of gas lines can go down to 50%. Trader gas only rely signature allocation of ministerial allocations and then sell it to other traders or directly to consumers so often called paper trader.
Minister of Energy and Mineral Resources Ignasius Jonan more likely to want the issue of gas prices running on natural flow through a market mechanism. Needs- such as the gas for power generation, the government set the pricing formula of gas pipelines and LNG tolerable developers. For LNG, the limit of 8% of the price of crude oil Indonesia (Indonesian crude price / ICP) and gas pipelines 11.5% of ICR BP Energy Outlook 2017 calls LNG supply will increase rapidly in 2035.

This is due to the supply of the United States, Australia, and Africa. Approximately 30% of this growth will occur within four years of the projects that are still in the development stage. How can gas be channeled to the industry when there is no storage facilities, regasification and pipeline? In fact, there are currently only four units of storage and regasification with regasification capacity are each approximately 3 million tonnes per annum (mtpa), namely Arun (Pertamina), Lampung (PGN), West Java (Nusantara Regas) and Bali (Generation Java Bali ).

DISTRIBUTION

Natural gas is different from the oil. Before the gas was produced, the contractor must first obtain a contract from the prospective buyer of gas. Then, if the gas is sent through a long distance, for example, and South Sumatra to Papua then must use boat. So that gas can be shipped then to be converted into LNG. To be able to transform the LNG back into gas it must be available regasification. Meanwhile, for consumers who are close to the source of gas (Wellhead) can be distributed by pipeline. So without any infrastructure, the gas will be in vain.

Gas infrastructure is the duty of the government to be resolved because there was just no irony die industry in the fields of gas, but the gas-producing countries that can not utilize the gas. Evidently, Indonesia became exporter of LNG to countries such as Japan and South Korea which has had a long-term contract and absorb the rest of the cargo that can not be exploited in the country. Apart from that, the price is often the achievement of government performance measurement tool.


IN INDONESIAN

Kebijakan Impor LNG

Percuma Tanpa Infrastruktur


Pemerintah telah mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi Ill pada awal Oktober 2015. Salah satu isi dalam paket kebijakan itu adalah harga gas untuk pabrik dari lapangan gas ditetapkan sesuai dengan kemampuan daya beli industri pupuk yakni US$ 7 per MMBTU.

Sementara itu, harga gas untuk industri lainnya seperti petrokimia dan keramik akan diturunkan sesuai dengan kemampuan industri masing-masing. Penurunan harga gas dimungkinkan dengan melakukan efisiensi pada sistem distribusi gas serta pengurangan penerimaan negara atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) gas.

Paket itu menegaskan bahwa penurunan harga gas ini tidak akan mempengaruhi besaran penerimaan yang menjadi bagian perusahaan gas. Kemudian melalui paket itu, harga gas untuk industri tersebut akan efektif berlaku mulai 1 Januari 2016. Namun, paket itu baru dapat direalisasikan pada awal 2017. ltu pun hanya untuk tiga sektor yaitu pupuk, petrokimia, dan baja. Pasalnya, penggunaan gas oleh ketiga sektor itu mencapai 70% dari total biaya produksi mereka.

Sementara itu industri lain seperti kaca, keramik, sarung tangan karet, dan oleokimia masih menanti janji-janji tersebut. Satu tahun lebih untuk dapat menerapkan paket kebijakan itu. Cukup lama. Oleh karena itu, pemerintah akhirnya memilih opsi untuk membuka impor gas alam cair/LNG. Ketika Luhut Binsar Pandjaitan menjabat sebagai Pelaksana Tugas Menteri ESDM dan belum lama ini setelah rapat terbatas di Istana, opsi impor LNG kembali naik ke permukaan. Padahal mengikuti proyeksi dari Kementerian ESDM, impor gas alam cair baru dibuka pada 2019. Apakah benar impor LNG akan membuat harga jual gas ke tangan industri lebih murah?

Hal itu bisa tercapai jika harga LNG dari negara asal US$ 2 per MMBtu ditambah ongkos angkut US$ 1,5. Kemudian, biaya regasifikasi dan penghantaran gas melalui pipa (toll fee) maksimum US$ 3 per MMBtu, maka harga di tingkat konsumen US$ 6,5. Harga itu pun masih tetap lebih tinggi dari batas yang diinginkan oleh industri yakni US$ 4-US$ 5 per MMBtu.

Berdasarkan data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), biaya sewa pipa gas atau toll fee di 55 ruas pipa, selisihnya sangat jauh yakni berkisar sekitar US$ 0,1 hingga yang termahal US$ 2,5 per Mscf. Harga termahal yakni di ruas pipa Arun-Belawan, Kepodang-Tambak Lorok, South Sumatera-West Java (SSWJ) I dan SSWJ ll. Sementara itu, harga terendah yakni di mas pipa Citarik-Dawuan, Pulau Layang-Pupuk Sriwijaya, dan Gresik-PLN Gresik dengan harga di bawah US$ 0,5 per Mscf. Padahal, rata-rata toll fee di bawah US$ 1 yakni US$ 0,89.

Kunci normalisasi harga gas terdapat pada kegiatan yang efisien dari sektor industri penyerap gas, produsen, pemroses, dan penghantar gas juga formula harga yang tepat. Hingga saat ini, pemerintah pun belum bisa menerapkan pengaturan margin di tengah dan
hilir .

TRADER BERTINGKAT

Kendati diberi waktu dua tahun untuk berkomitmen membangun infrastruktur, pemerintah merasa tersandera karena harga gas tak akan bisa turun signifikan sebelum 2018. Di sisi lain, penurunan harga secara signifikan berada di hilir yakni penghantaran gas kerap ditunggangi trader bertingkat yang membuat rantai pasok semakin panjang. Bila berhasil, di proyeksi harga jual gas pipa bisa turun hingga 50%. Trader gas hanya mengandalkan tanda tangan alokasi dari menteri kemudian menjual alokasi itu ke trader lain atau langsung ke konsumen sehingga sering disebut trader kertas.

Menteri ESDM Ignasius Jonan lebih cenderung menginginkan agar masalah harga gas berjalan pada alur natural lewat mekanisme pasar. Seperti pada gas untuk kebutuhan- pembangkit listrik, pemerintah menetapkan formula harga gas pipa dan LNG yang bisa ditoleransi pengembang. Untuk LNG, batasnya 8% dari harga minyak mentah Indonesia (Indonesian crude price/ICP) dan gas pipa 11,5% dari ICR BP Energy Outlook 2017 menyebut pasokan LNG akan meningkat secara cepat pada 2035.

Hal tersebut disebabkan adanya pasokan dari Amerika Serikat, Australia, dan Afrika. Sekitar 30% pertumbuhan ini akan terjadi dalam empat tahun mendatang dari berbagai proyek yang masih dalam tahap pengembangan. Bagaimana gas bisa tersalur ke industri bila tak ada fasilitas penyimpanan, regasifikasi, dan jaringan pipa? Kenyataannya, saat ini hanya terdapat empat unit penyimpanan dan regasifikasi dengan kapasitas regasifikasi masing~masing sekitar 3 juta ton per tahun (mtpa) yakni di Arun (Pertamina), lampung (PGN), Jawa Barat (Nusantara Regas) dan Bali (Pembangkitan Jawa Bali).

DISTRIBUSI

Gas bumi berbeda dengan minyak. Sebelum gas itu diproduksi, kontraktor harus terlebih dahulu mendapatkan kontrak dari calon
pembeli gas. Kemudian, jika gas itu dikirimkan melalui jarak yang panjang, misalnya dan Papua ke Sumatra Selatan maka harus menggunakan kapal. Agar gas bisa dikirim dengan kapal maka harus diubah menjadi LNG. Untuk dapat mengubah LNG kembali menjadi gas maka harus tersedia regasifikasi. Sementara itu, untuk konsumen yang dekat dengan sumber gas (mulut sumur) dapat didistribusikan dengan pipa. Jadi tanpa ada infrastruktur maka gas akan menjadi sia-sia.

Infrastruktur gas menjadi tugas pemerintah yang harus diselesaikan karena tak saja ada ironi industri mati di ladang gas, tetapi negara penghasil gas yang tak bisa memanfaatkan gasnya. Terbukti, Indonesia menjadi pengekspor LNG bagi negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan yang telah ber-kontrak jangka panjang dan menyerap sisa kargo yang tak bisa dimanfaatkan di dalam negeri. Terlepas dari itu, harga kerap menjadi alat ukur pencapaian kinerja pemerintahan.

Bisnis Indonesia, Page-30, Wednesday, Feb, 1, 2017

No comments:

Post a Comment

POP UNDER

Iklan Tengah Artikel 1

NATIVE ASYNC

Iklan Bawah Artikel