Synergies of oil and gas and electricity infrastructure development planning should be undertaken to ensure the availability of gas according to the allocation of needs and not overlap.
So far the synergy of infrastructure development planning has just been run by PT Pertamina and PT PGN. Director of PGN Infrastructure and Technology Dilo Seno Widagdo said, the synergy of infrastructure development can not only stop between Pertamina and PGN only. Considering that PT PLN is the main buyer of gas in the country, the gas infrastructure development plan must also be synergized with the RUPTL Business Plan.
This is primarily to prevent the development of gas infrastructure that is not in accordance with the planning of power plant development. Some already identified need new infrastructure for power plant needs.
PLN projects that gas demand for power plants will increase annually, in the form of gas pipelines and liquefied natural gas (LNG). In 2017, the need for pipe gas for power plants is recorded at 474 billion cubic feet / bcf and 191 bcf of LNG.
This requirement increased significantly for LNG recorded at 419 bcf by 2020, reaching 589 bcf by 2024, and 838 bcf by 2025.
However, Dilo added, PLN's gas requirement for now is not too big, considering the economic growth is still not too high. Therefore, PGN and Pertamina are still processing infrastructure development planning together. This is necessary to encourage the utilization of natural gas in the country to expand and the volume is increasing.
This planning synergy should include the development of gas infrastructure for transport, interconnection between islands, and the development of eastern Indonesia. "From there will be seen what efforts can be done together or sorted out which option PGN pioneering infrastructure development and where the option Pertamina
Indonesia has to focus on improving gas utilization in the country. Because the efficiency of gas usage in countries has reached 80%, while in Indonesia only about 40-50%. Therefore, the synergy of gas infrastructure development should be expanded to encourage higher gas consumption.
Gas Director of Pertamina Yenny Andayani revealed similar thing. It and PGN are busy mapping the potential that can be collaborated by the two state-owned companies. The synergy that has been done is in North Sumatra where both companies succeeded in reducing the gas price to about US $ 9 per million british therma unit (mmbtu).
In the future, the cooperation will be carried out for the construction of Duri-Dumai Pipeline, the use of South Sumatra West Java (SSWJ) Pipeline, and the optimization of the regasification unit. His duties (Pertamina and PGN) are the same, providing and ensuring the gas supply exists. Because in the future we will shortage gas in 2020. So PGN and Pertamina must optimize existing infrastructure.
IN INDONESIAN
Perencanaan Infrastruktur Migas dan Kelistrikan Harus Di sinergikan
Sinergi perencanaan pembangunan infrastruktur migas dan kelistrikan harus dilakukan untuk memastikan ketersediaan gas sesuai alokasi kebutuhannya dan tidak terjadi tumpang tindih.
Sejauh ini sinergi perencanaan pembangunan infrastruktur baru saja dijalankan oleh PT Pertamina dan PT PGN. Direktur Infrastruktur dan Teknologi PGN Dilo Seno Widagdo menuturkan, sinergi pembangunan infrastruktur tidak bisa hanya berhenti di antara Pertamina dan PGN saja. Mengingat PT PLN merupakan pembeli utama gas di dalam negeri, rencana pembangunan infrastruktur gas juga harus disinergikan dengan Rencana Usaha Penyediaan Usaha Tenaga Listrik (RUPTL).
Hal ini utamanya untuk mencegah terjadinya pembangunan infrastruktur gas yang tidak sesuai dengan perencanaan pembangunan pembangkit listrik. Beberapa sudah teridentifikasi butuh infrastruktur baru untuk kebutuhan pembangkit listrik.
PLN memproyeksikan kebutuhan gas untuk pembangkit listrik akan meningkat setiap tahunnya, baik berupa gas pipa maupun gas alam cair (liquefied natural gas/LNG). Pada 2017 ini, kebutuhan gas pipa untuk pembangkit listrik tercatat sebesar 474 miliar kaki kubik/bcf dan LNG 191 bcf.
Angka kebutuhan ini meningkat signifikan terutama untuk LNG yang tercatat mencapai 419 bcf pada 2020, mencapai 589 bcf pada 2024, dan 838 bcf pada 2025.
Namun, Dilo menambahkan, kebutuhan gas PLN untuk saat ini memang belum terlalu besar, mengingat pertumbuhan ekonomi juga masih belum terlalu tinggi. Karenanya, PGN dan Pertamina kini masih memproses perencanaan pembangunan infrastruktur bersama. Hal ini diperlukan untuk mendorong pemanfaatan gas bumi di dalam negeri agar semakin meluas dan volumenya semakin meningkat.
Sinergi perencanaan ini harus mencakup pembangunan infrastruktur gas untuk transportasi, interkoneksi antar pulau, serta pengembangan wilayah timur Indonesia. “Dari situ akan dilihat upaya-upaya apa yang bisa dilakukan bersama atau dipilah-pilah mana yang menjadi opsi PGN melakukan pioneering pembangunan infrastruktur dan mana opsi Pertamina
Indonesia disebutnya harus fokus meningkatkan pemanfaatan gas di dalam negeri. Pasalnya, efisiensi penggunaan gas di negara-negara sudah mencapai 80%, sementara di Indonesia baru sekitar 40-50%. Untuk itu, sinergi pembangunan infrastruktur gas harus diperluas untuk mendorong konsumsi gas yang lebih tinggi.
Direktur Gas Pertamina Yenny Andayani mengungkapkan hal senada. Pihaknya dan PGN sedang sibuk memetakan potensi yang bisa dikerjasamakan oleh kedua perusahaan milik negara. Sinergi yang telah dilakukan yakni di Sumatera Utara di mana kedua perusahaan berhasil menekan harga gas menjadi sekitar US$ 9 perjuta british therma unit (mmbtu).
Ke depan, kerja sama akan dilakukan untuk pembangunan Pipa Duri-Dumai, pemakaian Pipa South Sumatera West Java (SSWJ), dan optimalisasi unit regasifikasi. Tugasnya (Pertamina dan PGN) sama, menyediakan dan memastikan pasokan gas ada. Karena di masa mendatang kita akan shortage gas pada 2020. Jadi PGN dan Pertamina harus optimalkan infrastruktur yang ada.
Investor Daily, Page-20, Friday, April, 28, 2017
No comments:
Post a Comment