In October 2015, the government issued a package of economic policies volume III with a focus on improving the competitiveness of industrial gas users through efforts to reduce gas prices.
The package of economic policy continued until the 16th with the focus of the acceleration of the business process. The investment that is expected to be a sign of economic growth can not be quickly perceived its effect due to delayed licensing process and regulatory constraints that make investment commitments can not be realized.
In fact, several state visits conducted by President Joko Widodo to Minister of Energy and Mineral Resources Ignatius Jonan who visited China, Japan, India and the United States.
In the package of policies, the government targets a special taskforce that monitors the acceleration of execution to start working since the Presidential Regulation is issued. The ESDM Ministry is included in the main task force responsible for supervising, monitoring, resolving barriers to business licensing and improving the services of all licenses in its sector.
In addition to the accelerated implementation of licensing, the completion of regulatory reforms and their harmonization is targeted to be completed by the end of November 2017. In the upstream oil and gas sector, the Indonesian Petroleum Association (IPA) often underlines the often-changing regulatory issues and the long-term licensing process.
In the material of Bimasena Energy Dialogue in June 2017, unattractive investment in Indonesia was caused by legal uncertainty, weak cross-sector coordination as well as between central and local government, licensing also unattractive fiscal provisions offered.
From the meeting, it was proposed that the government ensure the application of more attractive fiscal provisions and support the addition of production and the increase of oil and gas exploration activities. In addition, the need for internationally proven data support in policy making, improving cross-sectoral coordination to reduce regulatory disputes and engage stakeholders in policy-making processes.
In other proposal materials, upstream oil and gas business also complained two main things that become obstacles. First, the regulatory changes at the time of the road without a consultation process with the business actors touched on the issue of respect for the contract (sanctity of contract). Second, the implementation of gross split contracts that become drastic policy changes.
Thus, when other countries such as Vietnam, Malaysia, Singapore and Papua New Guinea remain attractive for investment, it does not happen for Indonesia. Business actors suggested that the government establish a reference from neighboring countries and involve business actors in the process of setting new policies.
Oil and Gas Law
About the recommended regulations to be revised, Energy Observer from Reforminer Institute Komaidi Notonegoro said that the Oil and Gas Law is the main regulation that should be a concern to improve the upstream oil and gas investment climate.
The reason is that the Oil and Gas Law will become the main beleid which will become the backbone of oil and gas sector business activities as it will become a reference for other regulations under it such as Government Regulation and Ministerial Regulation.
Since several articles in Law no. 22/2001 on Oil and Natural Gas was canceled by the Constitutional Court and the issuance of Law no. 79/2010 on Income Taxes and Refundable Operating Costs has been issued, these two things have never escaped the list of business actors' suggestions.
After 7 years, Law no. 79/2010 was finally revised through Regulation no. 27/2017, but it turns out that conditions have not been able to bring significant changes to the investment climate.
The government through several ministries did make remedial efforts that seemed insufficient because the proposed implementation of assume and discharge or exemption from the imposition of additional taxes could not be realized.
As an illustration, in the first half of 2017, upstream oil and gas investment of 29 percent or US $ 3.98 billion from the target of US $ 13.8 billion. When compared with the realization of 2016, oil and gas investment achievement this year is greater percentage, but smaller its actual achievement by the difference of US $ 1.67 billion.
In the first half of 2016, the investment reached US $ 5.65 billion, down 27% from the same period last year of US $ 7.74 billion. In 2016, there has not even been a new oil and gas cooperation contract signed. In fact, the government offers 15 areas of conventional and non-conventional oil and gas work.
"The main thing is the Oil and Gas Law 22/2001."
Meanwhile, the factor of business process was recognized increasingly complex because of Law no. 23/2014 on the Regional Government which implements the principle of autonomy. According to him, the issue of permits that are completed at the central level has not been a guarantee of completion to the level of local government.
SKK Migas notes, in some areas, the time to produce a well or field or lead time can be so long. As in East Java for offshore areas takes over 15 years. Riau takes 15 years, off the coast of East Kalimantan 10 years, while in the mainland of Maluku and Kalimantan takes about 7 years, The reason, each region has a different administration that makes the process longer.
IPA Executive Director Marjolijn Wajong said it would hold a meeting with the government following up on the 16th Economic Policy Package. He hoped that this opportunity could be a moment of improvement in the investment climate of upstream oil and gas sector.
It is hoped that the government can remain consistent to raise national competitiveness so that it can become an investment destination. And WoodMackenzie's study conducted in October 2016, Indonesia is ranked 137th out of 148 in terms of fiscal attractiveness globally.
The government needs to resolve the regulatory and licensing issues to resolve the problem so that the rising investment outcomes can be seen immediately. The passion of oil and gas block auctions marked by the number of new contracts signed as well as increased production and exploration activities are expected to be achieved.
IN INDONESIA
Momentum Perbaikan Regulasi Sektor Hulu
Pada Oktober 2015, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi jilid III dengan fokus meningkatkan daya saing industri pengguna gas melalui upaya penurunan harga gas. Paket kebijakan ekonomi pun berlanjut hingga ke-16 dengan fokus percepatan proses berusaha.
Investasi yang diharapkan menjadi pertanda pertumbuhan ekonomi ternyata tidak bisa cepat dirasakan efeknya karena terhambat proses perizinan dan kendala regulasi yang membuat komitmen investasi tidak bisa direalisasikan. Padahal, beberapa kunjungan kenegaraan dilakukan Presiden Joko Widodo hingga Menteri ESDM Ignasius Jonan yang mengunjungi China, Jepang, India juga Amerika Serikat.
Dalam paket kebijakan tersebut, pemerintah menargetkan agar satuan tugas (satgas) khusus yang memonitor percepatan pelaksanaan berusaha mulai bekerja sejak peraturan Presiden diterbitkan.
Kementerian ESDM masuk dalam satgas utama yang bertanggung jawab melakukan pengawalan, pemantauan, penyelesaian hambatan atas perizinan berusaha serta peningkatan pelayanan seluruh perizinan di sektornya.
Selain percepatan pelaksanaan perizinan, penyelesaian reformasi peraturan beserta harmonisasinya ditargetkan selesai pada akhir November 2017. Di sektor hulu migas, Indonesian Petroleum Association (IPA) sering kali menggaris bawahi masalah regulasi yang sering berubah dan perizinan yang begitu panjang prosesnya.
Dalam materi Bimasena Energy Dialogue pada Juni 2017, tidak menariknya investasi di Indonesia disebabkan masalah ketidakpastian hukum, koordinasi lintas sektor yang masih lemah begitu pula antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, perizinan juga tidak menariknya ketentuan fiskal yang ditawarkan.
Dari pertemuan itu, diusulkan agar pemenntah menjamin penerapan ketentuan fiskal yang lebih menarik dan mendukung penambahan produksi serta peningkatan kegiatan eksplorasi migas. Selain itu, perlunya dukungan data yang telah terbukti secara internasional dalam membuat kebijakan, meningkatkan koordinasi lintas sektor untuk menekan pertentangan regulasi dan melibatkan pihak terkait dalam proses pembuatan kebijakan.
Dalam materi usulan lainnya, usaha hulu migas pun mengeluhkan dua hal utama yang menjadi kendala. Pertama, perubahan regulasi di saat jalan tanpa proses konsultasi dengan pelaku usaha sehingga menyinggung isu tentang menghormati kontrak (sanctity of contract). Kedua, penerapan kontrak bagi hasil kotor (gross split) yang menjadi perubahan kebijakan yang drastis.
Dengan demikian, ketika negara lain seperti Vietnam, Malaysia, Singapura, dan Papua Nugini tetap menarik untuk investasi, hal itu tidak terjadi bagi Indonesia. Pelaku usaha menyarankan agar pemerintah menetapkan acuan dari negara tetangga dan melibatkan pelaku usaha dalam proses penetapan kebijakan baru.
Undang-Undang MIGAS
Tentang regulasi yang disarankan untuk direvisi, Pengamat Energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan bahwa Undang-Undang Migas menjadi regulasi utama yang harus menjadi perhatian untuk bisa memperbaiki iklim investasi hulu migas.
Alasannya, Undang-Undang Migas akan menjadi beleid utama yang akan menjadi tulang punggung kegiatan usaha sektor migas karena akan menjadi referensi pembuatan regulasi lain di bawahnya seperti Peraturan Pemerintah dan peraturan menteri.
Sejak beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dibatalkan Mahkamah Konstitusi dan terbitnya Undang-Undang No. 79/2010 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan Dan Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan sudah diterbitkan, dua hal ini tidak pernah luput dari daftar saran pelaku usaha.
Setelah 7 tahun, Undang-Undang No. 79/2010 akhirnya direvisi melalui Peraturan No. 27/2017, tetapi ternyata kondisi itu belum bisa membawa perubahan signifikan terhadap iklim investasi.
Pemerintah melalui beberapa kementeriannya memang melakukan upaya perbaikan yang sepertinya belum cukup karena usulan penerapan assume and discharge atau pembebasan dari pengenaan pajak tambahan tidak bisa direalisasikan.
Sebagai gambaran, pada pertengahan tahun pertama 2017, investasi hulu migas 29% atau US$ 3,98 miliar dari target US$ 13,8 miliar. Jika dibandingkan dengan realisasi 2016, capaian investasi migas pada tahun ini lebih besar persentasenya, tetapi lebih kecil capaian aktualnya dengan selisih US$ 1,67 miliar.
Pada paruh pertama 2016, investasi yang tercapai yakni US$ 5,65 miliar atau turun 27% dari realisasi periode yang sama tahun lalu US$ 7,74 miliar. Pada 2016, bahkan belum ada kontrak kerja sama pengelolaan blok migas baru yang diteken. Padahal, pemerintah menawarkan 15 wilayah kerja migas konvensional dan non-konvensional.
“Yang paling utama memang Undang-Undang Migas 22/2001.”
Sementara itu, faktor proses berbisnis pun diakui semakin kompleks karena Undang-Undang No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah yang memberlakukan prinsip otonomi. Menurutnya, permasalahan izin yang selesai di tingkat pusat belum menjadi jaminan penyelesaian hingga tingkat pemerintah daerah.
SKK Migas mencatat, di beberapa daerah, waktu untuk memproduksikan sumur atau lapangan atau lead time bisa begitu panjang. Seperti di Jawa Timur untuk wilayah lepas pantai membutuhkan waktu di atas 15 tahun. Riau membutuhkan 15 tahun, di lepas pantai Kalimantan Timur 10 tahun, sedangkan di daratan Maluku dan Kalimantan butuh sekitar 7 tahun, Alasannya, masing-masing daerah memiliki administrasi yang berbeda sehingga membuat proses semakin panjang.
Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan pertemuan dengan pemerintah menindaklanjuti Paket Kebijakan Ekonomi ke-16. Dia berharap agar kesempatan ini bisa menjadi momen perbaikan iklim investasi sektor hulu migas.
Besar harapan bahwa pemerintah bisa tetap konsisten untuk menaikkan daya saing nasional sehingga bisa menjadi tujuan penanaman modal. Dan studi WoodMackenzie yang dilakukan pada Oktober 2016, Indonesia berada di urutan 137 dari 148 dalam hal daya tarik fiskal secara global.
Pemerintah perlu menyelesaikan masalah regulasi dan perizinan untuk bisa menyelesaikan masalah sehingga naiknya capaian investasi bisa segera terlihat. Bergairahnya lelang blok migas yang ditandai dengan banyaknya kontrak baru yang diteken juga naiknya kegiatan produksi dan eksplorasi diharapkan bisa tercapai.
Bisnis Indonesia, Page-28, Monday, Sept 18, 2017
No comments:
Post a Comment