google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 Price Heater Next Year - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

Tuesday, August 15, 2017

Price Heater Next Year



Oil prices are expected to heat up in the range of US $ 55-US $ 60 per barrel next year in line with production management efforts from major producing countries, such as Saudi Arabia and the United States.

On Monday afternoon trading at 17.17 GMT, WTI oil prices contracted September 2017 down 0.23 points or 0.47% to US $ 48.59 per barrel. Brent oil for October 2017 contract slowed 0.30 points, or 0.58 percent, to $ 51.80 a barrel.

Senior analyst Mirae Asset Sekuritas Andy Wibowo Gunawan said, the decline in oil prices tend to be limited in the short term. Then, in 2018 the price is expected to heat up to the range of US $ 55-US $ 60 per barrel.

There are a number of factors that support the strengthening of oil prices. First, the implementation of production cuts between the Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) and other oil producers amounted to 1.8 million barrels per day (bpd) in January 2017-March 2018.

Secondly, Saudi Arabia as the world's top exporter will seek to balance the oil market, as its economic growth is strongly correlated with global oil prices. One solution is to limit export volume to 6.6 million bpd next month, from 8.5 million bpd by 2016.
Third, the United States will also manage oil production to boost its economy. In 2016, the US produces 12.4 million bpd of oil and contributes to 13.4% of global supply.

"Key players in the global oil market, Saudi Arabia and the US, will manage supply to support its economic growth. These factors make oil prices heating up next year, "he said in research, Monday (14/8).

Fourth, increasing geopolitical tensions between countries in East Tengan and US. Two major events that have taken place are the launch of a US missile into the Syrian airstrip on April 6, 2017 and a boycott of Qatar in July 2017. This geopolitical factor could affect global supply.

TEND TO DECLINE

Andy said, oil prices tend to decline in the last three years. In 2014, prices were above US $ 100 per barrel, then down to US $ 30.4 per barrel in early 2016.

The decline in prices is inversely proportional to OPEC's production volume that increased from 36.6 million bpd in 2014 to 39.4 million bpd by 2016. The effort was made to counter the increasing supply of shale oil from the US.

OPEC agreed to cut supply volumes by 1.2 million bpd to 32.5 million bpd in January 2017-March 2018. This agreement includes other producing countries willing to cut production by 600,000 bpd. However, the agreement between OPEC and nonOPEC is less significant.

"Historically popular OPEC has often violated their production restriction agreements, thereby reducing organizational integrity and their influence on global oil prices," he said.

OPEC actually has no other choice to spur the economy through rising oil prices. As an illustration, the Member's Gross Domestic Product (GDP) in 2012 reached US $ 3.6 trillion when oil prices reached an average of US $ 91.9 per barrel.

In 2016, GDP declined to US $ 2.9 trillion with average oil price of US $ 53.7 per barrel. The contribution of oil to GDP can motivate OPEC to implement its deal.

Saudi Arabia is thought to be the most insistent member of OPEC and contributes the most in supply reductions. Because 85% of the country's revenues come from oil, and 50% PBD is driven by these commodities.

The US will also manage its oil supply to secure long-term economic growth. They keep the oil price above the production cost of US $ 36 per barrel. The figure is well above Saudi Arabia's production cost of US $ 10 per barrel, but below Brazil for US $ 49 per barrel and UK worth US $ 52 per barrel.

Meanwhile, JP Morgan predicts oil prices will not move too far because the global market is still experiencing a surplus. In the short run, prices remain fluctuating in the range of US $ 45-US $ 50 per barrel. By 2018, there are various assumptions that oil prices are likely to heat within the range of Us $ 45-US $ 55 per barrel due to OPEC and non-OPEC efforts in balancing the market. However, global supply volumes are still rising, while demand is growing moderately.

IN INDONESIA

Harga Memanas Tahun Depan


Harga minyak diperkirakan memanas di kisaran US$ 55-US$ 60 per barel pada tahun depan seiring dengan upaya pengelolaan produksi dari sejumlah negara produsen utama, seperti Arab Saudi dan Amerika Serikat.

Pada perdagangan Senin (14/8) pukul 17.17 WIB, harga minyak WTI kontrak September 2017 turun 0,23 poin atau 0,47% menuju US$ 48,59 per barel. Adapun minyak Brent kontrak Oktober 2017 melambat 0,30 poin atau 0,58% menjadi US$ 51,80 per barel.

Analis senior Mirae Aset Sekuritas Andy Wibowo Gunawan menuturkan, penurunan harga minyak cenderung terbatas dalam jangka pendek. Kemudian, pada 2018 harga diperkirakan memanas menuju kisaran US$ 55-US$ 60 per barel.

Ada sejumlah faktor yang menopang penguatan harga minyak. Pertama, pelaksanaan perjanjian pemangkasan produksi antara Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dan produsen minyak lainnya sebesar 1,8 juta barel per hari (bph) pada Januari 2017-Maret 2018.

Kedua, Arab Saudi sebagai eksportir utama dunia akan berupaya menyeimbangkan pasar minyak, karena pertumbuhan ekonominya berkorelasi kuat dengan harga minyak global. Salah satu solusi yang ditempuh ialah membatasi volume ekspor menjadi 6,6 juta bph pada bulan depan, dari 8,5 juta bph pada 2016.

Ketiga, Amerika Serikat juga akan mengelola produksi minyak untuk menggenjot perekonomiannya. Pada 2016, AS menghasilkan minyak sejumlah 12,4 juta bph dan berkontribusi terhadap 13,4% suplai global.

“Pemain kunci di pasar minyak global, yakni Arab Saudi dan AS, akan mengelola pasokan untuk mendukung pertumbuhan ekonominya. Faktor tersebut membuat harga minyak memanas tahun depan,” tuturnya dalam riset, Senin (14/8).

Keempat, meningkatnya ketegangan geopolitik antara negara-negara di Timur Tengan dan AS. Dua kejadian besar yang telah berlangsung ialah peluncuran rudal AS ke pangkasan udara Suriah pada 6 April 2017 dan boikot terhadap Qatar pada Juli 2017. Faktor geopolitk ini bisa memengaruhi pasokan global.

CENDERUNG MENURUN

Andy menyampaikan, harga minyak cenderung menurun dalam tiga tahun terakhir. Pada 2014, harga sempat berada di atas US$ 100 per barel, kemudian turun hingga US$30,4 per barel pada awal 2016.

Menurunnya harga berbanding terbalik dengan volume produksi OPEC yang meningkat dari 36,6 juta bph pada 2014 menjadi 39,4 juta bph pada 2016. Upaya tersebut dilakukan untuk melawan peningkatan suplai minyak shale dari AS.

OPEC kemudian sepakat memangkas volume suplai sebesar 1,2 juta bph menuju 32,5 juta bph pada Januari 2017-Maret 2018. Perjanjian ini mengikutsertakan negara produsen lainnya yang bersedia mengurangi produksi sejumlah 600.000 bph. Namun demikian, kesepakatan antara OPEC dan nonOPEC kurang berdampak signifikan.

“Secara historis OPEC terkenal kerap melanggar perjanjian pembatasan produksi mereka, sehingga mengurangi integritas organisasi dan pengaruh mereka terhadap harga minyak global," ujarnya.

OPEC sebenarnya tidak punya pilihan lain untuk memacu perekonomian melalui peningkatan harga minyak. Sebagai gambaran, Produk Domestik Bruto (PDB) anggota pada 2012 mencapai US$ 3,6 triliun ketika harga minyak mencapai rata-rata US$ 91,9 per barel.

Adapun pada 2016, angka PDB merosot ke US$ 2,9 triliun dengan rerata harga minyak US$ 53,7 per barel. Kontribusi minyak terhadap PDB dapat memotivasi OPEC menjalankan kesepakatannya.

Arab Saudi diperkirakan menjadi anggota OPEC yang paling ngotot dan berkontribusi paling besar dalam pengurangan suplai. Pasalnya, 85 % pendapatan negara berasal dari minyak, dan 50% PBD didorong oleh komoditas tersebut.

AS juga akan mengelola pasokan minyaknya untuk mengamankan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Mereka menjaga harga minyak di atas biaya produksi sebesar US$ 36 per barel. Angka tersebut jauh di atas biaya produksi Arab Saudi sebesar US$ 10 per barel, tetapi di bawah Brasil seharga US$ 49 per barel dan Inggris senilai US$ 52 per barel.

Sementara itu, JP Morgan memprediksi harga minyak tidak akan bergerak terlalu jauh karena pasar global masih mengalami surplus. Dalam jangka pendek, harga tetap berfluktuasi di kisaran US$ 45-US$ 50 per barel. Pada 2018, ada beragam asumsi yang menyatakan harga minyak berpeluang memanas dalam rentang Us$45-US$ 55 per barel karena upaya OPEC dan non-OPEC dalam menyeimbangkan pasar. Namun, volume pasokan global masih meningkat, sedangkan permintaan bertumbuh moderat. 

Bisnis Indonesia, Page-20, Tuesday, August 15, 2017

No comments:

Post a Comment

POP UNDER

Iklan Tengah Artikel 1

NATIVE ASYNC

Iklan Bawah Artikel