google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 Questioning ExxonMobil Gas Export - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

MARKET

Tuesday, May 23, 2017

Questioning ExxonMobil Gas Export



Together with the visit of US Vice President Mike Pence, PT Pertamina has signed a contract with ExxonMobil related to the import of Liquefied Natural Gas (LNG) of 1 million tons per year. The contract comes into force in 2025 with a contract term of 20 years to 2045.

The signing of a joint venture contract between ExxonMobil and Pertamina was witnessed by US Vice President Mike Pence, Vice President Jusuf Kalla and Energy and Mineral Resources Minister Ignatius Jonan.

Through the Head of Communications Bureau of the Ministry of Energy and Mineral Resources, the Government has found at least two reasons underlying the decision to import LNG in large quantities from ExxonMobil. First, the import of LNG is done to get affordable price for Indonesian industry players, who have been buying gas in the country at a price more expensive than the price of gas abroad.

Industrial gas prices in Indonesia have been far more expensive than gas prices in Vietnam, Malaysia and Singapore. Indonesia with abundant gas reserves, industrial gas gas prices reached about US $ 11.2 to US $ 13.5 per Million Metric British Thermal Units (MMBtu). While in Vietnam and Singapore that do not have gas source, gas price is only US $ 4 per MMBtu in Singapore and US $ 7 per MMBtu in Vietnam.

The reason for getting affordable prices with LNG imports is not only anomalies, but also very fancy. The problem of high domestic gas prices has been experienced by industrial consumers since a year ago, while LNG import from ExxonMobil will be implemented in 2025.

An 8-year grace period between current problem and solution further indicates that the reason for LNG import from ExxonMobil is just to justify the government's decision to import LNG.

Secondly, the government said that starting from 2019 it is predicted that Indonesia should import gas to meet the increasing demand of gas from industrial and PLN consumers, due to gas deficit. At that time, gas production was no longer sufficient to supply gas consumption in the country, so it must import gas. Is it true?

According to data from BP Statistical Review of World Energy 2015, Indonesia has a huge reserve of natural gas, Indonesia currently has the third largest gas reserves in the Asia Pacific region, after Australia and China. Indonesia's gas reserves contribute about 1.5% of the world's total gas reserves.

Natural gas fields are scattered in several parts of Indonesia, including Arun Aceh, Bontang and Mahakam in East Kalimantan, Tangguh-Papua, Natuna and Masela, most of which are managed and operated by Foreign Companies, including Chevron, Total, ExxonMobil and Inpex .

Since the last 10 years in 2006-2015, gas production in Indonesia has been stable at an average of 76.12 MMBtu per year. The highest gas production reached 85.7 MMBtu in 2010, while production in 2015 still reaches 75.0 MMBtu. This production is expected to increase as the Masela Block and Natuna Block begin production in 2019.

While domestic gas consumption in the same period only reached an average of 39.36 MMBtu per year, only half of the total gas production in Indonesia, so the gas surplus, which is exported abroad. One of the reasons for the low gas absorption in the country is the limited infrastructure to deliver gas from upstream sources to industrial consumers including PLN.

In addition to the limitations of infrastructure, join traders non-infrastructure, more role as a broker, which helped boost the high price of gas in the country.

In the abundance of gas upstream indicated a surplus between production and consumption, Exxon Mobil's gas import decisions are not very accurate, which tends to be anomaly. Assessment is made that in 2019 Indonesia will experience gas deficit is not fundamental.

The data shows that there is a gas surplus, which indicates the amount of production is greater than consumption. The surplus has been exported far more than it used to supply domestic needs.

FORCED

It is no exaggeration to say that the assessment is merely a blunder justification for Indonesia's decision to import LNG from Exxon in large quantities on long-term contracts. Long-term contract termination for 20 years will be very harmful to Indonesia.

With such long-term contracts, Indonesia will be forced to keep LNG imports from ExxonMobil, both in the state of deficit and gas surplus, at a forward price.

In addition, ExxonMobil is expected to sell gas to Indonesia derived from gas sources from land in Indonesia, managed by ExxonMobil. If this allegation is true, it is very ironic for Indonesia to import LNG from ExxonMobil, whose gas source is exploited from its own country.

The ironic decision is not the actions of the Oil and Gas Mafia to hunt rente on LNG imports, but more due to the massive pressure of US Vice President visiting Indonesia. The indication, the LNG import decree contract from Exxon Mobil was signed when the US Vice President Pence visited Indonesia. In fact, Pence's pressure was also made to meet Freeport's demands in order to keep exporting concentrates, unprocessed and refined at the domestic Smelter.

Previously, the massive pressure of the US government also occurred in the reign of Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). At the time of the struggle for the Cepu Block management between Pertamina and ExxonMobil, SBY suddenly decided to hand over the Cepu Block management to ExxonMobil as a single operator. The decision of SBY is also signed along with the visit of US Secretary of State to Indonesia.

As a sovereign country, Indonesia should not be subject to various forms of pressure from the US Government, either to surrender the management of the Cepu Block, meet the demands of Freeport, or to decide on imports of gas from ExxonMobil.

The various decisions of the Indonesian government, which are based on US government pressure, potentially not only violate prevailing laws but also harm the interests of the Republic of Indonesia.

IN INDONESIAN

Menyoal lmpor Gas ExxonMobil


Bersamaan dengan kunjungan Wakil Presiden (Wapres)  Amerika Serikat (AS) Mike Pence, PT Pertamina telah menandatangani kontrak dengan ExxonMobil terkait impor Liquefied Natural Gas (LNG) sebanyak 1 juta ton per tahun. Kontrak itu mulai berlaku pada 2025 dengan jangka kontrak selama 20 tahun hingga 2045.

Penandatanganan kontrak kerja sama antara ExxonMobil dengan Pertamina disaksikan langsung oleh Wapres AS Mike Pence, Wapres Republik Indonesia Jusuf Kalla, serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan.

Melalui Kepala Biro Komunikasi Kementerian ESDM RI, Pemerintah mengemukan paling tidak ada dua alasan yang mendasari keputusan untuk impor LNG dalam jumlah besar dari ExxonMobil. Pertama, impor LNG dilakukan untuk mendapatkan harga terjangkau (affordable price) bagi pelaku industri Indonesia, yang selama ini membeli gas di dalam negeri dengan harga lebih mahal daripada harga gas di luar negeri.

Harga gas Industri di Indonesia selama ini memang jauh lebih mahal daripada harga gas di Vietnam, Malaysia, dan Singapura. Indonesia yang punya cadangan gas berlimpah, harga gas konsumen industri mencapai sekitar US$ 11,2 hingga US$ 13,5 per Million Metric British Thermal Units (MMBtu). Sedangkan di Vietnam dan Singapura yang tidak mempunyai sumber gas, harga gas hanya sebesar US$ 4 per MMBtu di Singapura dan US$ 7 per MMBtu di Vietnam.

Alasan mendapatkan harga terjangkau dengan impor LNG, tidak hanya anomali, tetapi juga sangat mengada-ada. Permasalahan mahalnya harga gas di dalam negeri sudah dialami oleh konsumen industri sejak setahun lalu, sedangkan impor LNG dari ExxonMobil akan dilaksanakan pada 2025. 

Adanya tenggang waktu selama 8 tahun antara current problem dengan solution semakin mengindikasikan bahwa alasan impor LNG dari ExxonMobil hanya sekedar untuk justifikasi keputusan pemerintah mengimpor LNG.

Kedua, pemerintah mengemukakan bahwa terhitung mulai 2019 diprediksikan Indonesia harus impor gas untuk memenuhi peningkatan permintaan gas dari konsumen industri dan PLN, lantaran terjadi defisit gas. Pada saat itu, produksi gas tidak lagi mencukupi untuk memasok kebutuhan konsumsi gas di dalam negeri, sehingga harus impor gas. Benarkah? 

Menurut data BP Statistical Review of World Energy 2015, Indonesia memiki cadangan gas alam yang sangat besar, Indonesia saat ini memiliki cadangan gas terbesar ketiga di wilayah Asia Pasifik, setelah Australia dan China. Cadangan gas Indonesia berkontribusi sekitar 1.5% dari total cadangan gas dunia. 

Lahan-lahan gas alam tersebar di beberapa wilayah Indonesia, di antaranya Arun Aceh, Bontang dan Mahakam Kalimantan Timur, Tangguh-Papua, Natuna, dan Masela, yang sebagian besar dikelola dan dioperasikan oleh Perusahaan Asing, termasuk Chevron, Total, ExxonMobil, dan Inpex. 

Sejak 10 tahun terakhir pada 2006-2015, produksi gas di Indonesia telap stabil rata-rata mencapai 76.12 MMBtu per tahun. Produksi gas tertinggi mencapai 85,7 MMBtu pada 2010, sedangkan produksi pada 2015 masih mencapai sebesar 75,0 MMBtu. Jumlah produksi ini diperkirakan akan semakin meningkat pada saat Blok Masela dan Blok Natuna mulai produksi pada 2019.

Sedangkan konsumsi gas dalam negeri pada periode sama hanya mencapai rata-rata sebesar 39.36 MMBtu per tahun, hanya separo dari dari total produksi gas di Indonesia, sehingga surplus gas, yang diekspor ke luar negeri. Salah satu sebab rendahnya penyerapan gas di dalam negeri adalah keterbatasan infrastruktur untuk menyalurkan gas dari sumber hulu ke konsumen industri termasuk PLN.

Di samping keterbatasan infrastruktur, ikut bermainya trader non-infrastruktur, lebih berperan sebagai makelar, yang ikut mendongkrak mahalnya harga gas di dalam negeri.

Di saat melimpahnya gas di hulu yang ditunjukkan adanya surplus antara produksi dan konsumsi, keputusan impor gas dari Exxon Mobil sangat tidak tepat, yang cenderung anomalir Assessment yang dibuat bahwa pada 2019 Indonesia akan mengalami defisit gas sebenarnya tidak mendasar.

Data menunjukan bahwa adanya surplus gas, yang ditunjukkan jumlah produksi lebih besar dari konsumsi. Surplus itu selama ini lebih banyak diekspor daripada digunakan untuk memasok kebutuhan di dalam negeri.

DIPAKSA

Tidak berlebihan dikatakan bahwa assessment itu hanya sekedar justifikasi blunder atas keputusan Indonesia untuk impor LNG dari Exxon dalam jumlah besar dengan kontrak jangka panjang. Penetapan kontrak dalam jangka panjang selama 20 tahun akan sangat merugikan bagi Indonesia.

Dengan kontrak jangka panjang itu, Indonesia akan dipaksa untuk tetap impor LNG dari ExxonMobil, baik dalam keadaan defisit maupun surplus gas, dengan harga yang ditetapkan di depan.

Selain itu, ExxonMobil diduga akan menjual gas kepada Indonesia yang berasal dari sumber gas dari lahan di Indonesia, yang dikelola oleh ExxonMobil. Kalau dugaan ini benar, sungguh amat ironis bagi Indonesia untuk impor LNG dari ExxonMobil, yang sumber gasnya dieksploitasi dari negerinya sendiri.

Keputusan ironis bukanlah ulah Mafia Migas untuk memburu rente pada impor LNG, namun lebih disebabkan adanya tekanan masif Wakil Presiden AS yang berkunjung ke Indonesia. Indikasinya, kontrak keputusan impor LNG dari Exxon Mobil diteken pada saat Wapres AS Pence berkunjung di Indonesia. Bahkan, tekanan Pence juga dilakukan untuk memenuhi tuntutan Freeport agar bisa tetap ekspor konsentrat, tanpa diolah dan dimurnikan di Smelter dalam negeri.

Sebelumnya, tekanan masif pemerintah AS juga pernah terjadi pada masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada saat terjadi perebutan pengelolaan Blok Cepu antara Pertamina dengan ExxonMobil, tiba-tiba SBY memutuskan untuk menyerahkan pengelolaan Blok Cepu kepada ExxonMobil sebagai operator iunggal. Keputusan SBY tersebut diteken juga bersamaan dengan kunjungan Menteri Luar Negeri AS ke Indonesia.

Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia mestinya tidak boleh tunduk dengan berbagai bentuk tekanan dari Pemerintah AS, baik untuk menyerahkan pengelolaan Blok Cepu, memenuhi tuntutan Freeport, maupun untuk memutuskan impor gas dari ExxonMobil. 

Berbagai keputusan pemerintah Indonesia, yang berdasarkan atas tekanan pemerintah AS, berpotensi tidak hanya melanggar perundangan berlaku tetapi juga akan merugikan kepentingan Negara Republik Indonesia.

Bisnis Indonesia, Page-2, Tuesday, May, 2, 2017

No comments:

Post a Comment

POP UNDER

Iklan Tengah Artikel 1

NATIVE ASYNC

Iklan Bawah Artikel