google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 Year 2030 Indonesia Become Importer - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

Monday, July 24, 2017

Year 2030 Indonesia Become Importer



Indonesia is expected to become an energy importer by 2030 because the deficit between supply and consumption in the year is getting bigger. Imports of energy are not only fossil energy, but also from renewable energy sources. Therefore, it needs innovation in developing new renewable energy that its potential in Indonesia is abundant.

This was raised in the discussion "The Future of Energy Security in Indonesia and the Role of Renewable Energy" on Thursday (20/7), on the campus of Multimedia Nusantara University Tangerang, Banten.

According to the Head of Center for Energy Studies of Gadjah Mada University, Yogyakarta Deendarlianto, if Indonesia's economic growth is above 5 percent per year, then the energy deficit will be bigger in 2030. It is estimated that in that year Indonesia will become non-fossil energy importer, besides remain oil importer And gas.

"The current condition, the dependence on fossil energy, namely oil and gas is very large. This will make the national energy mix target for new renewable energy types in 2025 difficult to achieve, "said Deendarlianto.

Expert Staff of the Supervisory Commission of SKK Migas, Abdul Muin, added that, as crude oil prices plummet today, the development of new renewable energy in Indonesia faces severe challenges. The cost of renewable energy production can not compete with oil that currently costs less than 50 US dollars per barrel.

Secretary of the Directorate General of New Energy, Renewable Energy and Conservation at the Ministry of Energy and Mineral Resources, Dadan Kusdiana, confirms that the priority of national energy development is to maximize the use of renewable energy.

"The challenges of its development are business schemes and incentives that are not yet optimal. In addition, the technology dependence from abroad is still large and the selling price of renewable energy is more expensive than fossil energy. Equally important is the similarity of mindset about the importance of developing new renewable energy in society, "said Dadan.

Regarding the development of nuclear energy into the new energy category, according to members of the National Energy Council, Tumiran, until now still a polemic. From the government's point of view, nuclear development as a source of energy is still a last resort. Without nuclear, achievement of 23 percent of renewable energy in the national energy mix is ​​difficult to achieve by 2025.

"If my academic view is personal, nuclear must enter. However, the political situation is not so. Though technologically the benefits of nuclear use are proven.

IN INDONESIA

Tahun 2030 Indonesia Jadi Importir


Indonesia diperkirakan menjadi pengimpor energi pada 2030 lantaran defisit antara pasokan dan konsumsi di tahun tersebut semakin membesar. Impor energi itu tidak hanya energi fosil, tetapi juga dari sumber energi baru terbarukan. Oleh karena itu, perlu inovasi dalam mengembangkan energi baru terbarukan yang potensinya di Indonesia melimpah.

Hal itu mengemuka dalam diskusi ”Masa Depan Ketahanan Energi Indonesia dan Peranan Energi Baru Terbarukan”, Kamis (20/7), di kampus Universitas Multimedia Nusantara Tangerang, Banten.

Menurut Kepala Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Deendarlianto, jika pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 5 persen per tahun, maka defisit energi akan semakin besar di 2030. Diperkirakan, di tahun itu Indonesia akan menjadi pengimpor energi non-fosil, selain tetap menjadi pengimpor minyak dan gas.

”Kondisi sekarang ini, ketergantungan terhadap energi fosil, yaitu minyak dan gas bumi sangat besar. Hal ini akan membuat target bauran energi nasional untuk jenis energi baru terbarukan di 2025 sulit dicapai,” ujar Deendarlianto.

Staf Ahli Komisi Pengawas SKK Migas, Abdul Muin, menambahkan, di saat harga minyak mentah yang anjlok saat ini, pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia menghadapi tantangan berat. Ongkos produksi energi baru terbarukan kalah bersaing dengan minyak yang saat ini harganya kurang dari 50 dollar AS per barrel.

Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Dadan Kusdiana, membenarkan, prioritas utama pengembangan energi nasional adalah dengan memaksimalkan penggunaan energi baru terbarukan.

”Tantangan pengembangannya adalah skema bisnis dan insentif yang belum optimal. Selain itu, ketergantungan teknologi dari luar negeri masih besar dan harga jual energi baru terbarukan lebih mahal daripada energi fosil. Yang tidak kalah penting adalah penyamaan pola pikir mengenai pentingnya pengembangan energi baru terbarukan di masyarakat,” kata Dadan. 

Mengenai pengembangan nuklir yang masuk dalam kategori energi baru, menurut anggota Dewan Energi Nasional, Tumiran, sampai saat ini masih menjadi polemik. Dari sudut pandang pemerintah, pengembangan nuklir sebagai sumber energi masih menjadi pilihan terakhir. Tanpa nuklir, pencapaian 23 persen dari energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional sulit dicapai pada 2025.

”Kalau pandangan akademik saya pribadi, nuklir harus masuk. Namun, situasi politiknya tidak demikian. Padahal secara teknologi manfaat penggunaan nuklir banyak terbukti.

Kompas, Page-17, Friday, July 21, 2017

No comments:

Post a Comment

POP UNDER

Iklan Tengah Artikel 1

NATIVE ASYNC

Iklan Bawah Artikel