In the discussion "Investment Climate Fix the Upstream Oil and Gas for the sake Promote National Economic Growth" in Jakarta, Wednesday (29/3), the national oil and gas upstream conditions became the main topic. Incentives have been given, permission has been simplified, but why investment is still not excited?
Some argue, oil prices plummeted from around 100 US dollars to 50 US dollars per barrel an even never less than 30 US dollars per barrel in early 2016 to be the cause. Not only in Indonesia, the whole world was in the doldrums. However, from government records, when oil prices in the range of 100 dollars, lethargy have occurred in Indonesia.
In 2013, when oil prices 90 dollars-100 dollars per barrel, the number of working areas (WK) into a gas fell from 321 318 in 2014. In fact, the number WK dropped again to 312 in 2015. As of July 2016, there were 288 WK Reception the state of the oil and gas sector also fell, from Rp 320 trillion in 2014 to Rp 80 trillion in 2016.
The layout of the resources that are in the high seas and in making operational costs increase. On the one hand, the success rate is lower. The risk of losing tens, hundreds of billions, even trillions of rupiah shadowing the oil drilling business in such area. Logically, high cost with little success plus the risk that lower selling prices caused investors to retrench.
Differences in the time elapsed since the discovery process to produce significant reserves. In the 1970s, it took an average of 5 years from the discovery of oil and gas reserves to production. Entering the era of the 2000s, the time it takes an average of 15 years. A long time it was mostly spent on licensing both central and local.
As an example, there are more than 100 types of licenses in an area that should be the investor. In the center, in addition to the Ministry of Energy and Mineral Resources (ESDM) is no more than 40 licenses. MEMR has been cut from the original 104 licenses to 42, which is still being whittled down to six.
Problem concept for oil and gas, the government issued a new stance that oil and gas upstream investments become more attractive. Conventional concept with components of cost recovery (recoverable operating costs) gradually abandoned. The new concept is expected to be the savior of the national oil and gas upstream is split gross (profit sharing based on gross production).
However, they need proof for gross this split. Legal certainty, a policy that is not easily changed, and the simplification of the bureaucracy is still a major issue that continues to be discussed in the last few years. However, the fact is, it did not get better. Gas-rich blocks in Maluku waters, for example, discovered since 1998 until now not been able to be produced because it was still preoccupied with bureaucratic.
IN INDONESIAN
Mengulang Lagu Lama
Dalam diskusi ”Membenahi Iklim Investasi Hulu Migas demi Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional” di Jakarta, Rabu (29/3), kondisi hulu migas nasional menjadi topik utama. Insentif sudah diberikan, perizinan sudah disederhanakan, tetapi mengapa investasinya masih tidak bergairah?
Ada yang berpendapat, harga minyak yang anjlok dari 100-an dollar AS menjadi 50-an dollar AS per barrel bahkan pernah kurang dari 30 dollar AS per barrel pada awal 2016 menjadi penyebabnya. Tidak hanya di Indonesia, seluruh dunia pun sedang lesu. Namun, dari catatan pemerintah, saat harga minyak di kisaran 100 dollar AS, kelesuan sudah terjadi di Indonesia.
Pada 2013, saat harga minyak 90 dollar AS-100 dollar AS per barrel, jumlah wilayah kerja (WK) migas turun dari 321 menjadi 318 pada 2014. Bahkan, jumlah WK turun lagi menjadi 312 pada 2015. Per Juli 2016, ada 288 WK Penerimaan negara dari sektor migas juga merosot, dari Rp 320 triliun pada 2014 menjadi hanya Rp 80 triliun pada 2016.
Letak sumber daya yang berada di laut lepas dan dalam membuat ongkos operasional bertambah besar. Di satu sisi, tingkat keberhasilan semakin rendah. Risiko kehilangan puluhan, ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah membayangi bisnis pengeboran minyak di wilayah semacam itu. Logikanya, biaya mahal dengan risiko keberhasilan kecil ditambah harga jual yang rendah menyebabkan investor menahan diri.
Perbedaan waktu dalam proses yang dilalui sejak penemuan cadangan hingga berproduksi cukup signifikan. Di era 1970-an, hanya butuh rata-rata 5 tahun dari penemuan cadangan migas sampai berproduksi. Memasuki era 2000-an, waktu yang dibutuhkan menjadi rata-rata 15 tahun. Waktu yang lama itu sebagian habis untuk perizinan baik di pusat dan daerah.
Sekadar contoh, ada lebih dari 100 jenis izin di daerah yang harus di dapat investor. Di pusat, selain di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ada lebih dari 40 izin. Kementerian ESDM sudah memangkas dari semula 104 izin menjadi 42, yang masih terus dipangkas menjadi 6.
Soal konsep bagi hasil migas, pemerintah menerbitkan jurus baru agar investasi hulu migas menjadi lebih menarik. Konsep konvensional dengan komponen cost recovery (biaya operasi yang dapat dipulihkan) perlahan ditinggalkan. Konsep baru yang diharapkan bisa menjadi penyelamat hulu migas nasional adalah gross split (bagi hasil berdasar produksi bruto).
Namun, masih perlu pembuktian untuk gross split ini. Kepastian hukum, kebijakan yang tidak mudah berubah, dan penyederhanaan birokrasi masih menjadi isu utama yang terus diperbincangkan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, faktanya, hal itu tidak kunjung membaik. Blok kaya gas di perairan Maluku, misalnya, yang ditemukan sejak 1998 sampai sekarang belum juga bisa diproduksi karena masih berkutat pada urusan birokrasi.
Kompas, Page-17, Friday, March, 31, 2017
No comments:
Post a Comment