Fossil Energy Wins?

Interesting articles were written on the Bloomberg page after the US decision withdrew from the Paris deal (21st Climate Change Conference / 21st COP). Is this a fossil energy victory? More or less so the title in the article.

The 21st COP is an agreement on climate change to reduce carbon emissions in the world. Almost every country in the world agrees to prevent an earth temperature rise of less than 2 degrees Celsius and cut carbon emissions by at least 70 percent by 2050. In summary, the deal is to abandon carbon-fossil energy that produces carbon and switch to cleaner and environmentally-renewable energy.

For President Donald Trump, who led his country to withdraw from the Paris deal, climate change is considered a hoax. America said it would lose the potential of gross domestic product to trillions of US dollars if it obeys the deal. The deal also deems it will eliminate jobs for millions of US citizens.

Is there any significant influence over the US withdrawal from the Paris deal? Based on data from the US Energy Information Administration 2016, the US consumes 97.400 trillion British thermal units. While data from Global Energy Statistical Yearbook 2015, US energy consumption is ranked second only to the world after China. The consumption is equivalent to ten times that Indonesia consumes.

In addition, in the US energy mix, fossil energy sources are still excellent. The portion of renewable energy is 10 percent and nuclear power 9 percent of total energy consumed in 2016. The rest is taken from fossil energy consisting of 37 percent oil, 29 percent natural gas and 15 percent coal. In short, fossil energy is very dominant with a portion of 81 percent.

Some analysts, as revealed in the Bloomberg article, predict there will be no long-term losses due to Trump's policy of withdrawing from the Paris deal. 

     The development of renewable energy that has been active in recent times in all parts of the world will not recede due to the policy. In addition, technological developments are increasingly rapidly succeeded in reducing the cost of renewable energy development that gives hope in competition with fossil energy.

From within the country, there is hope that oil and coal prices could be boosted following the US pullback from the Paris deal. The business of both types of fossil energy is indeed sluggish. Oil prices, for example, dropped from around 100 dollars per barrel to 50 dollars a barrel since late 2014. In fact, oil prices were less than 30 dollars per barrel in early 2016.

Logically, if the US energy policy still relies on oil and coal, it will have an impact on supply and demand as an important component in determining commodity prices. Falling prices of oil and coal for too long seem to have a direct impact on economies on a micro and macro scale. Fossil energy bearers certainly have a vested interest in commodity prices is back victorious.

If you go back to the title of this paper, renewable energy developers need not be discouraged. Development should continue. Someday, renewable energy will be the main choice because a time when fossil energy is in the final point. Again, the rapid technological advances generate tremendous efficiency in the renewable energy sector. 

      Some time ago, in the United Arab Emirates, the cost of solar power plants can be produced less than 3 US cents per kwh or half of the cost of coal fired. Most importantly, consistency in the development of renewable energy because this type will be the main choice in the future.

IN INDONESIAN

Energi Fosil Menang?

Artikel menarik ditulis di laman Bloomberg setelah keputusan Amerika Serikat menarik diri dari kesepakatan Paris (Konferensi Perubahan Iklim Ke-21/COP Ke-21). Apakah ini kemenangan energi fosil? Lebih kurang begitu judul dalam artikel tersebut. 

COP Ke-21 adalah kesepakatan tentang perubahan iklim untuk menurunkan emisi karbon di dunia. Hampir semua negara di dunia setuju untuk mencegah kenaikan suhu bumi kurang dari 2 derajat Celsius dan memangkas emisi karbon setidaknya 70 persen pada 2050. Ringkasnya, kesepakatan itu untuk meninggalkan energi fosil yang menghasilkan karbon dan beralih ke energi terbarukan yang lebih bersih dan ramah lingkungan.

Bagi Presiden Donald Trump, yang memimpin negaranya menarik diri dari kesepakatan Paris, perubahan iklim dianggap sebagai hoaks belaka. Amerika disebutnya akan kehilangan potensi produk domestik bruto hingga triliunan dollar AS jika mematuhi kesepakatan itu. Kesepakatan itu juga dianggapnya akan menghilangkan lapangan kerja bagi jutaan warga AS.

Adakah pengaruh signifikan atas mundurnya AS dari kesepakatan Paris? Berdasarkan data dari US Energy Information Administration 2016, AS mengonsumsi energi 97.400 triliun British thermal unit. Sementara data dari Global Energy Statistical Yearbook 2015, konsumsi energi AS ada di peringkat kedua dunia setelah China. Konsumsi itu setara dengan sepuluh kali yang dikonsumsi Indonesia.

Di samping itu, dalam bauran energi AS, sumber energi fosil masih menjadi primadona. Porsi energi terbarukan sebesar 10 persen dan tenaga nuklir 9 persen dari total energi yang dikonsumsi pada 2016. Sisanya diambil dari energi fosil yang terdiri dari minyak 37 persen, gas bumi 29 persen, dan batubara 15 persen. Singkatnya, energi fosil sangat dominan dengan porsi 81 persen.

Sejumlah analis, seperti yang diungkap dalam artikel Bloomberg tersebut, memperkirakan tidak akan ada kerugian jangka panjang akibat kebijakan Trump yang menarik diri dari kesepakatan Paris.

     Pengembangan energi terbarukan yang sedang giat-giatnya akhir-akhir ini di seluruh belahan dunia tidak akan surut akibat kebijakan itu. Selain itu, perkembangan teknologi yang kian pesat berhasil menekan ongkos pengembangan energi terbarukan sehingga memberi harapan dalam persaingan dengan energi fosil.

Dari dalam negeri, ada harapan harga minyak dan batubara bisa terdongkrak menyusul mundurnya AS dari kesepakatan Paris. Bisnis kedua jenis energi fosil ini memang sedang lesu. Harga minyak, misalnya, jatuh dari semula di kisaran 100 dollar AS per barrel menjadi 50 dollar AS per barrel sejak akhir 2014. Bahkan, harga minyak kurang dari 30 dollar per barrel pada awal 2016. 

Logikanya, jika kebijakan energi AS masih bertumpu pada minyak dan batubara, hal itu akan berdampak pada suplai dan permintaan sebagai komponen penting dalam menentukan harga komoditas. Kejatuhan harga minyak dan batubara yang terlalu lama rupanya berdampak langsung bagi ekonomi dalam skala mikro dan makro. Pengusung energi fosil tentu punya kepentingan agar harga komoditas ini kembali berjaya. 

Jika kembali menengok judul tulisan ini, pengembang energi terbarukan tidak perlu berkecil hati. Pengembangan harus terus berjalan. Suatu saat nanti, energi terbarukan akan jadi pilihan utama karena suatu saat energi fosil ada di titik penghabisan. Sekali lagi, pesatnya kemajuan teknologi menghasilkan efisiensi luar biasa di sektor energi terbarukan. 

     Beberapa waktu lalu, di Uni Emirat Arab, ongkos pembangkit listrik tenaga surya sudah bisa diproduksikan kurang dari 3 sen dollar AS per kwh atau separuh dari ongkos yang dikeluarkan pembangkit batubara. Yang terpenting, konsistensi dalam pengembangan energi terbarukan karena jenis ini akan menjadi pilihan utama pada masa mendatang. 

Kompas-Page-17, Saturday, June 3, 2017