As a state-owned enterprise, PT Pertamina becomes the backbone of Indonesia's energy security. Oil and gas business is still the main breath of the company which is now led by Elia Massa Manik. The current world trend, renewable energy is increasingly popular, which is slowly abandoning fossil energy that can not be renewed.
In the exposure of Pertamina's performance in the first quarter of 2017 last week, talk of upstream and downstream of fossil energy (oil and gas) is still dominant. It said Pertamina's oil production rose 10 percent to 337,000 barrels per day compared with the same period last year. Similarly, natural gas rose 2 percent to 2,010 million standard cubic feet per day (MMSCFD).
The company's revenue during the quarter of 1-2017 amounted to 10.15 billion US dollars or equivalent to Rp 132 trillion with an exchange rate of Rp 13,000 per US dollar. Achievement was improved compared with the same period last year, ie 8.55 billion US dollars or about Rp 112 trillion. Quarter I-2017 revenue is still supported by oil and gas downstream sector which contributes about 87 percent.
Touched about Pertamina's business direction for renewable energy sector, Pertamina still seems to depend on geothermal power. Renewable energy development from solar power, wind power or others is still limited to exploration. Currently, the installed capacity of geothermal power plant operated by Pertamina is around 450 megawatts or 28 percent of the national installed capacity.
Talks on renewable energy development, especially in addition to geothermal, are still less common for Pertamina. This company is known as a company whose main business is fossil energy. In fact, as Massa once asserted, Pertamina is not a mere oil and gas company. Pertamina is an energy company.
Nevertheless, it does not mean Pertamina rushed to focus on renewable energy business. Pertamina is still running a megaproject mission of building an oil refinery with a capacity of 2 million barrels per day in 2023-2024. Once again the mission is about fossil energy aka non-renewable.
Moreover, until the next decades, Indonesia still needs oil and natural gas. In the National Energy Policy the portion of petroleum is still set 25 percent by 2025 in the national energy mix. The portion of natural gas in the same year set 22 percent. In the same policy, the direction of the government to encourage optimization of renewable energy in Indonesia is clear.
As fossil energy reductions, renewable energy is boosted to 23 percent by 2025 and to at least 31 percent by 2050. Renewable energy trends do not exist only in Indonesia. Other countries, even those with large reserves of oil and gas, are aggressive in developing renewable energy.
It happens in countries in the Middle East that many develop solar power as a new energy source other than oil and gas. How in Indonesia? Our oil and gas reserves are not too many. In the next two to three years Indonesia will be called the oil and gas deficit. Imports of both types of energy will be greater than that can be produced domestically. No need to wait for the crisis to develop renewable energy that has abundant potential in the country.
IN INDONESIAN
Jalan Bisnis Pertamina
Sebagai badan usaha milik negara, PT Pertamina menjadi tulang punggung ketahanan energi Indonesia. Bisnis minyak dan gas bumi masih menjadi napas utama perusahaan yang kini dipimpin Elia Massa Manik ini. Tren dunia saat ini, energi terbarukan kian populer, yang perlahan-lahan meninggalkan energi fosil yang tidak bisa diperbarui.
Dalam paparan kinerja Pertamina triwulan I-2017 pekan lalu, pembicaraan mengenai hulu dan hilir energi fosil (minyak dan gas bumi) masih dominan. Disebutkan produksi minyak Pertamina naik 10 persen menjadi 337.000 barrel per hari dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Demikian pula gas bumi naik 2 persen menjadi 2.010 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).
Penerimaan perseroan sepanjang triwulan 1-2017 sebesar 10,15 miliar dollar AS atau setara Rp 132 triliun dengan nilai tukar Rp 13.000 per dollar AS. Pencapaian itu membaik dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yakni 8,55 miliar dollar AS atau sekitar Rp 112 triliun. Pendapatan triwulan I-2017 masih didukung sektor hilir migas yang berkontribusi sekitar 87 persen.
Disinggung mengenai arah bisnis Pertamina untuk sektor energi terbarukan, Pertamina tampaknya masih bergantung pada tenaga panas bumi. Pengembangan energi terbarukan dari tenaga surya, tenaga angin atau yang lain masih sebatas penjajakan. Saat ini, kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi yang dioperasikan Pertamina sekitar 450 megawatt atau 28 persen dari kapasitas terpasang nasional.
Pembicaraan mengenai pengembangan energi terbarukan, khususnya selain panas bumi, masih kurang lazim bagi Pertamina. Perusahaan ini telanjur dikenal sebagai perusahaan yang bisnis utamanya berupa energi fosil. Padahal, seperti yang pernah ditegaskan Massa, Pertamina bukan perusahaan migas semata. Pertamina adalah perusahaan energi.
Toh, bukan berarti Pertamina bergegas fokus pada bisnis energi terbarukan. Pertamina masih menjalankan misi megaproyek pembangunan kilang minyak dengan kapasitas 2 juta barrel per hari pada 2023-2024. Sekali lagi misi itu tentang energi fosil alias tidak terbarukan.
Apalagi, hingga puluhan tahun ke depan, Indonesia masih butuh minyak dan gas bumi. Dalam Kebijakan Energi Nasional porsi minyak bumi masih ditetapkan 25 persen pada 2025 dalam bauran energy nasional. Adapun porsi gas bumi di tahun yang sama ditetapkan 22 persen. Dalam kebijakan itu pula, arah pemerintah mendorong optimalisasi energi terbarukan di Indonesia sudah jelas.
Seiring pengurangan energi fosil, energi terbarukan didorong meningkat menjadi 23 persen pada 2025 dan menjadi sedikitnya 31 persen tahun 2050. Tren energi terbarukan tidak hanya ada di Indonesia. Negara-negara lain, bahkan yang punya cadangan minyak dan gas bumi dalam jumlah besar cukup agresif mengembangkan energi terbarukan.
Itu terjadi di negara-negara di Timur Tengah yang banyak mengembangkan tenaga surya sebagai sumber energi baru selain minyak dan gas bumi. Bagaimana di Indonesia? Cadangan minyak dan gas kita tidak terlalu banyak. Dalam dua sampai tiga tahun mendatang Indonesia disebut akan defisit minyak dan gas bumi. Impor kedua jenis energi tersebut akan lebih besar daripada yang bisa diproduksi di dalam negeri. Tidak perlu menunggu krisis untuk mengembangkan energi terbarukan yang potensinya berlimpah di negeri ini.
Kompas, Page-17, Saturday, May 27, 2017
No comments:
Post a Comment