google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 Government Requested to Finish Pertamina Receivables Rp. 30 Trillion - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

Tuesday, June 20, 2017

Government Requested to Finish Pertamina Receivables Rp. 30 Trillion



The government is asked to immediately settle the receivables of PT Pertamina amounting to Rp 30 trillion, of which the largest portion comes from fuel subsidies (BBM) that have not been paid to the oil and gas state-owned companies, because this will disrupt Pertamina Cash flow which will ultimately affect the independence program National energy

The Rp 30 trillion figure is huge and this is a carry over debt. Pertamina's balance sheet will be ugly and this will make it difficult for Pertamina to get funds to build the refinery. So, the government should immediately solve this problem, "said Member of Commission VII DPR RI Dito Ganinduto

Pertamina President Director Elia Massa Manik revealed that it has receivables of around Rp 30 trillion. "If this receivable can be paid, it can be enough to build a big refinery, we do not need to look for funds," said Elia Massa Manik.

Pertamina Finance Director Arief Budiman said that the receivables consist of receivables from BBM and LPG subsidies from the government, as well as from other parties such as PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) and the military.

According to Dito, if the refinery construction is disrupted, then the BBM import will be continuously carried out which causes the country's foreign exchange will also be eroded, of course over time will weaken the rupiah. State losses will be much greater, "said Dito.

Whereas there is a joint commitment that in 2030 Indonesia must have reduced fuel import by building two major refineries and running Refinery Development Musterplan Program (RDMP) of Balikpapan Refinery, Balongan Refinery, and Cilacap Refinery.

"Our country is very left behind in terms of refinery development, even when compared with Singapore. This country even already has a refinery with a capacity of 2-3 million barrels per day, "said Dito.

Plus Pertamina bear the obligation to realize the program of BBM One Price across the country, which requires a large cost. For information, in the BBM One Price program, Pertamina must spend at least Rp 5 trillion per year. This is because various modes of transportation must be used by Pertamina to reach remote areas, ranging from tank trucks, tankers, small boats, to airplanes.

In his presentation, Eia Masa Manik revealed that Pertamina does face many challenges. With an oil refinery production capacity of 1 million barrels per day (bpd), it has not been able to meet the domestic demand of 1.6 million bpd so that imports must remain.

Therefore, Pertamina seeks to improve reliability in two ways: the refinery development program and the RDMP is not regressed, the second keeps the machines, spare parts and refinery repair schedule well controlled.

The next challenge is if Pertamina refinery construction is completed and has a capacity of 1.6 million bpd by 2024 and 2 million bpd by 2025. If the refinery's capacity is not covered with upstream production, then Pertamina must obtain a large supply of crude.

Meanwhile, in terms of world oil prices also become a challenge. "In the world of oil and gas, which can be controlled only operating costs, but the price can not be controlled," he said.

Arief Budiman revealed that if until the end of the year the price of oil is relatively stable as it is today, then Pertamina's finance is still safe. "We can still survive up to US $ 30 per barrel oil price, because our production cost is US $ 20 per barrel. But if oil prices fall below US $ 30 per barrel, we could be bleeding, "he said.

Still Behind

When compared to other multinational oil and gas companies. Pertamina looks still far behind. According to Eia Manik, although in the country Pertamina's biggest position, but in the global context, Pertamina is still relatively small.

In terms of revenue, in 2016 Pertamina revenues of US $ 36 billion, while Shell US $ 234 billion, ExxonMobil US $ 226 billion, PetroChina US $ 175 billion, Chevron US $ 113 billion, Petronas US $ 64, Pemex US $ 58 billion and PTT Thailand US $ 49 billion.

In terms of assets, in 2016, Pertamina's assets reached US $ 47 billion and even less than PLN which reached US $ 89 billion, while-Shell US $ 411 billion, Exxon Mobil US $ 330 billion, Petrochina US $ 361 billion. Chevron US $ 260 billion, Petronas US $ 138 billion, Thailand PTT US $ 62 billion, Pemex US $ 107 billion.

In 2016, Pertamina's production reached 650 billion barrels of oil equivalent pei day (MBOEPD) while PetroChina's highest was 3,512 MBPOD, followed by Exxon Mobil of 2,963 MBOEPD and Shell 2,954 MBOEPD, Chevron 2,900 MBOEPD, Pemex 2,454 MBOEPD, Petronas 1,732 MBOEPD, and PTT Thailand 346 MBOEPD.

However, if viewed from the net profit, Pertamina's position is not too bad because it managed to get US $ 3 billion, just like Petronas and PTT Thailand. While other big companies like Exxon Mobil earned US $ 8 billion and Shell earned US $ 5 billion. Petrochina was recorded not to achieve net profit as well as Chevron, even Pemex must bear the loss of US $ 16 billion.

IN INDONESIA

Pemerintah Diminta Selesaikan Piutang Pertamina Rp. 30 Triliun


Pemerintah diminta segera menyeIesaikan piutang PT Pertamina yang jumlahnya mencapai Rp 30 triliun, dimana porsi terbesar berasal dari subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang belum dibayarkan ke BUMN migas tersebut Pasalnya, hal ini akan mengganggu Cash flow Pertamina yang pada akhirnya akan berpengaruh pada program kemandirian energi nasional

     Angka Rp 30 triliun itu sangat besar dan ini merupakan utang carry over. Neraca Pertamina akan menjadi jelek dan ini menyulitkan Pertamina untuk mendapatkan dana untuk membangun kilang. Jadi, pemerintah harus segera menyelesaikan masalah ini,” kata Anggota Komisi Vll DPR RI Dito Ganinduto

Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik mengungkapkan bahwa pihaknya memiliki piutang sekitar Rp 30 triliun. “Kalau piutang ini bisa dibayar saja, itu bisa cukup untuk membangun kilang besar, kita tidak perlu cari-cari dana," kata Elia Massa Manik.

Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman mengatakan bahwa piutang tersebut terdiri atas piutang subsidi BBM dan LPG dari pemerintah, juga dari pihak lain seperti PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan militer.

Menurut Dito, jika pembangunan kilang terganggu, maka impor BBM akan terus menerus dilakukan yang menyebabkan devisa negara juga akan tergerus, tentunya lama kelamaan akan melemahkan rupiah. Kerugian negara akan jauh lebih besar,” tegas Dito.

Padahal sudah ada komitmen bersama bahwa pada 2030 Indonesia harus sudah mengurangi impor BBM dengan membangun dua kilang besar dan menjalankan proyek Refinery Development Musterplan Program (RDMP) Kilang Balikpapan, Kilang Balongan, dan Kilang Cilacap. 

“Negara kita sudah sangat tertinggal dalam hal pembangunan kilang, bahkan jika dibandingkan dengan Singapura. Negara ini bahkan sudah memiliki kilang dengan kapasitas 2-3 juta barel per hari," kata Dito.

Ditambah lagi Pertamina menanggung kewajiban mewujudkan program BBM Satu Harga di seluruh Tanah Air, yang membutuhkan biaya besar. Untuk diketahui, pada program BBM Satu Harga, Pertamina harus mengeluarkan dana sekurangnya Rp 5 triliun per tahun. Hal ini mengingat berbagai moda transportasi harus digunakan Pertamina untuk menjangkau daerah-daerah terpencil, mulai dari truk tangki, kapal tanker, kapal kecil, hingga pesawat.

Dalam pemaparannya, Elia Masa Manik mengungkapkan bahwa Pertamina memang menghadapi banyak tantangan. Dengan kapasitas produksi kilang minyak yang mencapai 1 juta barel per hari (bph) belum bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri yang mencapai 1,6 juta bph sehingga impor harus tetap dilakukan. 

Karenanya, Pertamina berusaha meningkatkan keandalan dengan dua cara yakni program pembangunan kilang dan RDMP tidak mengalami kemunduran, kedua menjaga agar mesin-mesin, sparepart dan jadwal perbaikan kilang terkontrol dengan baik.

Tantangan berikutnya, jika pembangunan kilang Pertamina selesai dan memiliki kapasitas 1,6 juta bph pada 2024 dan 2 juta bph pada 2025. Jika kapasitas kilang ini tidak dilkuti dengan produksi di hulu, maka Pertamina harus mendapatkan pasokan crude dalam jumlah besar.

Sementara itu, dari sisi harga minyak dunia juga menjadi tantangan tersendiri. “Di dunia oil and gas, yang bisa dikontrol hanya operating cost, tapi harga tidak bisa dikontrol,” katanya.

Arief Budiman mengungkapkan bahwa jika sampai akhir tahun harga minyak relatif stabil seperti saat ini, maka keuangan Pertamina masih aman. “Kita masih bisa survive sampai dengan harga minyak US$ 30 per barel, karena biaya produksi kita US$ 20 per barel. Tapi kalau harga minyak merosot hingga di bawah US$ 30 per barel, kita bisa bleeding," katanya.

Masih Tertinggal

Jika dibandingkan dengan perusahaan migas multinasional lainnya. Pertamina terlihat masih jauh tertinggal. Menurut Elia Masa Manik, meski di dalam negeri posisi Pertamina terbesar, namun dalam konteks global, Pertamina masih relatif kecil. 

Dari sisi pendapatan
     Pada 2016 pendapatan Pertamina US$ 36 miliar, sementara Shell US$ 234 miliar, ExxonMobil US$ 226 miliar, PetroChina US$ 175 miliar, Chevron US$ 113 miliar, Petronas US$ 64 , Pemex US$ 58 miliar dan PTT Thailand US$ 49 miliar.

Dari sisi aset
    Pada 2016 aset Pertamina mencapai US$ 47 miliar bahkan kalah dibanding PLN yang mencapai US$ 89 miliar, sementara-Shell US$ 411 miliar, Exxon Mobil US$ 330 miliar, Petrochina US$ 361 miliar. Chevron US$ 260 miliar, Petronas US$ 138 miliar, PTT Thailand US$ 62 miliar, Pemex US$ 107 

Dari sisi produksi
     Pada 2016 produksi Pertamina mencapai 650 miliar barel oil equivalent pei day (MBOEPD) sementara tertinggi diraih PetroChina sebesar 3.512 MBPOD, disusul Exxon Mobil sebesar 2.963 MBOEPD, lalu Shell sebesar 2.954 MBOEPD, Chevron 2.900 MBOEPD, Pemex 2.454 MBOEPD, Petronas 1.732 MBOEPD, dan PTT Thailand 346 MBOEPD.

Namun jika dilihat dari laba bersih, posisi Pertamina tidak terlalu buruk karena berhasil mendapatkan US$ 3 miliar, sama seperti Petronas dan PTT Thailand. Sementara perusahaan besar lain seperti Exxon Mobil meraih US$ 8 miliar dan Shell meraih US$ 5 miliar. Petrochina tercatat tidak meraih laba bersih demikian juga dengan Chevron, bahkan Pemex harus menanggung rugi US$ 16 miliar.

Investor Daily, Page-11, Monday, June 19, 2017

No comments:

Post a Comment

POP UNDER

Iklan Tengah Artikel 1

NATIVE ASYNC

Iklan Bawah Artikel