PT Pertamina booked 19 percent higher revenues in the first half of this year compared to the same period last year of US $ 20.5 billion. However, due to eroded by rising crude oil prices and fixed fuel oil prices, the company's earnings corrected 24% to US $ 1.4 billion.
Pertamina's President Director Elia Massa Manik said the average crude oil price in the first six months compared to the same period last year had risen by 30 percent from US $ 36.16 per barrel to US $ 48.9 per barrel. However, the price of fuel for the subsidized and assigned assignments remained until last September. Though the current fuel prices formed with the benchmark crude oil prices far below the current prices.
"This condition pushes nett income (net profit) and EBITDA. Nett income was 30 percent lower from US $ 1.83 billion to US $ 1.4 billion. EBITDA from US $ 4.1 billion to US $ 3.16 billion, "he said at a press conference here on Wednesday (16/8).
Yet the company's performance actually improved. This is evident from the company's revenue that actually rose 19%, ie from US $ 17.2 billion in the first half of 2016 to US $ 20.5 billion in the first half of 2017. Not only that, the realization of investment disbursed by Pertamina also increased from US $ 810 million to US $ 1.49 billion.
According to Pertamina Finance Director Arief Budiman, the company's revenue is driven by higher fuel consumption. In addition, non-subsidized fuel price increases also boosted revenues. Thus, in terms of cash flow, Pertamina's finances in the first half of this year have been more than the first three months of this year.
"The position in the first quarter, operating cash flow is still negative, now it is positive. But it must still be balanced with the payment of short-term debt, so that the condition can now be maintained or even improved, "he said.
Fuel sales, said Pertamina Marketing Director Muchamad Iskandar, rose 4% compared to the first half of 2016, from 31.47 million kiloliters (KL) to 32.6 million kiloliters (KL). Premium consumption did drop 34% from the first half of last year 5.78 million KL to 3.82 million KL. But the consumption of gasoline type Pertalite, Pertamax Turbo, and First rose 25.54% from 9.75 million KL to 12.24 KL.
As for diesel, diesel consumption subsidies increased from 6.51 million KL to 6.8 million KL and diesel fuel Dexlite rose from 80 thousand KL to 250 thousand KL. Sales of non-fuel products also increased. Until last June, Pertamina posted a 6.23 million metric ton sales of liquid gas / LPG, up 6.3 percent from 5.86 million metric tons in the same period last year. Meanwhile, sales of petrochemical products rose from 1.31 million KL to 1.37 million KL.
Pertamina's upstream performance is also better. Oil and gas production until the end of June was recorded at 692 thousand barrels of oil equivalent per day / boepd or up 8% from the same period last year which amounted to 640 thousand boepd. In detail, oil production rose 12% from 305 thousand bpd to 343 thousand bpd and gas rose 4% from 1,938 million cubic feet per day / mmscfd to 2,022 mmscfd.
"For oil production forecast (until the end of the year) can be par with RKAP that is 334 thousand bpd. For gas will be lower 1% of the target of 2,080 mmscfd, "said Pertamina Upstream Director Syamsu Alam.
Nevertheless, this year's net profit target is projected not to be as high as the target. Because the current price of fuel is formed with the assumption of Indonesian Crude Price / ICP of US $ 30 per barrel or Brent US $ 40 per barrel. In fact, the current price of Brent crude has reached US $ 50 per barrel.
Look at the end of the year from the target [net profit] in RKAP US $ 3.04 billion, projected [reached] US $ 2.3 billion assuming oil price unchanged and efficiency 20% in second half but this all depends on oil price, " Said Arief.
Inhibited Taxes
Meanwhile, related to the acquisition of oil and gas block, Syamsu Alam said that the company canceled two oil and gas blocks offered by Rosneft Oil Company, The Northern Tip of Chayvo Field and Russkoye Field.
In the preliminary deal, at The Northern Tip of Chayvo Field, Pertamina can take up to 20% stake, while at Russkoye Square up 37.5%. Pertamina is targeting to get 35 thousand bpd of oil and oil and gas reserves of 200 million barrels oil equivalent from Russia. According to him, the acquisition is no longer economical because of taxes imposed by the government base of this acquisition.
"So we say that for this [oil and gas block], we may have difficulties in closing. So please if they want to do business with others, "he said.
He said, to take the oil and gas blocks in Russia, Pertamina must pay taxes to the country. The magnitude of this tax is large enough that the acquisition of two oil and gas blocks in Russia is no longer enter the economy.
On the other hand, there are other companies that compete with Pertamina in bidding two Rosneft oil and gas blocks. It has already discussed this tax issue with the government.
"But they [Rosneft] can not wait, because these two assets have been offered by others," Saymsu Alam said.
However, instead of these two blocks, it will still look for other oil and gas blocks in Russia. However, he admitted that no oil and gas fields have been identified. It will discuss with Rosneft to find oil and gas field where Pertamina can enter.
For the acquisition of oil and gas blocks in Iran, Syamsu Alam can not be sure it will be realized this year. Because the Iranian government itself has not formally released the form of contract oil and gas (Iranian Petroleum Contract / IPC). Moreover, it is still in discussion of technical aspects with the Iranian side.
IN INDONESIA
Pertamina Cetak Laba Bersih US$ 1,4 Miliar
PT Pertamina membukukan pendapatan 19% lebih tinggi pada semester pertama tahun ini dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yakni US$ 20,5 miliar. Namun, karena tergerus oleh harga minyak mentah yang terus naik dan harga bahan bakar minyak (BBM) ditahan tetap, laba perseroan justru terkoreksi 24% menjadi US$ 1,4 miliar.
Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik mengatakan, rata-rata harga minyak mentah pada enam bulan pertama ini dibandingkan periode yang sama tahun lalu, telah naik hingga 30% dari US$ 36,16 per barel menjadi US$ US$ 48,9 per barel. Namun, harga BBM untuk yang bersubsidi dan penugasan ditahan tetap sampai September lalu. Padahal harga BBM saat ini dibentuk dengan patokan harga minyak mentah jauh di bawah harga saat ini.
“Kondisi ini menekan nett income (laba bersih) dan EBITDA. Nett income tertekan 30% dari US$ 1,83 miliar menjadi US$ 1,4 miliar. EBITDA dari US$ 4,1 miliar menjadi US$ 3,16 miliar,” kata dia dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (16/8).
Padahal kinerja perseroan sebenarnya membaik. Hal ini terlihat dari pendapatan perusahaan yang justru naik 19%, yakni dari US$ 17,2 miliar pada semester I-2016 menjadi US$ 20,5 miliar pada semester I-2017. Tidak hanya itu, realisasi investasi yang dikucurkan Pertamina juga meningkat dari US$ 810 juta menjadi US$ 1,49 miliar.
Menurut Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman, pendapatan perusahaan naik didorong oleh kenaikan konsumsi BBM. Selain itu kenaikan harga BBM nonsubsidi juga menggenjot pendapatan. Sehingga, dari sisi arus kas, keuangan Pertamina pada semester pertama ini sudah lebih dari dari tiga bulan pertama tahun ini.
“Posisi di kuartal pertama, operating cash flow masih negatif, sekarang sudah positif. Tetapi tetap harus dibalance dengan pembayaran utang jangka pendek, sehingga kondisi sekarang bisa dipertahankan atau bahkan membaik,” ujarnya.
Penjualan BBM, kata Direktur Pemasaran Pertamina Muchamad Iskandar, naik 4% jika dibandingkan degan semester pertama 2016, yakni dari 31,47 juta kiloliter (KL) menjadi 32,6 juta kiloliter (KL). Konsumsi Premium memang turun 34% dari semester pertama tahun lalu 5,78 juta KL menjadi 3,82 juta KL. Tetapi konsumsi bensin jenis Pertalite, Pertamax Turbo, dan Pertama justru naik 25,54% dari 9,75 juta KL menjadi 12,24 KL.
Sementara untuk solar, konsumsi solar subsidi naik dari 6,51 juta KL menjadi 6,8 juta KL dan solar Dexlite naik dari 80 ribu KL menjadi 250 ribu KL. Penjualan produk non-BBM juga meningkat. Sampai akhir Juni lalu, Pertamina membukukan penjualan gas minyak cair/LPG sebesar 6,23 juta metrik ton, naik 6,3% dari periode yang sama tahun lalu 5,86 juta metrik ton. Sementara penjualan produk petrokimia naik dari 1,31 juta KL menjadi 1,37 juta KL.
Kinerja hulu Pertamina juga lebih baik. Produksi migas sampai akhir Juni lalu tercatat sebesar 692 ribu barel setara minyak per hari/boepd atau naik 8% dari periode yang sama tahun lalu yang sebesar 640 ribu boepd. Rincinya, produksi minyak naik 12% dari 305 ribu bph menjadi 343 ribu bph dan gas naik 4% dari 1.938 juta kaki kubik per hari/mmscfd menjadi 2.022 mmscfd.
“Untuk produksi minyak forecast (sampai akhir tahun) bisa par dengan RKAP yaitu 334 ribu bph. Untuk gas akan lebih rendah 1% dari target 2.080 mmscfd,” kata Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam.
Meski demikian, target laba bersih tahun ini diproyeksikan tidak akan setinggi target. Pasalnya harga BBM saat ini dibentuk dengan asumsi Indonesian Crude Price/ ICP sebesar US$ 30 per barel atau Brent US$ 40 per barel. Padahal, saat ini harga minyak mentah Brent sudah mencapai US$ 50 per barel.
Lihat di akhir tahun dari target [laba bersih] di RKAP US$ 3,04 miliar, proyeksi [tercapai] US$ 2,3 miliar dengan asumsi harga minyak tidak berubah dan efisiensi 20% pada second half tetapi ini semua tergantung harga minyak,” kata Arief.
Terhambat Pajak
Sementara itu, terkait akuisisi blok migas, Syamsu Alam menyatakan perseroan batal mengambil dua blok migas yang ditawarkan oleh Rosneft Oil Company, yakni Lapangan The Northern Tip of Chayvo dan Lapangan Russkoye.
Dalam kesepakatan awal, di Lapangan The Northern Tip of Chayvo, Pertamina bisa mengambil saham sampai 20%, sementara di Lapangan Russkoye sampai 37,5%. Pertamina menargetkan bisa mendapat minyak 35 ribu bph dan cadangan migas 200 juta barel setara minyak dari Rusia. Menurutnya, akuisisi tidak lagi ekonomis dilakukan karena pajak yang dikenakan oleh pemerintah alas akuisisi ini.
“Jadi kami sampaikan bahwa untuk [blok migas] yang ini, mungkin kami kesulitan melakukan closing. Sehingga silahkan kalau mereka mau melakukan bisnis dengan yang lain,” kata dia.
Diceritakannya, untuk mengambil blok migas di Rusia ini, Pertamina harus membayar pajak ke negara. Besaran pajak ini cukup besar sehingga akuisisi dua blok migas di Rusia itu tidak lagi masuk keekonomiannya.
Di sisi lain, ada perusahaan lain yang menjadi pesaing Pertamina dalam menawar dua blok migas milik Rosneft. Pihaknya sudah mendiskusikan masalah pajak ini dengan pemerintah.
"Tetapi mereka [Rosneft] tidak bisa menunggu, karena aset yang dua ini sudah ditawar orang lain,” Kata Saymsu Alam.
Meski demikian, sebagai ganti dua blok ini, pihaknya masih akan mencari blok migas lain di Rusia. Namun, diakuinya belum ada lapangan migas yang diidentifikasi. Pihaknya akan diskusi dengan Rosneft untuk mencari lapangan migas di mana Pertamina bisa masuk.
Untuk akuisisi blok migas di Iran, Syamsu Alam tidak dapat memastikan akan dapat direalisasikan pada tahun ini. Pasalnya, Pemerintah Iran sendiri belum secara resmi merilis bentuk kontrak migasnya (Iranian Petroleum Contract/IPC). Apalagi, pihaknya masih dalain diskusi aspek teknis dengan pihak Iran.
Investor Daily, Page-9, Friday, August 18, 2017
No comments:
Post a Comment