google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 Changing Gas Prices - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

Tuesday, August 8, 2017

Changing Gas Prices



Gas prices are one of the most crucial points when oil prices fall, but domestic gas prices are unaffected. Gas prices remain high and complained by consumers. In fact, it is a consequence that must be borne because in the few years back when the high oil prices gas prices in the country it remains low.

Especially for the price of gas power plants, the government wants the cost of electricity production is low, but can absorb the gas with the optimum. The government issued a regulation on gas price limits of power plants in January 2017.
Not long ago with the liquefied natural gas (LNG) fomlula at the departure jetty of 11.5% of the Indonesian crude price (ICP), the government issued a new formula recently.

Through Regulation of Minister of Energy and Mineral Resources No.45 / 2017 which replaces the Regulation of Minister of Energy and Mineral Resources No. 11/2017 on Utilization of Natural Gas for Government Plant to re-tune the gas pricing formula. From the original 11.5% of ICP to LNG at the departure dock, the government now regulates the price of piped gas at the maximum power plant that PT State Electricity Company can purchase and private power developers at 14.5% of ICP.

The reason for the change, the 11.5% formula is considered too high for PLN and independent power producer (IPP). The reason is, this price does not include the cost of LNG transportation, regasification, and the cost of channeling gas through the pipeline. PLN and IPP can also use LNG if they have access or have plans to build their own LNG receiving terminal.

LNG price in the hands of konsmnen that can be purchased that is under gas pipe supply. In addition, if the import LNG price is equal to the domestic LNG price, the developer must purchase domestic LNG. LNG that requires a longer process to be used in a power plant actually gets the same formula as a pipe gas that only needs a process of delivery through the pipeline.

Simple logic, if the gas price at the mouth of the well is only 8% of ICP, and the gas pipe at the plant gate of 14.5% should be the LNG formula is higher because the process is longer than the other two options.

Director of Fuel Oil and Gas PLN Chairman Rachmatullah said, for the provision of gas generating the next, after the existence of this rule, the use of LNG will be more difficult. Because the four existing LNG receiving terminals are not yet operating efficiently, so the cost of regasification is high.

Thus, it is difficult to use LNG with a 14.5% formula from ICP which has included regasification cost factor as well as distribution to plant gate. Four regasification facilities currently in operation are in Benoa, Bali (PT
(Java Gas Company) with capacity of 240 MMscfd, Arun, Aceh (PT Pertamina Gas) and in West Java (owned by Nusantara Regas) with capacity of 400 MMscfd .

"If the LNG is heavy, because the four terminals currently operating are still inefficient, expensive because it is built when the market in the ship industry again as high as possible" he said.

He considered that the use of piped gas would be more easily realized because it does not require a process along the LNG to be used in the plant. In addition, he said, there is a space of negotiations that can make the selling price of gas to the plant lower than the formula set by the government.

"If gas pipes, hopefully under it. There's a negotiating room. "

HARD TO APPLY

Chairman of the Association of Indonesian Private Electric Manufacturers (APISI) Ali Herman Ibrahim said, seen and availability, the domestic does have the ability to supply gas needs generator. However, the price of gas pipelines and LNG already high so that will complicate the producers and traders of gas because the power sector does not have the ability to absorb the gas following the formula set by the government.

"So the rules are troublesome to follow the manufacturers or gas traders. Gas exists, but the price is high. "

Senior Expert of Gas & Power Wood Mackenzie Edi Saputra said gas pipes can not be the mainstay to supply the plant. The reason, new large-capacity gas projects have shifted to a place further away from the market. Therefore, the role of domestic LNG will be very crucial to meet the needs of the plant.

From Wood Mackenzie's data, in 2030 more than 60% of the electricity sector gas demand is expected to be met and LNG. According to him, the government has learned from the previous rule that the formula set is too low. In terms of the LNG price index on oil prices, he said the government has raised its index from 11.5% to 14.5% from ICP.

However, the price setting scheme is not without flaws. According to Edi, there will be upstream projects that can not be included in the established criteria. For example, he said, projects such as the Indonesian Deepwater Development (IDD) and the Masela Block would not be able to produce LNG at prices that follow government limits.

"Price ceiling is not ideal, there will be no chance of upstream projects with government limits such as the Abadi Field Project and IDD, it is difficult to meet the price ceiling, let alone the reference at the plant gate in the hands of consumers]."

The government needs to test other schemes with gas procurement auctions in a transparent and competitive manner. Thus, the gas producers will compete for the gas supply to be purchased by the power plant.

"The government needs to evaluate a more transparent and competitive mechanism compared to the price set.In terms of this year's target, domestic LNG production touched 278 cargoes, consisting of 163 cargoes coming from Bontang LNG Plant and 115 cargoes from the Tangguh Refinery If the LNG price formula is too low , Many gas sales contracts were canceled, gas field projects were not developed or abandoned by investors.

IN INDONESIA

Utak-Atik Harga Gas


Harga gas menjadi salah satu poin yang Krusial terutama pada saat harga minyak turun, tetapi harga gas di dalam negeri tidak terpengaruh. Harga gas tetap tinggi dan dikeluhkan oleh konsumen. Padahal, hal itu merupakan konsekuensi yang harus ditanggung karena dalam beberapa tahun ke belakang ketika harga minyak tinggi harga gas di dalam negeri justru tetap rendah.

Khusus untuk harga gas pembangkit listrik, pemerintah menginginkan agar biaya pokok produksi listrik rendah, tetapi bisa menyerap gas dengan optimum. Pemerintah mengeluarkan aturan tentang batas harga gas pembangkit pada Januari 2017.

    Belum lama bertahan dengan fomlula harga gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) di dermaga keberangkatan 11,5% dari harga minyak mentah Indonesia (Indonesian crude price/ICP), pemerintah menerbitkan formula baru belum lama ini.

Melalui Peraturan Menteri ESDM No.45/2017 yang menggantikan Peraturan Menteri ESDM No. 11/2017 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit pemerintah mengutak-atik ulang formula harga gas pembangkit. Dari semula 11,5% dari ICP untuk LNG di dermaga keberangkatan, kini pemerintah mengatur harga gas pipa di pembangkit maksimum yang bisa dibeli PT Perusahaan Listrik Negara dan pengembang listrik swasta sebesar 14,5% dari ICP.

Alasan perubahan itu, formula 11,5% dianggap masih terlalu tinggi bagi PLN dan pengembang listrik swasta (independent power producer/IPP). Pasalnya, harga ini belum mencakup biaya transportasi LNG, regasifikasi, dan biaya penyaluran gas melalui pipa. PLN dan IPP pun bisa menggunakan LNG bila memiliki akses atau memiliki rencana untuk membangun terminal penerimaan LNG sendiri. 

Harga LNG di tangan konsmnen yang bisa dibeli yakni di bawah penawaran gas pipa. Selain itu, bila harga LNG impor sama dengan harga LNG domestik, pengembang wajib membeli LNG domestik. LNG yang memerlukan proses lebih panjang untuk bisa digunakan di pembangkit listrik justru mendapat formula yang sama dengan gas pipa yang hanya membutuhkan proses penghantaran melalui pipa. 

Logika sederhananya, bila harga gas di mulut sumur hanya 8% dari ICP, dan gas pipa di plant gate 14,5% seharusnya formula LNG lebih tinggi karena proses yang dilalui lebih panjang dari dua opsi lainnya.

Direktur Bahan Bakar Minyak dan Gas PLN Chairani Rachmatullah mengatakan, untuk penyediaan gas pembangkit berikutnya, setelah adanya aturan ini, penggunaan LNG akan semakin sulit. Pasalnya, empat terminal penerimaan LNG yang sekarang ada saat ini belum beroperasi secara efisien sehingga biaya regasifikasi tinggi.

Dengan demikian, sulit untuk menggunakan LNG dengan formula 14,5% dari ICP yang sudah memasukkan faktor biaya regasifikasi juga distribusi ke plant gate. Empat fasilitas regasifikasi yang saat ini beroperasi yakni di Benoa, Bali (PT Pembangkitan Jawa Bali) berkapasitas 50 juta kaki kubik per hari (MMscfd), di Lampung (PT Perusahaan Gas Negara Tbk.) berkapasitas 240 MMscfd, Arun, Aceh (PT Pertamina Gas) serta di Jawa Barat (milik Nusantara Regas) dengan kapasitas 400 MMscfd. 

"Kalau LNG berat, karena empat terminal-terminal yang saat ini operasi masih belum efisien, mahal karena dibangun saat market di industri kapal lagi setinggi-tingginya" ujarnya.

Dia menilai bahwa penggunaan gas pipa akan lebih mudah direalisasikan karena tidak memerlukan proses sepanjang LNG untuk bisa digunakan di pembangkit. Selain itu, dia menyebut, terdapat ruang negosiasi yang bisa membuat harga jual gas ke pembangkit lebih rendah dari formula yang ditetapkan pemerintah. 

“Kalau gas pipa, semoga bisa di bawahnya. Ada ruang negosiasi."

SULIT DITERAPKAN 

Ketua Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APISI) Ali Herman Ibrahim mengatakan, dilihat dan ketersediaannya, domestik memang memiliki kemampuan untuk menyuplai kebutuhan gas pembangkit. Namun, harga gas pipa dan LNG sudah terlanjur tinggi sehingga akan menyulitkan produsen dan pedagang gas karena sektor ketenagalistrikan tidak memiliki kemampuan untuk menyerap gas mengikuti formula yang ditetapkan pemerintah.

“Jadi aturan tersebut repot untuk di ikuti produsen atau trader gas. Gas ada, tetapi harga terlanjur tinggi." 

Senior Expert Gas & Power Wood Mackenzie Edi Saputra mengatakan, gas pipa tidak bisa dijadikan andalan utama untuk menyuplai pembangkit. Pasalnya, proyek-proyek gas baru yang berkapasitas besar telah bergeser ke tempat yang semakin jauh dari pasar. Oleh karena itu, peran LNG domestik akan sangat krusial untuk memenuhi kebutuhan pembangkit.

Dari data Wood Mackenzie, pada 2030 lebih dari 60% kebutuhan gas sektor ketenagalistrikan diperkirakan akan dipenuhi dan LNG. Menurutnya, pemerintah telah belajar dari aturan sebelumnya bahwa formula yang ditetapkan terlalu rendah. Dari segi indeks harga LNG terhadap harga minyak, dia menyebut pemerintah telah menaikkan indeksnya dari 11,5% menjadi 14,5% dari ICP

Namun, skema penetapan batas harga bukanlah tanpa kekurangan. Menurut Edi, akan tetap ada proyek-proyek di hulu yang tidak bisa masuk dalam kriteria yang ditetapkan. Sebagai contoh, dia menuturkan, proyek-proyek seperti Indonesian Deepwater Development (IDD) dan Blok Masela tidak akan bisa menghasilkan LNG dengan harga yang mengikuti batasan pemerintah.

"Price ceiling [harga atas] itu tidak ideal. Masih akan ada peluang proyek-proyek di hulu tidak masuk dengan batas yang ditetapkan pemerintah seperti Proyek Lapangan Abadi dan IDD. Sulit memenuhi price ceiling tersebut apalagi acuannya di plant gate ditangan konsumen]."

Pemerintah perlu menguji skema lainnya dengan lelang pengadaan gas dengan cara yang transparan dan kompetitif. Dengan demikian pada produsen gas akan berkompetisi agar pasokan gasnya bisa dibeli pembangkit listrik.

"Pemerintah perlu mengevaluasi mekanisme yang lebih transparan dan kompetitif dibandingkan dengan menetapkan price. Dari sisi target tahun ini, produksi LNG domestik menyentuh 278 kargo, terdiri dari 163 kargo berasal dari Kilang LNG Bontang dan 115 kargo dari Kilang Tangguh. Bila formula harga LNG terlalu rendah, banyak kontrak jual beli gas batal ditandatangani, proyek-proyek lapangan gas tidak dikembangkan atau ditinggalkan para investor.

Bisnis Indonesia, Page-34, Monday, August 7, 2017

No comments:

Post a Comment

POP UNDER

Iklan Tengah Artikel 1

NATIVE ASYNC

Iklan Bawah Artikel