This is the result of evaluation to the economics of eight oil and gas blocks termination submitted to Pertamina
PT Pertamina has completed the economic evaluation of eight oil and gas blocks by the end of June 2017. This step is a continuation of the Ministry of Energy and Mineral Resources (ESDM) decision to hand over the eight blocks of oil and gas to the government-owned oil and gas company.
Of the eight oil and gas blocks, Pertamina considers that the continuation of the East Kalimantan Block management could be detrimental to Pertamina. Therefore, Pertamina must spend more funds to manage the block compared to the needs of other oil and gas blocks.
Understandably, to manage the block Pertamina must use a gross split scheme which is claimed by many mining companies in terms of cost greater than cost recovery. The problem is, this company still has to bear the cost of mine closure or post mining alias Abandonment and Site Restoration (ASR)
This condition causes Pertamina not interested in managing the former East Kalimantan Block under management of Chevron. "In the new regulations have to bear a considerable ASR cost," said Syamsu Alam, Upstream Director of PT Pertamina
In managing the block, Pertamina is required to bear all post-mining costs of the block. It turned out that the previous block manager Chevron Indonesia did not reserve the post-mining funds in the block.
The previous government did not require contractors of cooperation contracts (KKKS) to prepare post-mining funds. This obligation will commence once the KKKS sign a new contract in which there is a clause regarding covering the mine closing costs.
With that in mind, according to Syamsfu Alam Pertamina will still re-evaluate its role in East Kalimantan Block.
"We are requesting additional evaluation time," he said further.
Actually, Pertamina can still request additional 5% maximum share from the discretion of EMR Minister in accordance with gross Split regulation. The profit sharing for petroleum KKKS in the regulation is 43% and the rest, 57%, for the state.
If the government approves Pertamina's request, then the gross split in the block is a maximum of 48% for Pertamina. And the rest of the country by 52%.
So far the government has not determined the right incentives to help Pertamina. Director General of Oil and Gas, IGN Wiratmaja Puja stated that the government still has to analyze Pertamina's evaluation result.
"We first study the results of Pertamina's analysis," said Wiratmaja
Just as a note, at the end of January 2017, the Minister of Energy and Mineral Resources Ignasius Jonan handed over the management of eight blocks of oil and gas to Pertamina. Eight oil and gas blocks consist of three oil and gas blocks managed by Pertamina, and five other blocks managed by other operators.
MAP OF WORKING AREA OIL AND GAS
IN INDONESIA
Pertamina Akan Mencoret Blok East Kalimantan
Inilah hasil evaluasi ke ekonomian delapan blok migas terminasi yang diserahkan ke Pertamina
PT Pertamina sudah menuntaskan hasil evaluasi keekonomian delapan blok minyak dan gas (migas) pada akhir Juni 2017. Langkah ini merupakan kelanjutan dari keputusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menyerahkan delapan blok migas tersebut ke perusahaan migas milik pemerintah ini.
Dari delapan blok migas tersebut, Pertamina menilai kelanjutan pengelolaan Blok East Kalimantan bisa merugikan Pertamina. Sebab, Pertamina harus mengeluarkan dana lebih besar untuk mengelola blok tersebut dibandingkan dengan kebutuhan dana blok migas lain.
Maklum, untuk mengelola blok tersebut Pertamina harus menggunakan skema gross split yang diklaim oleh banyak perusahaan tambang dari sisi biaya lebih besar daripada cost recovery. Persoalannya, perusahaan ini masih harus menanggung biaya penutupan tambang atau pasca tambang alias Abandonment and Site Restoration (ASR)
Kondisi inilah yang menyebabkan Pertamina tidak tertarik mengelola Blok East Kalimantan bekas kelolaan Chevron. "Dalam peraturan baru harus menanggung biaya ASR yang cukup besar," kata Syamsu Alam, Direktur Hulu PT Pertamina
Dalam mengelola blok tersebut, Pertamina Wajib menanggung seluruh biaya pasca tambang blok tersebut. Ternyata pengelola blok sebelumnya yaitu Chevron Indonesia tidak mencadangkan dana pasca tambang di blok itu.
Pemerintah sebelumnya memang tidak mewajibkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) menyiapkan dana pasca tambang. Kewajiban ini akan dimulai setelah para KKKS meneken kontrak baru yang di dalamnya ada klausul soal menanggung biaya penutupan tambang.
Dengan memperhatikan hal tersebut, menurut Syamsfu Alam Pertamina masih akan mengevaluasi kembali perannya di Blok East Kalimantan.
"Kami sedang meminta tambahan waktu evaluasi lagi," katanya lebih lanjut.
Sebenarnya, Pertamina masih bisa meminta tambahan bagi hasil maksimal 5% dari diskresi Menteri ESDM sesuai dengan peraturan gross Split. Adapun bagi hasil bagi KKKS minyak bumi dalam aturan tersebut adalah 43% dan selebihnya, 57%, untuk negara.
Bila pemerintah menyetujui permintaan Pertamina, maka gross split di blok tersebut adalah maksimal 48% untuk Pertamina. Dan selebihnya negara sebesar 52%.
Sejauh ini pemerintah belum menentukan insentif yang tepat untuk membantu Pertamina. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, IGN Wiratmaja Puja menyatakan, pemerintah masih harus menganalisa hasil evaluasi Pertamina.
"Kami pelajari dulu hasil analisis Pertamina," kata Wiratmaja
Sekedar catatan, pada akhir Januari 2017, Menteri ESDM Ignasius Jonan menyerahkan pengelolaan delapan blok migas berminasi kepada Pertamina. Delapan blok migas tersebut terdiri dari tiga blok migas dikelola Pertamina, dan lima blok lain dikelola operator lain.
Kontan, Page-14, Monday, July 3, 2017
No comments:
Post a Comment