In 2023, six years from now, PT Pertamina is targeting Indonesia-free import of fuel oil. Reference is Pertamina has completed the construction of two new refinery units and increasing the capacity of four old refineries. It's a gigantic mission worth 35 billion US dollars, or around Rp 455 trillion
Consumption of fuel oil (BBM) is estimated to as much as 2 million barrels per day in 2023. At the same time, when the new refinery project and development of the old refinery is completed, Pertamina refinery production capacity will increase to 2 million barrels per day. Currently, Pertamina refinery production capacity of 800,000 barrels per day, or only half of the fuel needs nationwide reached 1.6 million barrels per day.
In a hearing between Commission VII of the House of Representatives and Pertamina, Thursday (23/3), in Jakarta, Pertamina's ability is questionable, especially in terms of financing. Therefore, projects worth nearly Rp 455 trillion is not possible is borne by Pertamina. It could disrupt the company's equity. Pertamina's annual capital spending "only" 5 billion to 6 billion US dollars, or Rp 65 trillion to Rp 78 trillion.
The new refinery in Tuban, East Java, will cost 13.5 billion US dollars or equivalent to Rp 175 trillion. Meanwhile, a new refinery in Bontang, East Kalimantan, will cost $ 9 billion, or around Rp 117 trillion. Equally capacity of 300,000 barrels per day, the Bontang plant is much cheaper because of standing on land owned by Pertamina. Infrastructure has also been supporting the full range available.
Meanwhile, to increase the capacity and complexity of old refineries (refinery master plan development programs / RDMP Program), Pertamina needs $ 3 billion to 4 billion US dollars, or Rp 39 trillion to Rp 52 trillion per unit of the refinery. There are four refineries are included in the program, namely RDMR Balongan refinery in West Java, refinery Dumai in Riau, Cilacap refinery in Central Java, and East Kalimantan Balikpapan refinery.
Indonesia has long been not build a refinery despite fuel demand more and more from year to year. The refinery was built was the last time Balongan, which began operations in 1994. The former Pertamina president director Dwi Soetjipto once said that Indonesia cowed oil mafia. According to the oil mafia, build refineries, besides being very expensive, uneconomical, finally Indonesia relies on imported fuel and therein arises fraud practice known as the oil mafia.
About to build refineries is not just a matter of energy security in the country. Having refinery to process crude oil into gasoline and other derivative products, also cut slits efficiency fuel imports which have been the seizure of the rentier. In the end, Indonesia just simply import crude oil only.
Back to the point, how to keep the fuel import free mission with the new refinery could be realized? So far, only two interested parties involved in the project, namely Saudi Aramco, the national oil company of Saudi Arabia in the Cilacap refinery RDMP program and Russian national oil company, Rosneft, which became partners Pertamina to build new refineries in Tuban.
Central and local government support was needed to realize the construction of the refinery. This is a vital and strategic projects. At least, ease of licensing and simplification of bureaucracy could be some sort of incentive for Pertamina in completing the project. If necessary the government can be a guarantor when Pertamina needs loans from financial institutions.
The precautionary principle to run the project should also not be overlooked. Do not let the same fate as many infrastructure projects in Indonesia are not neglected and is not finished for years. Nevertheless, of the pleasure is the oil mafia.
IN INDONESIAN
Misi Bebas Impor BBM
Pada 2023 atau enam tahun dari sekarang, PT Pertamina menargetkan Indonesia bebas impor bahan bakar minyak. Acuannya adalah Pertamina telah merampungkan pembangunan dua unit kilang baru dan peningkatan kapasitas empat kilang lama. Ini sebuah misi raksasa senilai 35 miliar dollar AS atau sekitar Rp 455 triliun
Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional diperkirakan sebanyak 2 juta barrel per hari pada 2023. Pada saat yang sama, apabila proyek kilang baru dan pengembangan kilang lama rampung, kapasitas produksi kilang Pertamina akan naik menjadi 2 juta barrel per hari. Saat ini, kapasitas produksi kilang Pertamina 800.000 barrel per hari atau baru setengah dari kebutuhan BBM nasional yang mencapai 1,6 juta barrel per hari.
Dalam rapat dengar pendapat antara Komisi VII DPR dan Pertamina, Kamis (23/3), di Jakarta, kemampuan Pertamina dipertanyakan, terutama dalam hal pembiayaan. Sebab, proyek senilai hampir Rp 455 triliun itu tidak mungkin ditanggung semua oleh Pertamina. Hal itu bisa mengganggu ekuitas perusahaan tersebut. Belanja modal tahunan Pertamina ”hanya” 5 miliar sampai 6 miliar dollar AS atau Rp 65 triliun sampai Rp 78 triliun.
Kilang baru di Tuban, Jawa Timur, membutuhkan biaya 13,5 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 175 triliun. Sementara, kilang baru di Bontang, Kalimantan Timur, membutuhkan biaya 9 miliar dollar AS atau sekitar Rp 117 triliun. Sama-sama berkapasitas 300.000 barrel per hari, kilang Bontang jauh lebih murah lantaran berdiri di atas lahan milik Pertamina. lnfrastruktur pendukung lainnya juga sudah lengkap tersedia.
Sementara itu, untuk menambah kapasitas dan kompleksitas kilang lama (refinery development master plan program/RDMP Program), Pertamina membutuhkan 3 miliar dollar AS sampai 4 miliar dollar AS atau Rp 39 triliun sampai Rp 52 triliun per unit kilang. Ada empat kilang yang masuk dalam program RDMR yaitu kilang Balongan di Jawa Barat, kilang Dumai di Riau, kilang Cilacap di Jawa Tengah, dan kilang Balikpapan di Kaltim.
Indonesia memang sudah lama tidak membangun kilang kendati kebutuhan BBM makin banyak dari tahun ke tahun. Kilang yang terakhir kali dibangun adalah Balongan, yakni mulai beroperasi pada 1994. Mantan Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto pernah berujar bahwa Indonesia ditakut-takuti mafia migas. Menurut para mafia migas, membangun kilang, selain sangat mahal, tidak ekonomis, akhirnya Indonesia bergantung pada impor BBM dan di situlah timbul praktik penyelewengan yang dikenal dengan mafia migas.
Tentang membangun kilang memang bukan hanya urusan ketahanan energi di dalam negeri. Memiliki kilang, untuk mengolah minyak mentah menjadi BBM dan produk turunan lainnya, juga memangkas celah efisiensi impor BBM yang selama ini menjadi rebutan para pemburu rente. Pada akhirnya, Indonesia hanya cukup mengimpor minyak mentah saja.
Kembali pada pokok persoalan, bagaimana agar misi bebas impor BBM dengan kilang baru bisa terwujud? Sejauh ini hanya dua pihak yang berminat terlibat pada proyek itu, yaitu Saudi Aramco, perusahaan migas nasional Arab Saudi dalam program RDMP kilang Cilacap dan perusahaan migas nasional Rusia, Rosneft, yang menjadi mitra Pertamina membangun kilang baru di Tuban.
Dukungan pemerintah pusat dan daerah mutlak dibutuhkan untuk mewujudkan pembangunan kilang. Ini adalah proyek vital dan strategis. Setidaknya, kemudahan perizinan dan penyederhanaan birokrasi bisa menjadi semacam insentif bagi Pertamina dalam menuntaskan proyek tersebut. Bila perlu pemerintah bisa menjadi penjamin saat Pertamina membutuhkan pinjaman dana dari lembaga pembiayaan.
Prinsip kehati-hatian menjalankan proyek juga tidak boleh diabaikan. Jangan sampai nasibnya sama seperti banyak proyek infrastruktur di Indonesia yang tidak terurus dan tidak tuntas bertahun-tahun lamanya. Meski demikian, tentu yang senang adalah mafia migas.
Kompas, Page-17, Monday, March, 27, 2017
No comments:
Post a Comment