google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 Eschewing Investment Urgency in Natuna - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

Monday, July 24, 2017

Eschewing Investment Urgency in Natuna



Since its inception, the government has focused on developing Natuna as an area that has potential abundant natural resources and strategic locations on geopolitical issues.

Based on data in 2016 from the Ministry of Energy and Mineral Resources (ESDM), there are six oil and gas working areas already in production or exploitation stage and 10 exploration blocks in Natuna.

Six blocks entering the development stage, namely South Natuna Sea Block B (ConocoPhillips Indonesia), Shrimp Block (Pertamina), Kakap (Star Energy) and Natuna Sea Block A (Premier Oil Natuna Sea BV) have been in production. Meanwhile. Northwest Natuna (Santos) and Sembilang (PT Mandiri Panca Usaha) have not yet produced.

The working area has total proven gas reserves of 4 trillion cubic feet (TSCF) and oil and condensate of 201,401 million barrel tank stocks (MMSTB). Total oil and gas production from the six working areas consists of 490.3 MMscfd of gas and 25,113 barrels per day (bpd) Oil and condensate.

Exploration blocks contained in Natuna, namely Tuna (Premier Oil Tuna BV), Duyung (West Natuna Exploration Ltd), Sokang [Black Platinum Investment Ltd], South Sokang (Lundin South Sokang BM), EI Curita (Lundin Curita BM), East Sokang (PT Ekuator Energi Sokang), and North Sokang (North Sokang Energy Ltd). In addition, there is still another ongoing development with a huge potential gas of 222 trillion cubic feet (tcf) with 46 tcf of which can be produced.

The Government has repeatedly encouraged the development of East Natuna even though it has been in existence since the first cooperation contract signed in 1980 under the name Natuna D-Alpha. However, it has not seen the "importance" of Natuna for the government.

Until the name of the working area changed, companies that expressed interest in developing East Natuna alternated from Total French company Petronas from Malaysia to leaving ExxonMobil from the United States, PTT EP from Thailand, and Pertamina as the consortium leader continue the study.

The government first appointed Pertamina to develop the Natuna D-Alpha Block in 2008. After that, in 2010, Pertamina, ExxonMobil, Total and Petronas signed a head of agle (HOA) agreement. Previously, the projected investment should be around US $ 40 billion. Pertamina also proposed for the results of larger contractors, tax facilities up to the duration of the contract up to 50 years.

Then, Pertamina invited other partners and then signed the principles of East Natuna Block agreement on August 19, 2011 together with Esso Natuna Limited, ExxonMobil affiliated company and PTT EP Thailand. The signing of this agreement aims to continue the process of preparing a new cooperation contract with an accelerated technology and market review (TMR) from 24 months to 18 months and completed in mid-2017.

Medio 2016, even blaze that the government wants to hasten the activities in East Natuna as a claim of Indonesian territory when the South China Sea issue heats up. President Joko Widodo even showed his interest by visiting Natuna in mid-2016. After that opportunity, the new contract was canceled due to unfinished study.

Then, at the beginning of January 2017. simultaneously with the assignment of the block-out of contract management, Minister of Energy and Mineral Resources lgnasius Jonan assigned Pertamina to manage East Natuna by inviting partners. However, for 5 months, after the consortium conducted a review at the end of June, the government appeared relaxed although the two consortium members decided not to continue the East Natuna project.

ExxonMobil and PTT EP Thailand no longer want to be involved in the development of a gas called four times larger than the Masela project because the gas selling price exceeds US $ 10 per MMBtu at the upstream level (mouth of the well). That the results of his study call uneconomical, it is not a new story and the East Natuna project.

If it is serious, the government as a partner will also bear the burden, provide supplements, proving that there are conditions that can make East Natuna development in accordance with economies of scale. When the project goes accordingly With economies of scale, both contractors and governments alike can benefit from the project.

Government efforts that should be able to offer supplements for more investment-friendly projects eventually become the anticlimactic point of effort to attract investment. In fact, President Joko Widodo and Minister of Energy and Mineral Resources lgnasius Jonan went straight to pick up investors for more capital investment.

However, why on projects that require block management of up to 50 years to make a profit, the government just let the prospective investors leave Natuna. With all the risks of course, potential investors hope to get support from the government because the field was about 40 years old has been too long unemployed.

In fact, the government projects East Natuna gas can be utilized starting 2027. Upstream Director of Pertamina Syamsu Alam said that now the company should again look for a replacement partner because the cost and risk to develop the gas field is too big. But he did not mention in detail whether the government is assigning the company to form a new consortium to accelerate.

"If the government's assignment to Pertamina to form a consortium is long. With the pullback of Exxon and I also just heard PTT EP Thailand also backwards of course we have to find a partner again. "He said

He acknowledged, the study results show the project is not economical. It said it would conduct further discussions with the Ministry of Energy and Mineral Resources related to what conditions might make the project worth investing.

On the other hand, related to the opportunity of the entry of several other foreign oil and gas companies, Syamsu said, there are some companies that have expressed interest to enter East Natuna.

IN INDONESIA

Menakar Urgensi lnvestasi di Natuna


Sejak awal, pemerintah Fokus untuk mengembangkan Natuna sebagai wilayah yang memiiki potensi Sumber daya alam melimpah dan dan lokasi strategis menyangkut isu geopolitik.

Berdasarkan data pada 2016 dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), terdapat enam wilayah kerja minyak dan gas bumi yang sudah tahap produksi alau eksploitasi dan 10 blok eksplorasi di Natuna.

Enam blok yang memasuki tahap pengembangan, yakni South Natuna Sea Block B (ConocoPhillips Indonesia), Udang Block (Pertamina), Kakap (Star Energy) dan Natuna Sea Block A (Premier Oil Natuna Sea BV) telah berproduksi. Sementara itu. Northwest Natuna (Santos) dan Sembilang (PT Mandiri Panca Usaha) belum berproduksi.

Wilayah kerja itu memiliki total cadangan gas terbukti 4 triliun kaki kubik (TSCF) dan minyak serta kondensat 201.401 juta stok tank barel (MMSTB). Total produksi migas dari enam wilayah kerja itu terdiri dari 490,3 MMscfd gas dan 25.113 barel per hari (bph)
minyak serta kondensat.

Blok eksplorasi yang terdapat di Natuna, yaitu Tuna (Premier Oil Tuna B.V.), Duyung (West Natuna Exploration Ltd), Sokang [Black Platinum Investment Ltd), South Sokang (Lundin South Sokang BM), EI Curita (Lundin Curita BM), East Sokang (PT Ekuator Energi Sokang), dan North Sokang (North Sokang Energy Ltd). Selain itu, masih ada pengembangan lain yang sedang berjalan dengan besar potensi gas 222 triliun kaki kubik (tcf) dengan 46 tcf di antaranya yang bisa diproduksi.

Pemerintah berkali-kali mendorong pengembangan East Natuna meskipun telah ada sejak kontrak kerja sama pertama kali yang diteken pada 1980 dengan nama Natuna D-Alpha. Namun, sepetinya belum terlihat "pentingnya" Natuna bagi pemerintah.

Sampai nama wilayah kerja berubah, perusahaan yang menyatakan minat mengembangkan East Natuna silih berganti mulai dari Total perusahaan asal Prancis, Petronas asal Malaysia hingga menyisakan ExxonMobil asal Amerika Serikat, PTT EP asal Thailand, dan Pertamina sebagai pemimpin konsorsium meneruskan kajian.

Pemerintah pertama kalinya secara resmi menunjuk Pertamina untuk mengembangkan Blok Natuna D-Alpha pada 2008. Setelah itu, pada 2010, Pertamina, ExxonMobil, Total, dan Petronas menandatangani kesepakatan berupa (head of agleernent/HOA). Sebelumnya, proyeksi investasi yang harus dikeluarkan sekitar US$40 miliar. Pertamina pun mengusulkan bagi hasil kontraktor yang lebih besar, fasilitas perpajakan hingga durasi kontrak hingga 50 tahun.

Kemudian, Pertamina mengajak mitra lainnya dan kemudian menandatangani prinsip-prinsip kesepakatan Blok East Natuna pada 19 Agustus 2011 bersama Esso Natuna Limited, perusahaan afiliasi ExxonMobil dan PTT EP Thailand. Penandatanganan kesepakatan ini bertujuan untuk melanjutkan proses persiapan kontrak kerja sama yang baru dengan melakukan kajian teknologi dan pasar (Technology and Market Review/TMR) yang dipercepat dari 24 bulan menjadi 18 bulan dan selesai di medio 2017.

Medio 2016, bahkan tercetus bahwa pemerintah ingin menyegerakan kegiatan di East Natuna sebagai klaim wilayah Indonesia ketika isu laut China Selatan memanas. Presiden Joko Widodo bahkan menunjukkan perhatiannya dengan melakukan kunjungan ke Natuna pada pertengahan 2016. Setelah kesempatan itu, kontrak baru batal dilakukan karena kajian belum selesai.

Kemudian, pada awal Januari 2017. bersamaan dengan pemberian penugasan pengelolaan blok habis kontrak, Menteri ESDM lgnasius Jonan menugaskan kepada Pertamina untuk mengelola East Natuna dengan mengajak mitra. Namun, selama 5 bulan, setelah konsorsium melakukan kajian di akhir Juni, pemerintah tampak santai meskipun akhirnya kedua anggota konsorsium memutuskan untuk tidak melanjutkan proyek East Natuna.

ExxonMobil dan PTT EP Thailand tidak lagi ingin terlibat dalam pengembangan gas yang disebut empat kali lebih besar dari proyek Masela karena harga jual gasnya melebihi US$ 10 per MMBtu di tingkat hulu (mulut sumur). Bahwa hasil kajiannya menyebut tidak ekonomis, itu bukan cerita baru dan proyek East Natuna.

Jika memang serius, pemerintah sebagai mitra nantinya juga turut menanggung beban, memberi suplemen, membuktikan bahwa terdapat kondisi yang bisa membuat pengembangan East Natuna sesuai dengan skala ekonomi. Bila proyek berjalan sesuai dengan skala ekonomi, baik kontraktor maupun pemerintah sama-sama bisa memetik manfaat dari proyek tersebut.

Upaya pemerintah yang seharusnya bisa menawarkan suplemen agar proyek lebih ramah investasi akhirnya menjadi titik antiklimaks upaya menarik penanaman modal. Padahal, Presiden Joko Widodo dan Menteri ESDM lgnasius Jonan giat turun langsung menjemput investor agar lebih banyak lagi penanaman modal masuk.

Namun, kenapa pada proyek yang membutuhkan pengelolaan blok hingga 50 tahun untuk bisa mendapat keuntungan, pemerintah justru membiarkan begitu saja para calon investor meninggalkan Natuna. Dengan segala risiko tentunya, para calon investor berharap agar dapat mendapat dukungan dari pemerintah karena lapangan berusia sekitar 40 tahun itu sudah terlalu lama menganggur.

Padahal, pemerintah memproyeksi gas East Natuna bisa dimanfaatkan mulai 2027. Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam mengatakan, kini perseroan kembali harus mencari mitra pengganti karena biaya dan risiko untuk mengembangkan lapangan gas tersebut terlalu besar. Namun dia tidak menyebut secara detail apakah pemerintah memberikan penugasan agar perseroan membentuk konsorsium baru untuk melakukan percepatan.

“Kalau penugasan pemerintah untuk Pertamina membentuk konsorsium memang sudah lama. Dengan mundurnya Exxon dan saya juga baru saja mendengar PTT EP Thailand juga mundur tentu kita harus mencari partner lagi.” ujarya 

Dia mengakui, hasil kajian menunjukkan proyek tidak ekonomis. Pihaknya menyebut akan melakukan diskusi lanjutan dengan Kementerian ESDM terkait dengan kondisi apa saja yang mungkin bisa membuat proyek layak investasi.

Di sisi lain, terkait dengan peluang masuknya beberapa perusahan migas asing lainnya, Syamsu menuturkan, ada beberapa perusahaan yang telah menyatakan minat masuk ke East Natuna.

Bisnis Indonesia, Page-30, Monday, July 24, 2017

No comments:

Post a Comment

POP UNDER

Iklan Tengah Artikel 1

NATIVE ASYNC

Iklan Bawah Artikel