google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 Gas Transportation Fee Must be Competitive - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

MARKET

Wednesday, May 24, 2017

Gas Transportation Fee Must be Competitive



Energy and Mineral Resources Minister (ESDM) Ignatius Jonan confirmed that the toll fee set for gas consumers must be competitive. Because the cost of this transport will affect the price of gas that affects the competitiveness of national industries. Jonan said the government will study how much investment the construction of a gas distribution pipeline that makes sense.

It will gather all relevant stakeholders, such as PT Pertamina Gas, PT PGN Tbk, and large private companies to discuss this. So it can be obtained a fair fee or toll fee for all parties. Because all this time the owner of the pipe company divides this investment expense with the volume of gas flowed through the pipes. If the gas volume is flowing a bit, then the toll fee drawn can be quite high. It wants the toll amount to the same regardless of the volume of gas that flows.

He added, to reduce the national gas price, it has encouraged oil and gas producers to do the efficiency. But if on the midtsream side does not do the same and set a high toll fee, then the national gas price can not be as low as expected.

In fact, the biggest buyer of national gas production is PT PLN. Thus, the price of gas will greatly affect the price of electricity. If electricity is not competitive, then the whole industry is not competitive as well.

Director General of Oil and Gas at the Ministry of Energy and Mineral Resources, I Gusti Nyoman Wiratmaja, added that the toll fee for distribution pipeline is determined based on business negotiations between the owners of pipelines and gas buyers. The government through the Oil and Gas Downstream Regulatory Agency (BPH Migas) only regulates the toll fee of the transmission pipeline.

So we will issue a ministerial regulation stipulating how much the cost of distribution (toll fee) and trading margin, so there is justice. To set this toll fee, it will set the rate of return on capital (internal rate of return / IRR) gas distribution pipeline project.

Later, the government will set IRR so much, for all pipe developers, so that the cost of transporting so much. In the draft ministerial regulation, the government sets a tariff of gas (toll fee), which is the sum of asset depreciation, operating and maintenance costs, taxes, dues, and IRR then divided by volume.

In this formula, the IRR will also be limited to 11% with age to the economy set by 15 years. Furthermore, the volume of gas used in accordance with the allocation or 60% of the initial design capacity of the larger distribution pipeline.

As for the commercial cost formula set at less than or equal to 7% of the price of upstream gas. This commercial cost includes commodity management costs, marketing and customer management costs, risk costs, and trade margins.

When gas distribution through two commercial entities facilitates touching the final consumer, the commercial cost of 7% is shared between the two business entities.

President Director of Pertagas Toto Nugroho admitted that he did not mind the arrangement of toll fee. It only requested that the company still obtain a reasonable rate of return for investments that have been issued, which is about 11-12%. If during that (IRR enough) exists, then players will be interested in building a pipe. The government expects that after the arrangement of toll fee, gas price can be more affordable so that the utilization of domestic gas will be more optimal.

Wiratmaja said, this increase in consumption has been taken into account in the preparation of the 2016-2035 Gas Balance. In this balance sheet has been taken into account the increase in consumption, so there is potential and comitted demand.

In the 2016-2035 Gas Balance, committed demand increased from the current 923 million standard cubic feet per day / mmscfd to 1,427 mmscfd next year, 2,289 mmscfd in 2019, and reached 5,333 mmscfd by 2035. While potential demand increased from 357 mmscfd 2017, 696 mmscfd by 2018, 1,436 mmscfd by 2019, and touching 3,231 mmscfd by 2035.

With this commitment and potential demand, Indonesia needs to start importing gas in 2019. At that time, the total needs, including those with contracted demand, reached 9,323 mmscfd. Meanwhile, the total national gas supply is only 7,651 mmscfd. So the required import of 1,672 mmscfd.

Thus, Indonesia needs to expand its gas infrastructure as gas needs continue to increase every year. The government wants all the islands to connect gas pipelines, mainly Sumatra, Java, Bali and Kalimantan. To that end, the government needs the participation of private companies to increase the national gas infrastructure.

IN INDONESIAN

Ongkos Angkut Gas Harus Kompetitif    


Menteri Energi dan Sumber Maya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menegaskan ongkos angkut (toll fee) yang ditetapkan bagi konsumen gas harus kompetitif. Pasalnya, ongkos angkut ini akan berpengaruh pada harga gas yang berdampak pada daya saing lndustri nasional. Jonan menuturkan pemerintah akan mengkaji berapa investasi pembangunan pipa distribusi gas yang masuk akal.

Pihaknya akan mengumpulkan seluruh stakeholder terkait, seperti PT Pertamina Gas, PT PGN Tbk, dan perusahaan swasta besar untuk membahas hal ini. Sehingga dapat diperoleh ongkos angkut atau toll fee yang adil bagi semua pihak. Karena selama ini perusahaan pemilik pipa membagi beban investasi ini dengan volume gas yang dialirkan melalui pipanya. Jika volume gas yang mengalir sedikit, maka toll fee yang ditarik bisa cukup tinggi. Pihaknya menginginkan besaran toll ke yang sama berapapun volume gas yang dialirkan.

Dia menambahkan, untuk menekan harga gas nasional, pihaknya sudah mendorong produsen migas untuk melakukan efisiensi. Namun jika di sisi midtsream tidak melakukan hal yang sama dan menetapkan toll fee tinggi, maka harga gas nasional tidak bisa serendah yang diharapkan.

Padahal, pembeli terbesar produksi gas nasional adalah PT PLN. Sehingga, harga gas akan sangat mempengaruhi harga listrik. Kalau listrik harganya tidak kompetitif, maka seluruh industri tidak kompetitif juga. 

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmaja menambahkan, toll fee untuk pipa distribusi selama ini memang ditentukan berdasarkan negosiasi bisnis antara pemilik pipa dan pembeli gas. Pemerintah melalui Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas), hanya mengatur toll fee pipa transmisi.

Maka kami akan menerbitkan satu peraturan menteri yang menetapkan berapa biaya distribusi (toll fee) dan margin trading, supaya ada keadilan. Untuk menetapkan toll fee ini, pihaknya akan mengatur tingkat pengembalian modal (internal rate of return/ IRR) proyek pipa gas distribusi. 

Nantinya, pemerintah akan menetapkan IRR sekian, untuk semua pengembang pipa, sehingga diperoleh ongkos angkut sekian. Dalam draf peraturan menteri, pemerintah menetapkan tarif penyaluran gas (toll fee), yakni hasil penjumlahan depresiasi aset, biaya operasi dan pemeliharaan, pajak, iuran, serta IRR kemudian dibagi volume. 

Dalam formula ini, IRR nantinya juga akan dibatasi 11% dengan umur ke ekonomian ditetapkan 15 tahun. Selanjutnya, volume gas yang digunakan sesuai dengan alokasi atau 60% dari kapasitas desain awal pipa distribusi yang lebih besar.

Sementara untuk formula biaya niaga ditetapkan kurang dari atau sama dengan 7% dari harga gas hulu. Biaya niaga ini telah mencakup biaya pengelolaan komoditas, biaya pemasaran dan pengelolaan pelanggan, biaya risiko, dan marjin niaga. 

Bila penyaluran gas melalui dua badan usaha niaga berfasilitas untuk menyentuh konsumen akhir, biaya niaga sebesar 7% dibagi ke dua badan usaha tersebut.

Presiden Direktur Pertagas Toto Nugroho mengaku tidak keberatan adanya pengaturan toll fee. Pihaknya hanya meminta agar perusahaan tetap memperoleh tingkat pengembalian yang wajar untuk investasi yang telah dikeluarkan, yakni sekitar 11-12%. Kalau selama itu (IRR cukup) ada, maka pemain akan tertarik membangun pipa. Pemerintah mengharapkan setelah ada pengaturan toll fee, harga gas bisa semakin terjangkau sehingga pemanfaatan gas dalam negeri akan semakin optimal. 

Wiratmaja mengungkapkan, peningkatan konsumsi ini sudah diperhitungkan dalam penyusunan Neraca Gas 2016-2035. Di neraca ini sudah diperhitungkan kenaikan konsumsi, makanya ada potential dan comitted demand.

Dalam Neraca Gas 2016-2035, committed demand tercatat meningkat dari saat ini 923 million standard cubic feet per day/mmscfd menjadi 1.427 mmscfd pada tahun depan, 2.289 mmscfd pada 2019, dan mencapai 5.333 mmscfd pada 2035. Sementara potential demand naik dari 357 mmscfd pada 2017, 696 mmscfd pada 2018, 1,436 mmscfd pada 2019, dan menyentuh 3.231 mmscfd pada 2035.

Dengan adanya committed dan potential demand ini, maka Indonesia perlu mulai impor gas pada 2019. Pada saat itu, total kebutuhan termasuk dengan yang contracted demand, mencapai 9.323 mmscfd. Sementara total pasokan gas nasional hanya sebesar 7.651 mmscfd. Sehingga diperlukan impor sebesar 1.672 mmscfd. 

Sehingga, Indonesia perlu memperbanyak infrastruktus gasnya mengingat kebutuhan gas terus meningkat setiap tahunnya. Pemerintah menginginkan agar seluruh pulau bisa terhubung pipa gas, utamanya Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan. Untuk itu, pemerintah membutuhkan partisipasi perusahaan swasta untuk menambah infrastruktur gas nasional.

Investor Daily, Page-9, Thursday, May, 4, 2017

No comments:

Post a Comment

POP UNDER

Iklan Tengah Artikel 1

NATIVE ASYNC

Iklan Bawah Artikel