Indonesia is expected to import 2.2 million barrels of oil per day by 2025 if not accompanied by an increase in domestic production. Domestic oil production is currently at an average of 800,000 bpd.
"Imports of that with the assumption that the refinery in the country has been built.If the refinery capacity is still not increased, the import is done at a more expensive price," said Energy Expert from Tri Sakti University Pri Agung Rakhmanto
According to him, to increase oil production in the country need support from the government because it requires a big investment. Otherwise, the size of any oil reserves in Indonesia will only be a potential if there is no effort to produce. In terms of reserves currently only 3.3 billion barrels.
He also mentioned oil potential in Indonesia reached 151 billion barrels with reserves of 3.3 billion barrels. Until whenever it will only be a potential if there is no investment effort.
Therefore, the upstream oil and gas industry needs investment guarantees and long-term solutions from the government so that the upstream oil and gas industry is enthusiastic in the midst of declining world oil prices. He considered related licensing bureaucracy is still a major obstacle to oil and gas exploration.
Not only that, the oil and gas industry is also concerned with the concept of oil and gas revenue sharing using gross split to replace cost recovery. The concept of gross profit sharing based on oil and gas gross production is considered not attractive to investors because the base split is set before the reserve amount is found.
Based on Regulation of the Minister of Energy and Mineral Resources (ESDM) No. 8/2017 base split for oil 57% for government and 43% to be part of contractor. While the gas is set at 52% government and the remaining 48% of the contractor.
He thinks the base split for the government is too big because the cost of developing the entire working area is borne by the contractor, not to mention burdened with taxes. Base split should be negotiated according to reasonableness with a range of 30-35% for the government.
He said the more profit-sharing the contractors receive to develop sustainable upstream oil and gas projects. In addition, the concept of gross split should not apply to all oil and gas contracts in Indonesia. This concept should be offered as a form of contract option only.
We recommend that the gross split concept be applied selectively to oil and gas blocks to attract investment and exploration interests. All can not be equated. Therefore, the profit-sharing figures in the gross split should be something that can be negotiated, not the direction of the government.
Meanwhile, Senior Vice President of Policy, Government and Public Affairs of Chevron Pacific Indonesia Yanto Sianipar said that currently CPI is still monitoring the various new policies issued by the government. Chevron's continuing investment is not only seen from the availability of reserves, but also from various aspects that affect business certainty.
"We see investments from all sides, especially in terms of business certainty, not one or two are seen, but a lot of things." From the regulation side, the certainty of the implementation of the law becomes a concern to be considered, "he said.
Executive Director of IPA Marjolijn Elisabeth Wajong said that upstream oil and gas investment continues to decline. It said upstream oil and gas investment in 2016 decreased 27% compared with the previous year.
IN INDONESIAN
lmpor Minyak Diprediksi 2,2 juta bph pada 2025
Indonesia diperkirakan akan mengimpor minyak mentah 2,2juta barel per hari pada 2025 jika tidak dibarengi dengan peningkatan produksi di dalam negeri. Produksi minyak di dalam negeri saat ini rata-rata sebesar 800.000 bph.
"Impor sebesar itu dengan asumsi kilang di dalam negeri sudah terbangun. Apabila kapasitas kilang masih belum bertambah, impor dilakukan dengan harga yang lebih mahal," ujar Pakar Energi dari Universitas Tri Sakti Pri Agung Rakhmanto
Menurut dia, untuk meningkatkan produksi minyak di dalam negeri perlu dukungan dari pemerintah karena membutuhkan investasi besar. Jika tidak, sebesar apa pun cadangan minyak di Indonesia hanya akan menjadi potensi bila tidak ada upaya melakukan produksi. Dari sisi cadangan saat ini hanya 3,3 miliar barel.
Dia pun menyebut potensi minyak di Indonesia mencapai 151 miliar barel dengan cadangan sebesar 3,3 miliar barel. Sampai kapan pun hanya akan menjadi potensi jika tidak ada upaya investasi.
Karena itu, industri hulu migas perlu jaminan investasi dan solusi jangka panjang dari pemerintah supaya industri hulu migas bergairah di tengah merosotnya harga minyak dunia. Dia beranggapan terkait birokrasi perizinan masih menjadi kendala utama eksplorasi migas.
Tidak hanya itu, industri migas saat ini juga risau dengan konsep bagi hasil migas menggunakan gross split menggantikan cost recovery. Konsep bagi hasil kotor berdasar produksi bruto migas dinilai belum menarik investor karena base split jauh ditetapkan sebelum jumlah cadangan ditemukan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 8/2017 base split untuk minyak 57% untuk pemerintah dan 43% menjadi bagian kontraktor. Sementara gas ditetapkan sebesar 52% pemerintah dan sisanya sebesar 48% bagian kontraktor.
Dia beranggapan base split untuk pemerintah terlalu besar karena biaya pengembangan wilayah kerja secara keseluruhan ditanggung kontraktor, belum lagi dibebani dengan pajak. Base split sebaiknya dinegosiasikan sesuai kewajaran dengan kisaran 30-35% untuk pemerintah.
Dia mengatakan, bagi hasil lebih yang diterima kontraktor untuk mengembangkan proyek hulu migas secara berkelanjutan. Di samping itu, sebaiknya konsep gross split tidak diberlakukan terhadap seluruh kontrak migas di Indonesia. Konsep ini sebaiknya ditawarkan sebagai salah satu bentuk pilihan kontrak saja.
Sebaiknya konsep gross split diterapkan secara selektif terhadap blok migas untuk menarik minat investasi dan eksplorasi. Semua tidak bisa disamakan. Karena itu angka-angka bagi hasil dalam gross split sebaiknya menjadi sesuatu yang bisa dinegosiasikan, bukan searah dari pemerintah.
Sementara itu, Senior Vice President Policy, Government and Public Affairs Chevron Pacific Indonesia Yanto Sianipar mengatakan bahwa saat ini CPI masih terus memantau berbagai kebijakan baru yang dikeluarkan pemerintah. Kelanjutan investasi Chevron tidak hanya dilihat dari sisi ketersediaan cadangan, namun juga dari berbagai aspek yang memengaruhi kepastian usaha.
"Kami melihat investasi dari seluruh sisi, khususnya dari sisi kepastian usaha bukan satu-dua saja yang dilihat, tapi banyak hal. Dari sisi regulasi, kepastian pelaksanaan undang-undang menjadi konsen yang harus dipertimbangkan,” kata dia.
Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Elisabeth Wajong mengatakan, investasi hulu migas terus mengalami penurunan. Pihaknya menyebut investasi hulu migas pada 2016 menurun 27% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Koran Sindo, Page-8, Wednesday, May, 17, 2017
No comments:
Post a Comment