google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 Building Infrastructure Gas, PLN Allocates $ 200 Million - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

Monday, April 3, 2017

Building Infrastructure Gas, PLN Allocates $ 200 Million



PT PLN plans to build a floating LNG regasification infrastructure or Regasfication Floating Storage Unit (FSRU) with a capacity of 170 million cubic feet per day (MMSCFD) with an investment of US $ 200-250 million. The FSRU construction to meet the needs of the fuel gas power plant, which in turn is expected to reduce the cost of electricity production.

"His studies are underway. We budgeted cost of approximately 10% of the investment value FSRU. The investment costs FSRU approximately US $ 200 million, if the plumbing and other construction plus so about US $ 250 million, "said Director of Procurement PLN Supangat Iwan Santoso.

According to Iwan, the presence of gas infrastructure is vital because it affects the price of gas and certainty in gas allocation as needed. He said large-capacity power plant is in desperate need of high flexibility, for example when the ticker or when the plant should be put on a weekday.

"So far, PLN cooperate with gas suppliers by using the mechanism of take or pay, which is used or not used still have to pay. For flexibility of gas supply, if FSRU owned by another company we do not have the flexibility it and linked to the price of gas, "said Iwan.



He explained that the construction of gas infrastructure by PLN planned only to supply gas to large power plants, for example, PLT G Muara Tawar and Muara Karang power plant. On the other hand, PLN also see that Indonesia has a gas supply which is large enough from a variety of sources such as from the Tangguh project in Papua and Bontang in East Kalimantan, even from imported Iwan said receiving terminal in Arun gas originating from the Tangguh project at a cost of US $ 0.6-0.8 per mmbtu. Arun, the gas is supplied to Belawan through a pipeline 340 km at a cost of US $ 2.5 per mmbtu.

"The cost is far greater than the gas transported by ship. So, we thought why not build just FSRU in Belawan. The gas price can be up to US $ 1.5 per mmbtu, "said Iwan. According to him, despite the government's efforts in the upstream gas price reduction (upstream), but in the end when the contract of sale is business to business. "Costs in mid stream is quite high in Indonesia," he said.

If you look at benchmarks such as Japan, where the construction of gas infrastructure dedicated to the power plant that produces high efficiency, according to Iwan it should also be applied in Indonesia. Iwan added, PLN plans membangunan gas infrastructure already received a positive response from the government, in this case the Minister.

In principle, the government supports efforts to lower electricity prices. Moreover, the share of the use of coal and gas as fuel for power plants to reach 80%. Regarding funding, Iwan confirmed it was not a problem. Moreover, PLN also did not rule out the possibility of cooperating with other state-owned enterprises like Pertamina and PGN.

"We think long term. The investment cost of US $ 200 million-an for a capacity of 170 million cubic feet per day, I think it is relatively cheap, because in the end can save on the purchase of gas, "he said.

Earlier, PLN President Director Sofyan Basir said, by building its own gas facilities then efficiency could certainly happen. Later PLN can cooperate with state-owned or private sector in building the gas infrastructure. Implementation of the efficiency of the perceived price of PLN power plant development Java 1, which is the first power plant equipped with a gas receiving terminal of FSRU. Gas will be supplied by PLN, and the allocation of gas has been approved by the Minister who comes from Tangguh.

"As Java Power Plant 1, we use FSRU under US $ 1 else we use US $ 1-2. Though Java 1 is still new, but it could be cheaper, "he said.

Need Study Profound

Responding to PLN plans, observers are also practitioners in the field of energy modeling and energy planning Ali Ahmudi argues, needs to be studied in-depth economic matter. "In the short term FSRU need huge investment and technological innovation. Build FSRU and independently generating means PLN must finance and manage large-scale projects, namely two FSRU and power plant. It is certainly not easy and it took a great investment, as well as the mastery of technology, "he said.

For the power plant, said Ali, certainly no problem with PLN. But for the FSRU, PLN has business experience. "The chain is long enough, ranging from gas and then converted into LNG, carry, gasified and then supplied to the power plant. It seemed to be inefficient if everything had to be "farm" PLN, "he said.

According to him, there are actually a good benchmark, namely Muara Karang which receive gas supply from PT Nusantara Regas (a joint venture company PT Pertamina and PT PGN). Nusantara Regas become a gas supplier, while PLN focus on the generation and distribution.

"If the gas supply and price, can be discussed among fellow SOEs with government mediation," he said.

He agreed that the power plant is ideally located close to the primary energy supply source Iokasi. Hence appears discourse mine mouth power plant, especially for coal-fired power plant. The goal is to reduce the cost of transportation energy supply larger majority than the transportation costs of electricity to consumers via the electricity network is available. So that it can obtain economical and affordable electricity prices by the user (affordable).

"But it was not always true / ideal, depending on the condition and location. It could be because of the conditions and locations that are difficult even uneconomical. Bottom line construction and electrical trade it must dynamically adjust the conditions and location. Could based proximity to the primary energy source, could also be based on the proximity to the consumer. That is the need for pre-feasibility and feasibility study, "he said.

IN INDONESIAN

Membangun Infrastruktur Gas, PLN Anggarkan US$ 200 Juta


PT PLN berencana membangun infrastruktur regasifikasi LNG terapung atau Floating Storage Regasfication Unit (FSRU) berkapasitas 170 juta kaki kubik per hari (mmscfd) dengan nilai investasi mencapai US$ 200-250 juta. Pembangunan FSRU ini untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar gas pembangkit listrik yang pada akhirnya diharapkan dapat menurunkan biaya produksi listrik.

“Studinya sedang dilakukan. Kami menganggarkan biaya sekitar 10% dari nilai investasi FSRU. Biaya investasi FSRU sekitar US$ 200 juta, jika ditambah pembangunan pipa dan lainnya jadi sekitar US$ 250 juta,” kata Direktur Pengadaan PLN Supangat Iwan Santoso.

Menurut Iwan, keberadaan infrastruktur gas sangat vital karena berpengaruh terhadap harga gas dan kepastian dalam alokasi gas sesuai dengan kebutuhan. Dia mengungkapkan, pembangkit listrik berkapasitas besar sangat membutuhkan fleksibilitas yang tinggi, misalnya saat ticker atau pada saat pembangkit harus dipadamkan pada hari kerja.

“Selama ini PLN bekerja sama dengan pemasok gas dengan menggunakan mekanisme take or pay, yakni dipakai atau tidak dipakai tetap harus bayar. Untuk fleksibilitas pasokan gas, kalau FSRU dimiliki perusahaan lain kita tidak punya fleksibilitas itu dan terkait dengan harga gasnya,” kata Iwan.  

Dia menjelaskan, pembangunan infrastruktur gas oleh PLN direncanakan hanya untuk memasok gas bagi pembangkit-pembangkit besar, misalnya PLT G Muara Tawar dan PLTG Muara Karang.  Di sisi lain, PLN juga melihat bahwa Indonesia memiliki pasokan gas yang cukup besar dari berbagai sumber seperti dari lapangan Tangguh di Papua dan Bontang di Kalimantan Timur, bahkan juga dari impor Iwan mengatakan, receiving terminal di Arun yang gasnya berasal dari lapangan Tangguh dengan biaya US$ 0,6-0,8 per mmbtu. Dari Arun, gas tersebut dialirkan ke Belawan melalui pipa sepanjang 340 km dengan biaya US$ 2,5 per mmbtu.

“Biaya yang dikeluarkan ini jauh lebih besar jika dibandingkan gas diangkut melalui kapal. Jadi, kami berpikir kenapa tidak membangun saja FSRU di Belawan. Harga gasnya bisa ditekan hingga menjadi US$ 1,5 per mmbtu,” kata Iwan. Menurut dia, meski pemerintah  mengupayakan penurunan harga gas di hulu (upstream), namun pada akhirnya saat kontrak jual beli bersifat business to business. “Biaya di mid stream memang cukup tinggi di Indonesia," kata dia.

Jika melihat benchmark seperti Jepang, dimana pembangunan infrastruktur gas dedicated dengan pembangkit listrik yang menghasilkan efisiensi yang tinggi, menurut Iwan hal itu seharusnya juga diterapkan di Indonesia. Iwan menambahkan, rencana PLN membangunan infrastruktur gas sudah mendapat respons positif dari pemerintah, dalam hal ini Menteri ESDM. 

Pada prinsipnya, pemerintah mendukung upaya untuk menurunkan harga listrik. Apalagi, porsi penggunaan batubara dan gas sebagai bahan bakar pembangkit mencapai 80%. Perihal dana, Iwan menegaskan hal itu tidak masalah. Apalagi, PLN juga tidak menutup kemungkinan untuk bekerja sama dengan BUMN lain seperti Pertamina dan PGN. 

“Kami berpikir jangka panjang. Biaya investasi US$ 200 juta-an untuk kapasitas 170 juta kaki kubik per hari, saya kira relatif murah, karena pada akhirnya bisa menghemat pembelian gas,” kata dia.

Sebelumnya, Direktur Utama PLN Sofyan Basir mengatakan, dengan membangun fasilitas gas sendiri maka efisiensi dipastikan bisa terjadi. Nantinya PLN bisa bekerja sama dengan BUMN atau pihak swasta dalam membangun infrastruktur gas. Implementasi efisiensi harga dirasakan PLN saat pembangunan PLTGU Jawa 1, yang merupakan PLTGU pertama yang dilengkapi dengan FSRU sebagai terminal penerimaan gas. Gas akan disediakan oleh PLN, dan alokasi gasnya telah mendapat persetujuan Menteri ESDM yang berasal dari Tangguh.

“Seperti PLTGU Jawa 1, kita pakai FSRU di bawah US$ 1 yang lain kita pakai US$ 1-2. Padahal Jawa 1 masih baru, tapi bisa lebih murah,” ungkap dia.

Perlu Kajian Mendalam

Menanggapi rencana PLN itu, pengamat energi yang juga praktisi bidang permodelan dan perencanaan energi Ali Ahmudi berpendapat, perlu dikaji mendalam secara hitungan ekonomi. “Dalam jangka pendek FSRU butuh investasi besar dan inovasi teknologi. Membangun FSRU dan pembangkit secara mandiri, berarti PLN harus membiayai dan mengelola dua proyek skala besar yaitu FSRU dan power plant. Ini tentunya tidak mudah dan butuh investasi besar, serta penguasaan teknologi,” kata dia.

Untuk power plant, kata Ali, pastinya tidak ada masalah dengan PLN. Namun untuk FSRU, PLN memiliki pengalaman bisnis. “Rantainya cukup panjang, mulai dari gas lalu diubah menjadi LNG, dibawa, digasifikasi lalu dialirkan ke power plant. Rasanya menjadi tidak efisien kalau semuanya harus menjadi ’ladang’ PLN,” katanya.

Menurut dia, sebenarnya ada benchmark yang bagus yaitu PLTGU Muara Karang yang mendapat pasokan gas dari PT Nusantara Regas (perusahaan patungan PT Pertamina dan PT PGN). Nusantara Regas menjadi pemasok gas, sedangkan PLN fokus di pembangkitan dan distribusinya.

“Kalau masalah kepastian pasokan gas dan harga, bisa dibicarakan antar sesama BUMN dengan mediasi pemerintah,” ujar dia.

Dia sepakat bahwa idealnya power plant berada dekat dengan Iokasi sumber pasokan energi primernya. Makanya muncul wacana pembangkit listrik mulut tambang, terutama untuk PLTU berbahan bakar batubara. Tujuannya untuk menekan biaya transportasi pasokan energi yang mayoritas lebih besar dibanding biaya transportasi listrik ke konsumen melalui jaringan listrik yang tersedia. Sehingga bisa didapatkan harga listrik ekonomis dan terjangkau oleh user (affordable).

“Namun hal itu tidak selalu benar/ideal, tergantung kondisi dan lokasi. Bisa jadi karena kondisi dan lokasi yang sulit malah tidak ekonomis. Intinya pembangunan pembangkit dan perdagangan listrik itu harus dinamis menyesuaikan kondisi dan lokasi. Bisa berbasis kedekatan dengan sumber energi primer, bisa juga berbasis kedekatan dengan konsumen. Itulah perlunya pre-feasibility study dan feasibility study,” kata dia.

Investor Daily, Page-1, Monday, Apr, 3, 2017

No comments:

Post a Comment

POP UNDER

Iklan Tengah Artikel 1

NATIVE ASYNC

Iklan Bawah Artikel