Revision of Law No. 22 of 2001 on Oil and Gas can be a solution when the sector upstream investment in Indonesia was slow. Currently, exploration activities and discoveries minimal lethargy. Regulation is one factor that hampers.
"Why this law needs to be revised? Indonesia has become a net importer of oil. The current situation of the legislation issue is not relevant to current conditions, with a number of oil reserves continue to decline at a time when consumption continues to rise, "said Zamroni Salim, a senior researcher of The Habibie Center, in a discussion titled" Guarding Revised Oil and Gas Law ", Monday (20/3), in Jakarta.
Zamroni compares the Law No. 8/1971 on the Company Mining and Oil and Gas Country by Law No. 22/2001. According to him, the government has a large role in the management of oil and gas sector, while Pertamina when it functions as a regulator. In Law No. 22/2001, Pertamina's role is not much different from other oil and gas companies, namely as oil and gas contractors in Indonesia. "
"Revision-law of oil and gas should be offered an opportunity for SOE or SOE Special that will be formed later to be responsible in the exploration and exploitation of oil and gas fields. In addition, the results of the revision should accommodate non-conventional oil and gas sector (such as the shale oil and gas) and renewable energy as an energy diversification efforts, "said Zamroni.
Other sources, Andang Bachtiar from the National Energy Board, added, oil and gas as non-renewable fossil energy will be needed in the future. Despite the vigorous development of renewable energy, oil and gas still plays an important role in the energy mix.
"Unfortunately, in the past three years a number of work areas of oil and gas offered by the government is very low demand. Rates of return on reserves is small, less than 50 percent. Why? It's certainly something was not right, "said Andang.
According Andang, a number of things, such as convoluted regulations, incentives required investor not being given, as well as systems for results that are not attractive to investors, the cause of discovery of new reserves in Indonesia is very minimal.
In fact, there are oil resources as much as 99.96 billion barrels in 40 basins scattered across Indonesia that could potentially be proven reserves.
"Unfortunately, when they want to develop, for the results given by the government is not economically viable for investors. That has made investors unwilling to develop these resources into proven reserves, "said Andang.
Consequently, these resources are only stored forever in the bowels of the earth and can not be used, In fact, the proven reserves of crude oil in Indonesia about 3 billion barrels remaining to be discharged in the next few years if no new reserves are found
Vice Chairman of Commission VII Satya Widya Yudha, adding, it agreed on the need to improve the Law No. 22/2001 on the current situation in the Indonesian upstream oil and gas are not excited. Moreover, Indonesia is increasingly dependent on imports of oil and gas. Number of articles of the law is no longer appropriate to the current situation
"It is still a law revision by parliament. However, with the present situation, the government should actively prepare draft revisions to advise the House, "says Satya.
Moreover, the improvement of Law No. 22/2001 should be able to describe the climate of investment in upstream oil and gas in Indonesia become more attractive. Ease of doing business in a number of surveys upstream oil and gas sector, Indonesia's position can not be said to be good, even being in the row-down.
"As the complexity of regulations and bureaucratic system causes delays in a number of permits and project decision-making. It is not very good for the interests of national energy security, "says Satya. The stages of the revision of Law No. 22/2001 is still in the discussion of the level of Commission VII and targeted to be completed this year.
IN INDONESIAN
Revisi Undang-undang Menjadi Solusi
Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dapat menjadi solusi di saat investasi hulu sektor tersebut di Indonesia yang sedang lesu. Saat ini, kegiatan eksplorasi lesu dan penemuan cadangan minim. Regulasi menjadi salah satu faktor yang menghambat.
”Mengapa undang-undang ini perlu direvisi? Indonesia telah menjadi negara pengimpor minyak. Situasi saat undang-undang tersebut terbit sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang, dengan angka cadangan minyak yang terus merosot di saat konsumsi yang terus naik,” ujar Zamroni Salim, peneliti senior dari The Habibie Center, dalam diskusi bertajuk ”Mengawal Revisi UU Migas”, Senin (20/3), di Jakarta.
Zamroni membandingkan UU No 8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara dengan UU No 22/2001. Menurut dia, pemerintah punya peran besar dalam pengelolaan sektor migas, sedangkan Pertamina saat itu lebih berfungsi sebagai regulator. Pada UU No 22/2001, peran Pertamina tidak jauh beda dengan perusahaan migas lain, yaitu sebagai kontraktor migas di Indonesia. ”
”Revisi-UU migas harus bisa memberi kesempatan kepada BUMN atau BUMN Khusus yang akan dibentuk nanti untuk bertanggung jawab dalam eksplorasi dan eksploitasi lapangan migas. Selain itu, hasil revisi tersebut sebaiknya mengakomodasi sektor migas nonkonvensional (seperti minyak dan gas serpih) dan energi terbarukan sebagai sebuah upaya diversifikasi energi,” kata Zamroni.
Narasumber lain, Andang Bachtiar dari Dewan Energi Nasional, menambahkan, migas sebagai energi fosil yang tidak terbarukan tetap akan diperlukan di masa mendatang. Meskipun energi terbarukan gencar dikembangkan, migas tetap berperan penting dalam bauran energi.
”Sayangnya, dalam tiga tahun terakhir sejumlah Wilayah kerja migas yang ditawarkan pemerintah sangat rendah peminatnya. Angka pengembalian cadangan pun kecil, kurang dari 50 persen. Kenapa? Ini pasti ada yang tidak benar,” ujar Andang.
Menurut Andang, sejumlah hal, seperti regulasi yang berbelit, insentif yang dibutuhkan investor tidak kunjung diberikan, serta sistem bagi hasil yang tidak menarik bagi investor, menjadi penyebab penemuan cadangan baru di Indonesia sangat minim.
Padahal, ada sumber daya minyak sebanyak 99,96 miliar barrel yang tersebar dalam 40 cekungan di seluruh Indonesia yang berpotensi menjadi cadangan terbukti.
”Sayangnya, saat hendak dikembangkan, bagi hasil yang diberikan pemerintah tidak bernilai ekonomis bagi investor. Itu yang membuat investor tidak mau mengembangkan sumber daya tersebut menjadi cadangan terbukti,” kata Andang.
Akibatnya, sumber daya tersebut selamanya hanya tersimpan di perut bumi dan tidak bisa dimanfaatkan, Padahal, cadangan terbukti minyak mentah di Indonesia tersisa sekitar 3 miliar barrel yang akan habis dalam beberapa tahun mendatang jika tidak ditemukan cadangan baru
Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha, menambahkan, pihaknya sepakat mengenai perlunya perbaikan UU No 22/2001 di saat situasi hulu migas di Indonesia yang tidak bergairah. Apalagi, Indonesia kini semakin bergantung pada impor minyak maupun gas. Sejumlah pasal dalam UU tersebut pun tidak lagi sesuai dengan situasi saat ini
”Memang revisi UU ini masih menjadi inisiatif DPR. Namun, dengan situasi sekarang, pemerintah sebaiknya terlibat aktif menyusun rancangan-revisi untuk memberi masukan kepada DPR,” ujar Satya.
Selain itu, perbaikan UU No 22/2001 harus mampu menggambarkan iklim investasi sektor hulu migas di Indonesia menjadi lebih menarik. Dalam sejumlah survei kemudahan berbisnis sektor hulu migas, posisi Indonesia tidak bisa dikatakan baik, bahkan berada di barisan-bawah.
”Begitu kompleksnya peraturan perundangan dan sistem birokrasi menyebabkan tertundanya sejumlah izin maupun pengambilan keputusan proyek. Ini sangat tidak bagus bagi kepentingan ketahanan energi nasional,” ujar Satya. Adapun tahapan revisi UU No 22/2001 saat ini masih dalam pembahasan tingkat Komisi VII dan ditargetkan tahun ini bisa selesai.
Kompas, Page-18, Tuesday, March, 21, 2017
No comments:
Post a Comment