google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 Upstream Oil and Gas Industry and Time Changes - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

MARKET

Friday, May 26, 2017

Upstream Oil and Gas Industry and Time Changes



Every year, usually in May, the upstream industry players routinely hold events packaged in forums that they refer to as conventions and exhibitions.

One of the agenda, usually the stakeholders, especially the perpetrators and elements of government discuss the issues that exist and how to overcome them. This year too. The event, called the 41st Indonesian Petroleum Association Convention and Exhibition (IPA Convex) 2017, was held on May 17-19, raising the theme of less how to accelerate reform efforts undertaken to recoup investments to meet economic growth targets.

The purpose and purpose of organizing such forums is certainly good. However, in order not to be impressed to be a routine ceremony every year, it is better for the upstream oil and gas industry players in Indonesia to take the time to look more at the signs of changing the times. Likewise, the government should be more recalling what its intentions, objectives and positions are in carrying out government affairs related to upstream oil and gas business activities.

Other first, now, conditions and circumstances now have much different than when the beginning of the national upstream oil and gas industry began intensively worked on in the early 1970s. At that time, with all the dynamics of the volatility of oil prices, up to 1984/1985 the share of state revenues from upstream oil and gas ranged 50-60 percent of total state revenues.

Very easy to understand if the upstream oil and gas industry at that time as in children emaskan. Now, the portion of upstream oil and gas revenues is only in the range of 3-5 percent of the total state revenue in the state budget. Although not necessarily true, it is understandable if the current government does not pay much attention to the upstream oil and gas sector.

The period before 1997/1998 was colored by a political environment and a government system that tended to be authoritarian and centralistic. As a result, when there is an order or national policy line to secure the implementation of upstream oil and gas projects, all elements of the government-both central and regional governments will follow and succeed.

Post-reform 1997/1998 and the implementation of regional autonomy in 1999, power is no longer centered on one axis. There is a distribution of authority and power, both at the central and regional levels. The legislature no longer serves only as a stamper for executive policies and programs but has more real authority in granting program and budget approval.

Regional autonomy makes the region has its own authority in various aspects so that it can no longer fully be regulated by the center. Regional demands for managing, participating, and getting more oil and gas outcomes are also getting bigger. With such changes, the decision-making process becomes time consuming and program implementation is not as simple and simple as it used to be.

In the same period, upstream oil and gas itself experienced a significant change. The Act (UU) governing it, Law No. 8/1971 on Pertamina, has been replaced by Law No. 22/2001 on Oil and Gas. Pertamina's Law applies the principle of lex specialis in upstream oil and gas taxation, while the Oil and Gas Law discloses itself in taxation to comply with prevailing taxation regulations.

The implementation model of upstream oil and gas business is no longer run by business to business (B to B) mechanism between Pertamina and its contractor, but has changed into government to business (G to B) between BP Migas (now SKK Migas) and contractor.

The system used primarily remains a business contract, namely a production sharing contract (PSC), but a run is not a business entity. Culture in the corporation is certainly not the same as in the bureaucracy. If corporations can be more flexible and put forward negotiations, the bureaucracy is bureaucratic because it puts forward the procedure.

If the corporation further emphasizes how the state gains the most profit through an investment deal, the bureaucracy tends to lead to how the state is not harmed and no rules are violated.

Upstream oil and gas business activities, which are business matters, tend to be treated as non-business but administrative. The implications of all that, as repeatedly complained by upstream oil and gas actors in their forests, the upstream oil and gas investment climate is (very) unfavorable. On average less than seven years old, it now takes up to 15 years from the time the oil and gas fields are discovered until the field is in production.

Very inefficient. As a result, investment to find and develop new oil and gas fields continues to decline. Production and oil and gas reserves continue to decline, exports decline and imports grow. If previously Indonesia is the world's largest LNG exporter and a respected member of OPEC, now a nett oil importer and soon will also import gas.

All must change. So, times have indeed changed. Investment climate for upstream oil and gas will never be the same again friendly with the past, because the political-social-economic conditions that surround it is already much different. Although not entirely to blame, rather than continually asking for special treatment to "restore" the expected conditions, it would be better for the upstream oil and gas industry to include all these changes as new country risks for upstream oil and gas business in Indonesia.

Moreover, in the current government, with a vision of energy justice, do not expect special treatment is given. Only if the upstream oil and gas industry is able to prove without such privileges can they produce breakthroughs such as shale oil and shale gas revolutions in the US, so as to significantly increase national oil and gas production and reserves, special attention and treatment will come.

However, it does not mean that the government does not need to clean up. Business processes in the upstream oil and gas industry must be re-treated with a business approach as appropriate, not a bureaucratic and administrative approach. Business and investment is a win-win problem, not a government win. If both do not change, any forum whose name will simply become mere ceremonies.

IN INDONESIAN

Industri Hulu Minyak dan Gas dan Perubahan Jaman


Setiap tahun, biasanya pada bulan Mei, para pelaku industri hulu migas rutin menggelar acara yang dikemas di dalam forum yang disebutnya sebagai konvensi dan ekshibisi.

Salah satu agendanya, biasanya para pemangku kepentingan,  khususnya para pelaku dan unsur pemerintah membicarakan persoalan yang ada dan bagaimana mengatasinya. Tahun ini juga demikian. Acara yang dinamakan the  41st Indonesian Petroleum Association Convention and Exhibition (IPA Convex) 2017 sudah digelar pada 17-19 Mei, yang mengangkat tema kurang Iebih bagaimana mempercepat upaya-upaya reformasi yang dilakukan untuk menarik kembali investasi untuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi.

Maksud dan tujuan penyelenggaraan forum semacam itu tentu baik. Namun, agar tidak terkesan jadi seremoni rutin setiap tahun, ada baiknya para pelaku industri hulu migas di Indonesia menyempatkan diri untuk lebih mencermati tanda-tanda perubahan Zaman. Demikian juga pemerintah agar lebih mengingat kembali apa sejatinya maksud, tujuan, dan posisinya dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang berkaitan dengan kegiatan usaha hulu migas. 

Lain dulu, Iain sekarang , Kondisi dan keadaan sekarang telah berbeda jauh dibanding saat awal industri hulu migas nasional mulai intensif digarap di awal 1970-an. Saat itu, dengan segala dinamika gejolak harga minyak yang ada, hingga 1984/1985 porsi penerimaan negara dari hulu migas berkisar 50-60 persen terhadap total penerimaan negara.

Sangat mudah dimengerti jika industri hulu migas pada saat itu seperti di anak emaskan. Sekarang, porsi penerimaan hulu migas hanya di kisaran 3-5 persen dari total penerimaan negara di APBN. Meskipun tidak berarti benar, dapat dimengerti jika kemudian pemerintah saat ini tidak terlalu memberikan perhatian pada sektor hulu migas.

Periode sebelum 1997/1998 diwarnai lingkungan politik dan sistem pemerintahan yang cenderung otoritarian dan sentralistik. Alhasil, ketika ada satu perintah atau garis kebijakan nasional untuk mengamankan pelaksanaan proyek-proyek hulu migas, semua elemen penyelenggara pemerintahan-baik di pusat maupun daerah akan mengikuti dan menyukseskannya.

Pasca-reformasi 1997/1998 dan implementasi otonomi daerah tahun 1999, kekuasaan tidak lagi terpusat hanya pada satu poros. Terjadi distribusi kewenangan dan kekuasaan, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Legislatif tidak lagi hanya berfungsi sebagai pemberi stempel bagi kebijakan dan program eksekutif tetapi sudah lebih riil menjalankan kewenangan dalam pemberian persetujuan program dan anggaran. 

Otonomi daerah membuat daerah memiliki kewenangan sendiri di berbagai aspek sehingga tidak sepenuhnya lagi dapat diatur oleh pusat.  Tuntutan daerah untuk mengelola, berpartisipasi, dan mendapatkan hasil Iebih dari migas juga semakin besar. Dengan perubahan seperti itu, proses pengambilan keputusan menjadi Iebih memakan waktu dan pelaksanaan program kegiatan tidak semudah dan sesederhana dulu.

Pada periode yang sama, di hulu migas sendiri terjadi perubahan yang signifikan. Undang-Undang (UU) yang mengaturnya, UU No 8/1971 tentang Pertamina, digantikan UU No 22/2001 tentang Migas. UU Pertamina menerapkan prinsip lex specialis dalam perpajakan hulu migas, sedangkan UU Migas membuka diri dalam hal perpajakan untuk mengikuti ketentuan perpajakan yang berlaku.

Model pelaksanaan bisnis hulu migas tidak lagi dijalankan dengan mekanisme business to business (B to B) antara Pertamina dan kontraktornya, tetapi berganti menjadi government to business (G to B) antara BP Migas (sekarang SKK Migas) dan kontraktor. 

Sistem yang digunakan utamanya tetap kontrak bisnis, yaitu production sharing contract (PSC), tetapi yang menjalankan bukan entitas bisnis. Budaya di korporasi tentu tidak sama dengan di birokrasi. Jika korporasi dapat Iebih fleksibel dan mengedepankan negosiasi, di birokrasi Iebih birokratis karena mengedepankan prosedur. 

Jika korporasi Iebih mengedepankan bagaimana negara mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya melalui kesepakatan investasi, birokrasi cenderung Iebih mengarah pada bagaimana negara tidak dirugikan dan tidak ada peraturan yang dilanggar. 

Kegiatan usaha hulu migas, yang merupakan hal bisnis, cenderung diperlakukan menjadi hal bukan bisnis, tetapi administratif Implikasi dari semua itu, sebagaimana berulang kali dikeluhkan para pelaku hulu migas di dalam forurnnya, iklim investasi hulu migas menjadi (sangat) tidak kondusif Jika sebelumnya diperlukan waktu rata-rata kurang dari tujuh tahun, kini perlu waktu hingga 15 tahun dari sejak lapangan migas ditemukan hingga lapangan tersebut berproduksi.

Sangat tidak efisien. Akibatnya, investasi untuk menemukan dan mengembangkan lapangan migas yang baru terus menurun. Produksi dan cadangan migas terus menurun, ekspor menurun dan impor membesar. Jika sebelumnya Indonesia adalah eksportir LNG terbesar dunia dan anggota OPEC yang disegani, kini menjadi nett oil importer dan sebentar lagi akan juga mengimpor gas.

Semua mesti berubah. Jadi, zaman memang sudah berubah. Iklim investasi untuk hulu migas memang tidak akan pernah sama lagi ramahnya dengan dulu, karena kondisi politik-sosial-ekonomi yang melingkupinya memang sudah jauh berbeda. Meskipun tidak sepenuhnya dapat disalahkan, daripada terus-menerus meminta berbagai perlakuan khusus untuk "mengembalikan” kondisi seperti sediakala yang diharapkan, akan lebih baik kiranya industri hulu migas untuk memasukkan semua perubahan itu sebagai country risks yang baru untuk berbisnis hulu migas di Indonesia.

Apalagi, di pemerintahan saat ini, dengan visi energi berkeadilan, jangan harap perlakuan khusus itu agan diberikan. Hanya jika industri hulu migas mampu membuktikan tanpa keistimewaan itu mereka bisa melahirkan terobosan seperti revolusi shale oil dan shale gas di AS, sehingga bisa meningkatkan produksi dan cadangan migas nasional secara signifikan, perhatian, dan perlakuan khusus itu akan datang.

Meskipun demikian, tidak berarti pemerintah juga tidak perlu berbenah. Proses bisnis di industri hulu migas harus kembali diperlakukan dengan pendekatan bisnis sebagaimana mestinya, bukan pendekatan birokratis dan administratif. Bisnis dan investasi adalah persoalan win-win, bukan government win. Jika keduanya tidak berubah, forum apa pun namanya hanya akan sekadar menjadi seremoni belaka.

Kompas, Page-6, Friday, May, 12, 2017

No comments:

Post a Comment

POP UNDER

Iklan Tengah Artikel 1

NATIVE ASYNC

Iklan Bawah Artikel