google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 New Toy After Oil - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

Tuesday, February 14, 2017

New Toy After Oil



Government confident enough to issue a policy to import liquefied natural gas / LNG. The first phase, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) and independent power producers (independent power producer / IPP) are allowed to bring LNG directly from abroad.

LNG import policy by PLN and private power plants already outlined in the Minister of Energy and Mineral Resources No. 11/2017 on Natural Gas Utilization for Power Plant. In fact, the government will issue a new policy in order not only PLN and IPP are able to import gas, the industrial sector gas users will also be allowed.

However, the government's requirements that only large-scale industry contributed significantly to the gross domestic product (GDP) as fertilizers, petrochemicals, and steel for example. So far, Indonesia has become a gas exporter. In fact, until 2016, LNG exports reached 50% of total production in the country, while the other half for domestic needs.

That is, the use of gas for domestic needs is not optimal. Therefore, one of the government programs in the energy sector is to increase the use of gas in the country so hopefully no longer be exported LNG.

Likewise, the coal expected greater consumption in the country is not being shipped to other countries. Utilization of gas in the country is not optimal also due to the infrastructure that has not been built.

Storage and regasification facilities (PSRU) in the country, for example there are only four units. Gas transmission and distribution pipelines also has not been connected. Eg gas pipeline project Cirebon-Semarang still running in place. The lack of infrastructure makes gas distribution difficult.

Another fact that there is the price of gas in the country is relatively high when compared with other countries. Although there are some parties that the assessment of export LNG one of them so that Indonesia continues to import fuel oil (BBM) and crude oil.

There is something in it. When 100% of gas used in the country, fuel demand will drop dramatically. The power plant which has been using the Solar will switch to gas. That is the import of fuel and oil can be suppressed.

What government policies opening up import LNG? That policy came out after the government's efforts to cut the price of gas is hard to achieve. It took 1.5 years to realize a decrease in gas prices. It was only for three industrial sectors, namely fertilizers, steel, and petrochemicals, while other sectors have not been touched.

NEED TIME

Beginning in October 2015, the government issued an economic policy package volume III which include industrial gas prices lowered to US $ 7 per MMBtu, a reduction in state revenue share of gas around US $ 2 per MMBtu from 1 January 2016. However, until the beginning of January, the package the policy can not be applied.

To implement the policy package was out of Presidential Regulation No. 40/2016 on Natural Gas Pricing in May 2016. In the Presidential Decree, there are seven sectors which will receive gas price discount. After the Presidential Decree came out in May 2016, then Minister Regulations governing trimming the price of gas for the three sectors, namely fertilizers, steel, and petrochemicals out at the end of 2016.

Finally, on January 1, 2017 a new three sectors which receive gas price cuts, while other sectors are still waiting until today. It will take time to realize the gas price cuts. It was not easy. The background seems to be the reason the government issued a policy to import LNG. In fact, according to government data, the gas deficit in the country will occur in 2019. LNG imports can only be done when prices in the country 8-11% of the oil price (ICP).

However, the policy was not in accordance with the spirit of maximizing the utilization of gas in the country. In fact, Indonesia's dependence on imported fuel oil and crude oil is currently quite alarming. Lucky to still surplus gas. However, LNG import policy was feared as happened on oil.

No group has become a rentier / oil mafia in the activities of oil imports. This gas imports is feared to be a new toy, as seen in oil over the years.

DEPENDENCY

In fact, the government issued a policy to import LNG aims to provide gas prices to more competitive industries that the competitiveness of national products increased. However, the impact of dependence on imports also should be wary.

Some of the development of oil and gas blocks in the country at this time can not be done because of lack of prospective buyers of gas. Even if there are industries that are interested in absorbing the gas from the oil fields, the asking price has not met the economic scale cooperation contract.

Kasuri Block development in Papua is still hampered because there is no gas buyers. Likewise, the East Natuna Block and Field Jambaran Tiung Blue. There is an irony. When some domestic gas field is difficult to find a buyer of gas, LNG imports doors even opened. Is not that just made the development of oil and gas blocks more difficult.

Solutions to overcome the price of gas in the country to be more competitive should be kept in perspective. Starting from the upstream side. The work plan of the contractors need to be seen again and carried efficiency by trimming activities deemed unnecessary so that the price of gas can be suppressed.

In the midstream, gas trading system can be shortened by trimming 'PAPER TRADER ', traders who do not have the infrastructure and rely on gas allocation from the government. Governments also need to set rents pipe or toll fee, even if the necessary margin for gas trading businesses is limited.

However, the main thing is that the massive gas infrastructure development has to be immediately carried out by the government.

IN INDONESIAN

Mainan Baru Setelah Minyak


Pemerintah cukup percaya diri mengeluarkan kebijakan impor liquefied natural gas/LNG. Tahap pertama, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan pengembang listrik swasta (independent power producer/IPP) yang diperbolehkan mendatangkan LNG langsung dari luar negeri. 

Kebijakan impor LNG oleh PLN dan pembangkit swasta sudah dituangkan dalam Peraturan Menteri ESDM No. 11/2017 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Tenaga Listrik. Bahkan, pemerintah segera mengeluarkan kebijakan baru agar tidak hanya PLN dan IPP saja yang bisa impor gas, sektor industri pengguna gas juga akan diperbolehkan. 

Namun, pemerintah memberi syarat hanya industri skala besar yang memberikan kontribusi signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB) seperti pupuk, petrokimia, dan baja misalnya. Selama ini, Indonesia menjadi eksportir gas. Bahkan, hingga 2016, ekspor LNG mencapai 50% dari total produksi di Tanah Air, sedangkan separuhnya lagi untuk kebutuhan domestik. 

Artinya, penggunaan gas untuk kebutuhan dalam negeri belum optimal. Oleh karena itu, salah satu program pemerintah di sektor energi adalah meningkatkan penggunaan gas di dalam negeri sehingga diharapkan tidak lagi diekspor LNG.

Demikian juga dengan batu bara yang diharapkan semakin besar dikonsumsi di dalam negeri bukan dikapalkan ke negara lain. Pemanfaatan gas di dalam negeri yang belum optimal juga disebabkan infrastruktur yang belum banyak di bangun.

Fasilitas penyimpanan dan regasifikasi (PSRU) di Tanah Air misalnya hanya ada empat unit. Pipa transmisi dan distribusi gas juga belum banyak tersambung. Misalnya proyek pipa gas Cirebon-Semarang masih berjalan di tempat. Minimnya infrastruktur tersebut membuat distribusi gas sulit dilakukan.

Fakta lain yang ada yaitu harga gas di dalam negeri yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan beberapa negara lainnya. Meskipun ada penilaian dari beberapa pihak bahwa ekspor LNG salah satunya agar Indonesia terus mengimpor  bahan bakar minyak (BBM) dan minyak mentah.

Ada benarnya juga. Ketika 100% gas dimanfaatkan di dalam negeri, kebutuhan BBM akan turun drastis. Pembangkit listrik yang selama ini menggunakan Solar akan beralih ke gas. Artinya impor BBM dan minyak bisa ditekan.

Bagaimana dengan kebijakan pemerintah membuka impor LNG? Kebijakan itu keluar setelah upaya pemerintah memangkas harga gas sulit tercapai. Butuh waktu 1,5 tahun untuk merealisasikan penurunan harga gas. ltu pun hanya untuk tiga sektor industri yaitu pupuk, baja, dan petrokimia, sedangkan sektor lainnya belum tersentuh.

BUTUH WAKTU

Awal Oktober 2015, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi jilid III yang isinya antara lain harga gas industri diturunkan menjadi US$ 7 per MMBtu, pengurangan bagi hasil negara dari gas sekitar US$ 2 per MMBtu mulai 1 Januari 2016. Namun, hingga awal Januari, paket kebijakan itu belum dapat diterapkan. 

Untuk melaksanakan paket kebijakan itu keluar Peraturan Presiden No. 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi pada Mei 2016. Dalam Peraturan Presiden itu, ada tujuh sektor yang akan memperoleh diskon harga gas. Setelah Peraturan Presiden keluar Mei 2016, kemudian Peraturan Menteri ESDM yang mengatur pemangkasan harga gas untuk tiga sektor yaitu pupuk, baja, dan petrokimia keluar pada akhir 2016. 

Akhirnya, pada 1 Januari 2017 baru ketiga sektor itu yang mendapatkan pemangkasan harga gas, sedangkan sektor lainnya masih menunggu hingga saat ini. Butuh waktu cukup lama untuk merealisasikan pemangkasan harga gas. Ternyata tidak mudah. Latar belakang tersebut sepertinya menjadi alasan pemerintah mengeluarkan kebijakan impor LNG. Padahal, berdasarkan data pemerintah, defisit gas di dalam negeri akan terjadi pada 2019. Impor LNG hanya dapat dilakukan ketika harga di dalam negeri 8-11% dari harga minyak (ICP). 

Namun, kebijakan itu tidak sesuai dengan semangat untuk mengoptimalkan pemanfaatan gas di Tanah Air. Padahal, ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM dan minyak mentah saat ini cukup mengkhawatirkan. Beruntung gas masih surplus. Namun, kebijakan impor LNG itu dikhawatirkan seperti yang terjadi pada minyak.

Ada kelompok yang menjadi pemburu rente/ mafia migas dalam kegiatan impor minyak. Impor gas ini dikhawatirkan menjadi mainan baru seperti halnya yang terjadi pada minyak selama ini.

KETERGANTUNGAN

Padahal, pemerintah mengeluarkan kebijakan impor LNG bertujuan untuk memberikan harga gas kepada industri lebih kompetitif sehingga daya saing produk nasional makin meningkat. Namun, dampak ketergantungan terhadap impor juga patut diwaspadai.

Beberapa pengembangan blok migas di Tanah Air pada saat ini belum bisa dilakukan karena tidak adanya calon pembeli gas. Kalaupun ada industri yang tertarik menyerap gas dari lapangan migas itu, harga yang diminta belum memenuhi skala ekonomi kontraktor kontrak kerja sama.

Pengembangan Blok Kasuri di Papua hingga kini masih terganjal karena belum ada pembeli gas. Demikian juga dengan Blok East Natuna dan Lapangan Jambaran Tiung Biru. Ada sebuah ironi. Ketika beberapa lapangan gas domestik sulit mendapatkan pembeli gas, pintu impor LNG justru dibuka. Bukankah itu justru membuat pengembangan blok migas makin sulit dilakukan. 

Solusi mengatasi harga gas di Tanah Air agar lebih kompetitif harus dilihat secara proporsional. Mulai dari sisi hulu. Rencana kerja para kontraktor perlu dilihat lagi dan dilakukan efisiensi dengan memangkas kegiatan, yang dianggap tidak perlu sehingga harga gas bisa ditekan.

Di sisi midstream, tata niaga gas bisa diperpendek dengan memangkas ‘TRADER KERTAS’, trader yang tidak memiliki infrastruktur dan hanya mengandalkan alokasi gas dari pemerintah. Pemerintah juga perlu mengatur sewa pipa atau toll fee, bahkan kalau perlu margin pelaku usaha niaga gas untuk dibatasi.

Namun, hal yang paling utama adalah pembangunan infrastruktur gas yang masif sudah harus segera dilakukan oleh pemerintah.

Bisnis Indonesia, Page-30, Tuesday, Feb, 14, 2017


No comments:

Post a Comment

POP UNDER

Iklan Tengah Artikel 1

NATIVE ASYNC

Iklan Bawah Artikel