The government hopes to stem the decline in national oil production by requiring newly appointed contractors to reimburse the expenses of existing contractors. Holders of expiring oil and gas concessions often put the brakes on their investments approaching the end of their contracts, which leads to a decline in production The Energy and Mineral Resources Ministry recently issued a decree requiring the existing contractors to maintain their production levels until the end of the contract.
The decree, No. 26/2017 on the mechanism of the return of investment costs in the upstream oil and gas sector, guarantees that their unrecovered costs will be reimbursed by new investors taking over their concessions.
“The investment cost must be verified and approved by SKK-Migas [the Upstream Oil and Gas Regulatory Special Task Force],” the decree says.
The government hopes the decree will serve as an incentive to keep production levels up. This year’s state budget sets a ready-to-sell production target, also known as lifting target, at 1.9 million barrels of oil equivalent per day (boepd).
This comprises 815,000 barrels of oil per day (bopd) and 6,440 million metric standard cubic feet of gas per day (mmscfd). While the gas-lifting target has largely been met in the first quarter, oil lifting has fallen short of its target, with only 787,800 bopd produced.
The government also hopes the decree will remove uncertainty about unrecovered costs if existing contractors decide to extend their contracts or take over other contracts.
Contractors extending their contracts under the reimbursement scheme, known as cost recovery, will be reimbursed for unrecovered costs by the government in the next production-sharing contract (PSC).
Moreover, if contractors decide to extend the contracts under the gross-split scheme. the unrecovered
cost of the previous PSC will be included in the profit split between the government and contractors. Finally, if contractors extend their contracts with new partners, the latter must also bear the unrecovered costs based on their participating interests.
The Indonesian Petroleum Association (IPA) has welcomed the new decree as a legal basis to address the unrecovered cost issue during the transition from existing contractors to new ones. "However, it might be difficult for old contractors to invest if the [production] potential is small,” IPA executive director Marjolijn Wajong said.
Experts have mixed views on whether the new regulation will be beneficial for the upstream oil and gas sector. Andrew Harwood, research director of the Asia upstream at consultancy firm Wood Mackenzie, said the decree was likely to encourage operators to maintain investment during the transition, which is key to maintaining production levels.
“For existing operators, it provides greater certainty around recouping their investment. For new operators, the existing unrecovered cost liability must be fully understood and factored into the assessment of the attractiveness of applying for an expiring PSC,” he told The Jakarta Post on Tuesday. The new regulation means the fiscal terms must be sufficiently attractive for the new operator, taking into account the unrecovered cost liability
ReforMiner Institute researcher Pri Agung Rakhmanto claimed that several terms might clash with a previous decree on the new gross-split scheme, which does not take into account the new contractor’s cost reimbursement responsibility in the profit split.
The new decree may make Indonesia’s upstream oil and gas sector even less flexible, as it prioritizes certain companies only. “Only those who are truly interested in the oil and gas blocks can take over from the previous contractors due to the very large consequences [in investment],” Pri Agung, said.
IN INDONESIAN
Pemerintah berharap bisa mempertahankan produksi dengan keputusan baru
Pemerintah berharap dapat membendung penurunan produksi minyak nasional dengan mewajibkan kontraktor yang baru ditunjuk untuk mengganti biaya kontraktor yang ada. Pemegang konsesi minyak dan gas yang kadaluwarsa sering mengerem investasi mereka menjelang akhir kontrak mereka, yang menyebabkan turunnya produksi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral baru-baru ini mengeluarkan sebuah keputusan yang mengharuskan kontraktor yang ada untuk mempertahankan tingkat produksinya sampai akhir Dari kontrak
Keputusan tersebut, No. 26/2017 tentang mekanisme pengembalian biaya investasi di sektor hulu minyak dan gas bumi, menjamin bahwa biaya yang belum dipulihkan akan diganti oleh investor baru yang mengambil alih konsesi mereka.
"Biaya investasi harus diverifikasi dan disetujui oleh SKK-Migas [Satuan Tugas Regulasi Khusus Hulu Minyak dan Gas Bumi]," kata keputusan tersebut.
Pemerintah berharap keputusan tersebut akan menjadi insentif untuk mempertahankan tingkat produksi. Anggaran negara tahun ini menetapkan target produksi siap jual, yang juga dikenal sebagai target pengangkatan, pada 1,9 juta barel setara minyak per hari (boepd).
Ini terdiri dari 815.000 barel minyak per hari (bopd) dan 6.440 juta metrik standar kaki kubik gas per hari (mmscfd). Sementara target pengangkatan gas sebagian besar telah terpenuhi pada kuartal pertama, lifting minyak telah gagal mencapai targetnya, dengan hanya 787.800 bopd yang diproduksi.
Pemerintah juga berharap keputusan tersebut akan menghilangkan ketidakpastian mengenai biaya yang tidak terpulihkan jika kontraktor yang ada memutuskan untuk memperpanjang kontrak mereka atau mengambil alih kontrak lainnya.
Kontraktor yang memperpanjang kontrak mereka di bawah skema penggantian, yang dikenal sebagai cost recovery, akan diganti untuk biaya yang tidak dapat dipulihkan oleh pemerintah dalam kontrak bagi hasil berikutnya (production sharing sharing / PSC).
Selain itu, jika kontraktor memutuskan untuk memperpanjang kontrak di bawah split split sch eine. Yang belum dipulihkan Biaya PSC sebelumnya akan dimasukkan dalam pembagian keuntungan antara pemerintah dan kontraktor. Akhirnya, jika kontraktor memperpanjang kontrak mereka dengan mitra baru, yang terakhir juga harus menanggung biaya yang belum dipulihkan berdasarkan kepentingan mereka yang berpartisipasi.
Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) telah menyambut baik keputusan baru tersebut sebagai dasar hukum untuk mengatasi masalah biaya yang tidak terpulihkan selama masa transisi dari kontraktor yang ada ke yang baru. "Namun, sulit bagi kontraktor lama untuk berinvestasi jika potensi produksi kecil," kata direktur eksekutif IPA, Marjolijn Wajong.
Para ahli memiliki pandangan yang beragam mengenai apakah peraturan baru tersebut akan bermanfaat bagi sektor hulu migas. Andrew Harwood, direktur riset hulu Asia di perusahaan konsultan Wood Mackenzie, mengatakan bahwa keputusan tersebut cenderung mendorong operator untuk mempertahankan investasi selama masa transisi, yang merupakan kunci untuk mempertahankan Tingkat produksi.
"Untuk operator yang ada, ini memberikan kepastian yang lebih besar seputar investasi mereka kembali. Bagi operator baru, kewajiban biaya yang belum terpulihkan harus sepenuhnya dipahami dan dimasukkan dalam penilaian daya tarik mengajukan PSC yang akan berakhir, "katanya kepada The Jakarta Post pada hari Selasa. Peraturan baru ini berarti persyaratan fiskal harus cukup menarik bagi operator baru, dengan mempertimbangkan kewajiban biaya yang tidak terpulihkan
Peneliti ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto mengklaim bahwa beberapa istilah mungkin berbenturan dengan keputusan sebelumnya mengenai skema split split baru, yang tidak mempertimbangkan tanggung jawab penggantian biaya kontraktor baru dalam pemecahan laba.
Keputusan baru tersebut dapat membuat sektor hulu migas di Indonesia bahkan kurang fleksibel, karena hanya memprioritaskan perusahaan tertentu saja. "Hanya mereka yang benar-benar tertarik dengan blok minyak dan gas dapat mengambil alih dari kontraktor sebelumnya karena konsekuensi yang sangat besar [dalam investasi]," kata Pri Agung.
Jakarta Post, Page-13, Thursday, April, 20, 2017
No comments:
Post a Comment