google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 Exxon Mobil - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

Wednesday, August 23, 2017

Exxon Mobil



The government expects oil production of Cepu Block to be increased to 300 thousand barrels per day from 200 thousand barrels now. Exxon Mobil as operator tries to increase production to 220 thousand barrels per day this year. Cepu Block production accounts for about 125% of national oil production.

We deserve to hope for the Cepu Block because this is the last great oil discovery of its production. What we get now is an investment of the past. Nearly 17 years time is required for production since exploration was conducted in 1999. Even after the cooperation contract was signed in 2005, it took more than 10 years for the oilfield to operate.

What does all this mean? The investment approval process until then can actually run in Indonesia is very slow. Even the slowness in execution in the Cepu Block makes us lose a golden opportunity. We do not enjoy the oil price boom in 2011 simply because of interest attraction.

Now our new oil reserves are very limited. About 86% of the oil wells we have are old wells. We need a new exploration that is now only 6%. Important exploration is done now because the benefits will be felt 15 years to come. If we do not do it now, we will face the threat of shortage of energy supply because we can not expect a lifetime of hope from Cepu Block.

Unfortunately, the two Special Migas Working Units offer exploration of oil and gas blocks hardly anyone is interested to enter. In fact what happened one by one left Indonesia. The most surprising thing is the pullback of Exxon Mobil from Natuna Block. We certainly deserve to ask, what's with Indonesia? Why is Indonesia ranked 15th out of the 120 most attractive countries for oil and gas investment? The cause is not one. Began to deal with the inconsistency of rules, taxes, fiscal, legal processes, to enforcement of regulations.

Chevron's company once disappointed when suddenly hit by a $ 130 million branch profit tax, the Government finally annulled after US Vice President Mike Pence objected to President Joko Widodo. The British oil company Shell and Inpex-Japan, shook their heads when the study resulted for the exploitation of the Masela Block in the President's intervention.

Until now the project has stopped because the government can not compensate for the change of the production system from offshore to on-shore. It is appropriate if the President decides to postpone the issuance of the 16th Economic Policy Package. It is better to first define the clearer criteria of the desired new investment. Do not let the policy package issued again is different from the spirit contained in it.

Vice President Jusuf Kalla once reminded us about our inconsistency in attracting investment. We are too tired to do a road show around the world to attract people want to invest in Indonesia. However, companies that have long invested in Indonesia are required to divest. This is equivalent to expelling foreign companies from Indonesia.

As long as we are still being xenophobic like this, no one ever wants to invest in Indonesia. Especially if we realize that the investment is not no risk. Like oil exploration, to conduct one drilling requires an investment of at least Rp 1 trillion. Oil and gas businessman VVIP Class, Burhanuddin Maras, we should encourage the view of foreign companies that have entered Indonesia to invest more.

That we hope to get a more profitable part for the country, it's smart government negotiate it. Unfortunately, our hard effort to get 'worthy investment' rating from various world rating agencies we do not optimize.

Barito Pacific Group owner Prajogo Pangestu never forgets what Chevron's big boss expressed when taking over Chevron's geothermal power plant in Indonesia and the Philippines. A $ 2.3 billion transaction funded from an international bank syndicated loan is one of the world's confidence in Indonesia.

The courage of international banks providing large-scale loans to Indonesian companies will not happen if the banks do not believe in the future of Indonesia. That's what makes institutions like Standard & Poor's finally raise Indonesia's rating to 'worthy of investment'.

All these predicates will never matter if we are not able to capitalize them. Interesting investment is not to spread the promises, but make the existing here more willing and willing to expand its business.

IN INDONESIA

Exxon Mobil


Pemerintah berharap produksi minyak Blok Cepu bisa ditingkatkan menjadi 300 ribu barel per hari dari 200 ribu barel sekarang ini. Exxon Mobil sebagai operator berusaha meningkatkan produksi menjadi 220 ribu barel per hari tahun ini. Produksi Blok Cepu menyumbang sekitar 125% produksi minyak nasional.

Kita pantas berharap kepada Blok Cepu karena inilah penemuan minyak terakhir yang paling besar produksinya. Apa yang kita dapatkan sekarang merupakan investasi masa lalu. Hampir 17 tahun waktu dibutuhkan untuk berproduksi sejak eksplorasi dilakukan pada 1999. Bahkan setelah kontrak kerja sama ditandatangani pada 2005, diperlukan waktu lebih dari 10 tahun sampai ladang minyak beroperasi. 

Apa artinya semua ini? Proses persetujuan investasi sampai kemudian bisa benar-benar berjalan di Indonesia sangatlah lamban. Bahkan kelambanan dalam eksekusi di Blok Cepu membuat kita kehilangan peluang emas. Kita tidak menikmati booming harga minyak pada 2011 hanya karena tarik-menarik kepentingan.

Sekarang cadangan minyak baru yang kita miliki sangatlah terbatas. Sekitar 86% sumur minyak yang kita punyai merupakan sumur-sumur tua. Kita membutuhkan eksplorasi baru yang sekarang ini hanya 6%. Eksplorasi penting dilakukan sekarang karena manfaatnya akan bisa dirasakan 15 tahun yang akan datang. Kalau tidak melakukannya sekarang, kita akan menghadapi ancaman kekurangan pasokan energi karena kita tidak mungkin seumur hidup berharap dari Blok Cepu.

Sayangnya, dua kali Satuan Kerja Khusus Migas menawarkan eksplorasi blok migas nyaris tidak ada yang tertarik untuk masuk. Bahkan yang terjadi satu per satu meninggalkan Indonesia. Yang paling mengejutkan ialah mundurnya Exxon Mobil dari Blok Natuna. Kita tentu pantas bertanya, ada apa dengan Indonesia? Mengapa Indonesia bisa berada di urutan 15 terbawah dari 120 negara yang paling menarik untuk investasi migas? Penyebabnya tidaklah satu. Mulai urusan inkonsistensi aturan, pajak, fiskal, proses hukum, hingga penegakan peraturan.

Perusahaan sekelas Chevron pernah kecewa ketika tiba-tiba dikenai branch profit tax sebesar US$ 130 juta, Pemerintah akhirnya menganulir setelah Wakil Presiden AS Mike Pence menyampaikan keberatan kepada Presiden Joko Widodo. Perusahaan minyak Inggris Shell dan Inpex-Jepang, geleng-geleng kepala ketika hasil kajian untuk eksploitasi Blok Masela di intervensi Presiden. 

Sampai sekarang proyek itu berhenti karena pemerintah tidak bisa memberikan kompensasi atas perubahan sistem produksi dari offshore menjadi on-shore. Tepatlah jika Presiden memutuskan menunda penerbitan Paket Kebijakan Ekonomi Ke-16. Lebih baik kita rumuskan dulu kriteria yang lebih jelas dari investasi baru yang diinginkan. Jangan sampai paket kebijakan yang dikeluarkan lagi-lagi berbeda dengan semangat yang terkandung di dalamnya.

Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah mengingatkan soal inkonsistensi kita dalam menarik investasi. Kita terlalu lelah melakukan road show keliling dunia untuk menarik orang mau berinvestasi di Indonesia. Namun, perusahaan yang sudah lama menanamkan modal mereka di Indonesia diminta untuk melakukan divestasi. Ini sama dengan mengusir perusahaan asing dari Indonesia.

Sepanjang kita masih bersikap xenofobia seperti ini, tidak pernah ada orang yang mau menanamkan modalnya di Indonesia. Apalagi kalau kita sadari bahwa investasi itu bukan tidak ada risikonya. Seperti eksplorasi minyak, untuk melakukan satu pengeboran dibutuhkan investasi minimal Rp 1 triliun. Pengusaha migas Kelas VVIP, Burhanuddin Maras, berpandangan kita seharusnya mendorong perusahaan asing yang sudah masuk Indonesia untuk menanamkan modal lebih banyak lagi. 

Bahwa kita berharap mendapatkan bagian yang lebih menguntungkan untuk negara, itu pintar-pintarnya pemerintah menegosiasikannya. Sayang, upaya keras kita untuk mendapatkan predikat ‘layak investasi’ dari berbagai lembaga pemeringkat dunia tidak kita optimalkan. 

Pemilik Grup Barito Pacific, Prajogo Pangestu, tidak pernah lupa apa yang disampaikan bos besar Chevron ketika mengambil alih pembangkit listrik panas bumi milik Chevron di Indonesia dan Filipina. Transaksi US$ 2,3 miliar yang didanai dari pinjaman sindikasi bank internasional merupakan salah satu bentuk kepercayaan dunia kepada Indonesia.

Keberanian bank internasional memberikan pinjaman skala besar kepada perusahaan Indonesia tidak akan terjadi kalau bank-bank itu tidak percaya kepada masa depan Indonesia. Itulah yang membuat lembaga seperti Standard & Poor’s pun akhirnya menaikkan peringkat Indonesia menjadi ‘layak investasi'.

Semua predikat itu tidak pernah akan ada artinya kalau kita tidak mampu mengapitalisasikannya. Menarik investasi itu bukan dengan menebar janji-janji, melainkan membuat yang sudah ada di sini lebih betah dan mau mengembangkan usahanya.

Media Indonesia, Page-16, Wednesday, August 23, 2017

No comments:

Post a Comment

POP UNDER

Iklan Tengah Artikel 1

NATIVE ASYNC

Iklan Bawah Artikel