Government asked to consistently fix the governance of domestic gas.
Decree of the Ministry of Energy and Mineral Resources governing the import of gas is considered too hasty. Reforminer Institute Executive Director Pri Agung Rakhmanto worry it could hinder the development of the national gas field. "The risk of domestic gas is not absorbed the greater the pressure will make the upstream industry continues," he said.
The Ministry of Energy opened the import of gas through the Minister of Energy and Mineral Resources No. 11 of 2017 dated 27 January. The government allows imports for the price of liquefied natural gas (LNG) is not more than 11.5 percent of the Indonesia Crude Price (ICP).
Last year, domestic gas allocation is not absorbed reached 17 cargoes of LNG. According to Pri Agung, this phenomenon often occurs every year. If not immediately get a buyer, the government was forced to sell into the spot market at a cheaper price. Pri Agung predicts imports will only increase the amount of cargo domestic gas which is not absorbed. The impact is not just on the pitch that is producing, but a field whose development is being planned.
In the gas business, the investment feasibility of a project is required by how many customers are already committed. He cited the development of the Masela block project delayed, partly because buyers for the gas. The government wants Masela gas can be processed into LNG as much as 7.5 tons per annum (MTPA) and in the form of pipeline gas by 474 million standard cubic feet (MMSCFD).
While contractors Masela, Inpex, want to 9.5 MTPA LNG and pipeline gas of 150 MMSCFD. Pri Agung also assess gas import does not guarantee low prices. Because, in the Asia-Pacific region, the current LNG prices at US $ 6 per MMBTU (million metric British thermal unit). If added to the cost of transportation and regasification, prices could reach US $ 8-9 dollars per MMBTU.
That figure is not much different from the average price of LNG sold in the country. According to him, before deciding imports, the government should set up the infrastructure that supports the absorption of gases, such as LNG terminals and floating regasification facility (FSRU) or landline. If the problem is the price, the Ministry of Energy could complete his promise to fix the gas trading system.
The government is planning to organize margin gas transmission and distribution, as well as the establishment of a buffer gas for the long term. "Also regulate gas trader that only with the allocation. Had been leading up to it, then suddenly shortcut import? "
Procurement Director of PT PLN Supangkat Iwan Santoso said that, to date, the company has not requiring gas imports. Based on his calculations, the supply of gas for the power plant is expected to be a deficit in 2020. Even so, Iwan assess import rules remain necessary if domestic gas prices soared. "If gas is too high development cost, better gas stored only in the earth," he said
Director General of Electricity Jarman reiterated that LNG imports are allowed a maximum of 11.5 per cent higher than the ICP. If in the international market there is no LNG at that price, Jarman asked PLN willing to absorb domestic gas. "The ministerial regulation gives the option, so they can choose a reasonable price" said Jarman.
IN INDONESIAN
Izin Impor Berisiko Hambat Produksi Gas
Pemerintah diminta konsisten membenahi tata kelola gas domestik.
Keputusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengatur impor gas dinilai terlalu terburu-buru. Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto khawatir hal itu bisa menghambat pengembangan lapangan gas nasional. “Risiko gas dalam negeri tidak terserap semakin besar membuat industri hulu bakal tertekan terus,” katanya.
Kementerian Energi membuka impor gas melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2017 tertanggal 27 Januari lalu. Pemerintah mengizinkan impor selama harga gas alam cair (LNG) tidak lebih dari 11,5 persen dari Indonesia Crude Price (ICP).
Tahun lalu, alokasi gas domestik yang tidak terserap mencapai 17 kargo LNG. Menurut Pri Agung, fenomena ini sering terjadi setiap tahun. Jika tidak segera mendapat pembeli, pemerintah terpaksa menjual ke pasar spot dengan harga lebih murah. Pri Agung memprediksi impor justru akan meningkatkan jumlah kargo gas domestik yang tidak terserap. Dampaknya bukan cuma ke lapangan yang berproduksi, tapi lapangan yang pengembangannya sedang direncanakan.
Dalam bisnis gas, kelayakan investasi suatu proyek dibutuhkan oleh seberapa banyak pembeli yang sudah berkomitmen. Dia mencontohkan pengembangan proyek Blok Masela yang molor, salah satu alasannya karena pembeli gas. Pemerintah menginginkan gas Masela bisa diolah menjadi LNG sebanyak 7,5 ton per tahun (MTPA) dan dalam bentuk gas pipa sebesar 474 juta standar kaki kubik (mmscfd).
Sedangkan kontraktor Masela, Inpex, ingin LNG sebanyak 9,5 MTPA dan gas pipa sebesar 150 mmscfd. Pri Agung juga menilai impor gas tidak menjamin harga murah. Sebab, di kawasan Asia-Pasifik, Harga LNG saat ini sebesar US$ 6 per MMBTU (million metric british thermal unit). Jika ditambah dengan biaya transportasi dan regasifikasi, harga bisa mencapai US$ 8-9 dolar per MMBTU.
Angka itu tidak jauh berbeda dari rata-rata harga LNG yang dijual di Tanah Air. Menurut dia, sebelum memutuskan impor, pemerintah selayaknya menyiapkan infrastruktur yang mendukung penyerapan gas, seperti terminal LNG serta fasilitas regasifikasi terapung (FSRU) ataupun darat. Jika masalahnya adalah harga, Kementerian Energi bisa menuntaskan janjinya untuk membenahi tata niaga gas.
Pemerintah memang berencana menata margin transmisi dan distribusi gas, serta membentuk badan penyangga gas untuk jangka panjang. “Juga menertibkan trader gas yang hanya bermodalkan alokasi. Tadinya sudah mengarah ke situ, lalu tiba-tiba shortcut impor?"
Direktur Pengadaan PT PLN Supangkat Iwan Santoso mengatakan, hingga saat ini, perusahaan belum memerlukan impor gas. Berdasarkan perhitungannya, suplai gas untuk pembangkit diperkirakan akan defisit pada 2020. Meski begitu, Iwan menilai aturan impor tetap diperlukan jika harga gas domestik melonjak. “Kalau gas development cost terlalu tinggi, lebih baik gas disimpan saja di dalam bumi,” ujarnya
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Jarman menegaskan bahwa impor LNG dibolehkan maksimal 11,5 persen lebih tinggi dari ICP. Jika di pasar internasional tidak ada LNG dengan harga segitu, Jarman meminta PLN rela menyerap gas domestik. “Peraturan menteri ini memberi opsi, sehingga bisa memilih harga yang wajar" ucap Jarman.
Koran Tempo, Page-20, Thursday, Feb, 9, 2017
No comments:
Post a Comment