Based on data from the Ministry of Energy and Mineral Resources 2017, Indonesia's crude oil reserves are 3.6 billion barrels. The natural gas is still 100 trillion cubic feet, while 7.2 billion tons of coal. Assuming there is no new reserve discovery, the oil will run out by 2030, natural gas in 2051, and coal in 2043.
Are we really on the verge of an energy crisis? Let's talk oil. If until 2030 there is no new reserve discovery, Indonesia will rely on imports. Even if there are new reserve findings before 2030, not necessarily be produced. It takes 10-15 years since the discovery of oil reserves until it can be produced.
Why is it so hard to find new reserves in Indonesia? A number of experts, both in government and outside the government, said the remaining reserves in Indonesia exist in the eastern region. It is located in deep sea waters. In addition to the inventory discovery success ratio shrinking, the cost and level of difficulty are higher.
Mentioned, the cost of one deep well oil drilling wells can range from 100 million US dollars-200 million US dollars or equivalent to Rp 1.3 trillion-Rp 2.6 trillion. With the record, again not necessarily managed to find oil. If the result is negative, that much money disappears instantly with no small profit. The risk is greatly appreciated by oil companies, especially when the upstream investment climate of oil and gas is slow now
What if funded by the state? Through the state budget, for example. Very risky and it is impossible to go. It could have been in jail for spending trillions of people's money looking for oil, but not producing anything. That much more money meant for health, education, or infrastructure development financing.
Then, what is the solution? The government has given an answer, one of them by optimizing the utilization of natural gas. Natural gas is the only non-renewable reserve of fossil energy that still has a long life span. Unfortunately, we are not ready, if you do not want to say reluctant to be ready in an effort to optimize the gas.
Gas produced daily is 6,440 million standard cubic feet per day (MMSCFD) in accordance with APBN 2017 provisions, partially exported and partly absorbed for domestic use in a balanced portion. Why should half of it be exported? In addition to the issue of foreign exchange, gas infrastructure in the country is not ready yet. Therefore, natural gas is processed into liquefied natural gas (LNG), transported, then regasified, then flowed to the final consumer.
This regasification infrastructure is still lacking. Thus, gas flows into the international market, purchased by other countries that are infrastructure much more prepared than Indonesia. It is like the kindness of Indonesia to support the energy adequacy of other countries.
Government policy in terms of diversification of fuel oil to gas in the transportation sector, which is a greedy sector of oil, until now is not clear. Not to mention the matter of coal that governance problems piled up. Has the energy crisis alarm started ringing?
The government is not doing nothing. Ideas, policies and proposals are piled up or may be mounting. However, citing members of the National Energy Council, Sonny Keraf, in a discussion some time ago, we are weak in implementation. In other words, most only exist in the fancy or piece of policy paper.
IN INDONESIA
Alarm Sudah Berdering
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2017, cadangan minyak mentah Indonesia tersisa 3,6 miliar barrel. Adapun gas bumi masih 100 triliun kaki kubik, sedangkan batubara 7,2 miliar ton. Dengan asumsi tidak ada penemuan cadangan baru, minyak akan habis pada 2030, gas bumi pada 2051, dan batubara di 2043.
Benarkah kita sudah di ambang krisis energi? Mari kita bicara minyak. Seandainya sampai 2030 tidak ada penemuan cadangan baru, Indonesia akan benar-benar bergantung pada impor. Bahkan seandainya ada temuan cadangan baru sebelum 2030, tidak serta-merta bisa diproduksi. Perlu waktu 10-15 tahun sejak penemuan cadangan minyak sampai bisa diproduksi.
Kenapa sulit sekali menemukan cadangan baru di Indonesia? Sejumlah pakar, baik yang ada di pemerintahan maupun di luar pemerintahan, menyebutkan, cadangan yang tersisa di Indonesia ada di kawasan timur. Letaknya di perairan laut dalam. Selain rasio kesuksesan penemuan cadangan mengecil, ongkos dan tingkat kesulitannya semakin tinggi.
Disebutkan, ongkos satu sumur pengeboran minyak di laut dalam bisa berkisar 100 juta dollar AS-200 juta dollar AS atau setara Rp 1,3 triliun-Rp 2,6 triliun. Dengan catatan, sekali lagi belum tentu berhasil menemukan minyak. Apabila hasilnya negatif, uang sebanyak itu lenyap seketika tidak memberi keuntungan sekecil apapun. Risiko itu sangat ditimbang betul oleh perusahaan minyak, apalagi di saat iklim investasi hulu minyak dan gas bumi yang sedang lesu sekarang
Bagaimana jika didanai negara? Lewat APBN, misalnya. Sangat berisiko dan itu tidak mungkin ditempuh. Bisa saja pejabatnya masuk penjara karena sudah membelanjakan triliunan rupiah uang rakyat untuk mencari minyak, tetapi tidak menghasilkan apa-apa. Uang sebanyak itu lebih berarti untuk pembiayaan kesehatan, pendidikan, atau pembangunan infrastruktur.
Lalu, apa jalan keluarnya? Pemerintah sudah memberi jawaban, salah satunya dengan mengoptimalkan pemanfaatan gas bumi. Gas bumi adalah satu-satunya cadangan energi fosil yang tidak terbarukan yang masih punya umur panjang pemakaiannya. Sayangnya, kita seperti tidak siap, kalau memang tidak ingin dikatakan enggan untuk siap dalam upaya mengoptimalkan gas tersebut.
Gas yang diproduksi setiap hari sebanyak 6.440 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) sesuai ketetapan APBN 2017, sebagian diekspor dan sebagian lagi diserap untuk keperluan domestik dalam porsi seimbang. Kenapa setengahnya harus diekspor? Selain persoalan devisa, ternyata infrastruktur gas di dalam negeri belum siap. Karena itu, gas bumi diproses menjadi gas alam cair (LNG), diangkut, lalu diregasifikasi, kemudian dialirkan ke konsumen akhir.
Infrastruktur regasifikasi ini yang masih kurang. Maka, gas mengalir ke pasar internasional, dibeli negara lain yang secara infrastruktur jauh lebih siap daripada Indonesia. Ini seperti kebaikan hati Indonesia mendukung kecukupan energi negara lain.
Kebijakan pemerintah dalam hal diversifikasi bahan bakar minyak ke gas di sektor transportasi, yang merupakan sektor rakus minyak, sampai kini tidak jelas. Belum lagi soal batubara yang tata kelolanya bertumpuk masalah. Apakah alarm krisis energi sudah mulai berdering?
Pemerintah bukannya tidak berbuat apa-apa. Ide, kebijakan dan berbagai usulan sudah bertumpuk atau mungkin menggunung. Namun, mengutip anggota Dewan Energi Nasional, Sonny Keraf, dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu, kita lemah dalam pelaksanaan. Dengan kata lain, kebanyakan hanya ada dalam angan atau secarik kertas kebijakan.
Kompas, Page-17, Saturday, August 5, 2017
No comments:
Post a Comment