Why Coldplay is not a gig in Indonesia? In fact, many fans of bands from London, England, it is here. Coldplay prefers Singapore, Hong Kong, the Philippines, or Japan as a concert venue. The interesting illustration above was delivered by Tumbur Parlindungan, the Treasurer of the Indonesian Petroleum Association (IPA), when touched on the condition of oil and gas investment climate in Indonesia.
Coldplay is like an upstream oil and gas investor. Despite the potential Indonesian market, they do not vote for concerts here and prefer concerts in some of Indonesia's neighbors.
It may be that concerted, complex, layered, and long-winded concert permissions make them reluctant, time, energy, and of course the cost of being drained for unnecessary things. Not to mention the lack of security and comfort guarantees during the concert. IPA noted that the upstream oil and gas business in Indonesia is getting more complicated.
Not just about bureaucracy and the like, but also geographical conditions. Oil and gas exploration in Indonesia is now shifting to the deep sea (offshore), not onshore. Most of the potential oil and gas reserves in off shore areas have not been explored.
The challenges of deep sea exploration are much heavier. The cost of drilling one well can reach 80 million-100 million US dollars or about Rp 1 trillion-Rp 1.3 trillion. The success rate of finding a reserve is less than 50 percent. Can you imagine if the well was not producing anything dry aliases, that much money just disappeared.
Upstream oil and gas investment in Indonesia also fell from US $ 15.34 billion in 2015 to 11.15 billion US dollars in 2016. The oil and gas working area also decreased significantly from 233 regions in 2012 to 199 by 2016. Again, - the eyes of bureaucratic affairs, the world oil price factor that has declined since the end of 2014 has a big contribution. Now, the price of oil in the range of 50 dollars per barrel or dropped about 50 percent compared with three years ago that reached more than 100 US dollars per barrel.
IPA President Christina Verchere
IPA President Christina Verchere said, a number of factors are increasingly burdensome upstream oil and gas business in Indonesia Factors that include legal uncertainty, licensing, and fluctuating oil prices. According to Christina, has given some input to the government. On the contrary, the government has tried hard to improve the upstream oil and gas investment climate in Indonesia through the issuance of new rules or improvements to the old rules.
In the gloomy upstream oil and gas business in Indonesia, hard work and efficiency are key to surviving. As Minister of Energy and Mineral Resources Ignatius Jonan once pointed out, if the commodity price is determined by the market, not by the producer, the company with the most efficient production cost that can win the competition.
IPA held the 41st convention and exhibition in Jakarta. The theme of the year is "Accelerating Reform to Re-attract Investment to Meet the Economic Growth Target". A number of seminars are held by presenting all stakeholders in the upstream oil and gas sector, both direct and indirect.
As always, IPA will submit recommendations to the government based on the results of the convention. In accordance with the theme taken, the hope is how to recall upstream oil and gas investment in Indonesia to encourage economic growth in accordance with the set targets. In the coming years, Indonesia should be a top choice for upstream oil and gas investors for the concert.
IN INDONESIAN
Konser Minyak dan Gas
Mengapa Coldplay tidak manggung di Indonesia? Padahal, banyak penggemar grup band asal London, Inggris, itu ada di sini. Coldplay lebih memilih Singapura, Hongkong, Filipina, atau Jepang sebagai tempat konser. Ilustrasi menarik di atas disampaikan Tumbur Parlindungan, Bendahara Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA), saat menyinggung kondisi iklim investasi minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia.
Coldplay ibarat investor hulu migas, Kendati pasar Indonesia berpotensi, mereka tidak memilihnya untuk konser di sini dan lebih menyukai konser di sejumlah negara tetangga Indonesia.
Bisa jadi, perizinan konser yang berbelit, kompleks, berlapis, dan bertele-tele membuat mereka enggan, waktu, energi, dan tentu biaya terkuras untuk hal-hal yang sebenarnya tidak perlu. Belum lagi soal tiadanya jaminan keamanan dan kenyamanan selama konser. IPA mencatat bahwa berbisnis hulu migas di Indonesia semakin rumit.
Bukan hanay semata soal birokrasi dan sejenisnya, melainkan juga kondisi geografisnya. Eksplorasi migas di Indonesia kini bergeser ke laut dalam (offshore), bukan lagi di daratan (onshore). Sebagian besar potensi cadangan migas di wilayah off shore belum dieksplorasi.
Tantangan eksplorasi di laut dalam jauh lebih berat. Biaya pengeboran satu sumur bisa mencapai 80 juta-100 juta dollar AS atau sekitar Rp 1 triliun-Rp 1,3 triliun. Tingkat keberhasilan menemukan cadangan pun kurang dari 50 persen. Bisa dibayangkan jika sumur ternyata tidak menghasilkan apa-apa alias kering, uang sebanyak itu lenyap begitu saja.
Investasi hulu migas di Indonesia juga turun dari 15,34 miliar dollar AS pada tahun 2015 menjadi 11,15 miliar dollar AS pada 2016. Wilayah kerja migas juga berkurang signifikan dari 233 wilayah pada tahun 2012 menjadi 199 wilayah pada 2016. Sekali lagi, bukan semata-mata urusan birokrasi, faktor harga minyak dunia yang merosot sejak akhir 2014 punya kontribusi besar. Kini, harga minyak di kisaran 50 dollar AS per barrel atau anjlok sekitar 50 persen dibandingkan dengan tiga tahun lalu yang mencapai lebih dari 100 dollar AS per barrel.
Presiden IPA Christina Verchere menyebutkan, sejumlah faktor yang semakin memberatkan bisnis hulu migas di Indonesia Paktor itu antara lain ketidakpastian hukum, perizinan, dan harga minyak yang fluktuatif. Menurut Christina, sudah memberikan sejumlah masukan kepada pemerintah. Sebaliknya, pemerintah sudah berusaha keras memperbaiki iklim investasi hulu migas di Indonesia lewat penerbitan aturan-aturan baru ataupun perbaikan aturan lama.
Di saat suramnya bisnis hulu migas di Indonesia, kerja keras dan efisiensi menjadi kunci penting untuk dapat bertahan. Seperti yang pernah dikatakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan, jika harga komoditas ditentukan pasar, bukan oleh produsen, perusahaan dengan ongkos produksi paling efisien yang dapat memenangkan persaingan.
IPA menyelenggarakan konvensi dan pameran ke-41 di Jakarta. Tema yang diambil tahun adalah ”Accelerating Reform to Re-attract Investment to Meet the Economic Growth Target”. Sejumlah seminar diselenggarakan dengan menghadirkan semua pemangku kepentingan di sektor hulu migas, baik yang langsung maupun yang tidak langsung.
Seperti yang sudah-sudah, IPA akan menyerahkan rekomendasi kepada pemerintah berdasarkan hasil penyelenggaraan konvensi tersebut. Sesuai dengan tema yang diambil, harapannya adalah bagaimana menarik kembali investasi hulu migas di Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai dengan target yang ditetapkan. Pada tahun-tahun mendatang, Indonesia harus bisa menjadi pilihan utama investor hulu migas untuk konser.
Kompas, Page-17, Saturday, May, 13, 2017
No comments:
Post a Comment