Although no longer involved in the development of the East Natuna Block, ExxonMobil is ready to provide technology for the separation of carbon dioxide (CO2). ExxonMobil is one of the few oil and gas companies that owns this technology.
Vice President of Public and Government Affairs of ExxonMobil Indonesia, Erwin Maryoto, said that after the evaluation, his side decided not to participate in the discussions or further activities in the East Natuna Block. But it is ready to provide the technology it has to handle the content of 72% of CO2 in the block.
"We are delivering to Pertamina or to the Government, if indeed Pertamina or anyone else will need the technology we have for the separation of CO2, we are ready to cooperate," he said in Jakarta, Friday (21/7).
He said ExxonMobil's technology was in the research center and had been tried. However, he was reluctant to determine whether the technology can be used in the East Natuna Block or not.
"We do not know whether we can or not but we have a clear technology," he said.
the East Natuna Block
According to Vice Minister of Energy and Mineral Resources (ESDM) Arcandra Tahar, CO2 management technology is owned by only a few companies, one of them ExxonMobil. Although there are other technologies, this technology is still in the study, mainly about whether the use of this technology will be cheaper. But ExxonMobil not only offers the technology it has.
"They promise their data since the 1970s will be returned to the government. It's a big jump and a momentum
For us to build East Natuna Block, "he said.
After ExxonMobil stated that the East Natuna Block development is not economical according to the calculation, the block is 100% returned to Indonesia. This has been agreed by ExxonMobil when Senior Vice President ExxonMobil Mark W Albers came to Indonesia.
"They stated, if Indonesia wants to develop (develop), please. We have no dispute or obstacle to this [East Natuna Block] developed, "explained Arcandra.
So there will be no dispute over who owns East Natuna Block in the future. This is important because although ExxonMobil says the development of this block is not economical, Indonesia will continue to manage the block in the North Natuna Sea.
However, recognized Arcandra, East Natuna Block development is quite challenging. From the potential source of gas to reach 226 trillion cubic feet, only 46 trillion cubic feet can be produced. In addition, there is no cheap technology that can handle the content of CO2 which reached 72%.
Pertamina called it would require partners in working on this block. Although not economical for ExxonMobil, does not mean other oil and gas companies share the same view of East Natuna Block this. However, the government fully hand over the matter of partner selection to Pertamina. "[The consortium] is up to Pertamina," he said.
Seismic the East Natuna Block
IN INDONESIA
ExxonMobil Siapkan Teknologi Pemisahan CO2 untuk Natuna
Meski tidak lagi terlibat dalam pengembangan Blok East Natuna, ExxonMobil siap menyediakan teknologi untuk pemisahan karbondioksida (CO2). ExxonMobil merupakan satu dari sedikit perusahaan minyak dan gas yang memiliki teknologi ini.
Vice President Public and Government Affairs ExxonMobil Indonesia Erwin Maryoto mengatakan, setelah dilakukan evaluasi, pihaknya memang memutuskan untuk tidak berpartisipasi dalam pembahasan maupun kegiatan lanjutan di Blok East Natuna. Tetapi pihaknya siap menyediakan teknologi yang dimilikinya untuk menangani kandungan CO2 yang mencapai 72% di blok tersebut.
“Kami menyampaikan ke Pertamina atau ke Pemerintah, kalau memang Pertamina atau siapapun nanti memerlukan teknologi yang kami miliki untuk pemisahan CO2, kami siap kerja sama,” kata dia di Jakarta, Jumat (21/7).
Dikatakannya, teknologi milik ExxonMobil itu ada di pusat penelitian dan sudah pernah dicoba. Meski demikian, dirinya enggan memastikan apakah teknologi tersebut dapat digunakan di Blok East Natuna atau tidak.
“Kami tidak tahu bisa atau tidak tetapi yang jelas kami punya teknologinya,” ujarnya.
Menurut Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar, teknologi pengelolaan CO2 memang hanya dimiliki oleh beberapa perusahaan saja, salah satunya ExxonMobil. Meskipun ada teknologi lainnya, teknologi ini masih dalam kajian, utamanya soal apakah penggunaan teknologi ini akan lebih murah biayanya. Namun ExxonMobil tidak hanya menawarkan teknologi yang dimilikinya.
“Mereka janji data-data mereka sejak 1970-an akan dikembalikan ke pemerintah. lni sebuah lompatan besar dan menjadi momentum bagi kita untuk membangun Blok East Natuna ,” tuturnya.
Pasca ExxonMobil menyatakan bahwa pengembangan Blok East Natuna tidak ekonomis menurut hitungannya, maka blok ini 100% kembali ke Indonesia. Hal ini telah disepakati oleh pihak ExxonMobil ketika Senior Vice President ExxonMobil Mark W Albers datang ke Indonesia.
“Mereka menyatakan, kalau Indonesia ingin develop (kembangkan), silahkan. Kita tidak ada dispute atau ganjalan kalo ini [Blok East Natuna] dikembangkan,” jelas Arcandra.
Sehingga tidak akan ada perselisihan soal siapa pemilik Blok East Natuna ke depannya. Hal ini penting lantaran meski ExxonMobil menyatakan pengembangan blok ini tidak ekonomis, Indonesia tetap akan melanjutkan pengelolaan blok di Laut Natuna Utara tersebut.
Meski demikian, diakui Arcandra, pengembangan Blok East Natuna memang cukup menantang. Dari potensi sumber gas mencapai 226 triliun kaki kubik, hanya 46 triliun kaki kubik saja yang dapat diproduksikan. Selain itu, belum ada teknologi murah yang mampu menangani kandungan CO2 yang mencapai 72%.
Pertamina disebutnya pasti membutuhkan mitra dalam menggarap blok ini. Meski tidak ekonomis buat ExxonMobil, bukan berarti perusahaan migas lain berpandangan sama soal Blok East Natuna ini. Namun, pemerintah menyerahkan sepenuhnya soal pemilihan mitra kepada Pertamina. “[Konsorsium] terserah Pertamina,” kata dia.
Investor Daily, Page-9, Saturday, July 22, 2017
No comments:
Post a Comment