Tensions on the Korean peninsula will not break into an armed conflict any time soon, but analysts have foreseen the impact on economic activity, one of which is oil and gas supplies. Last Tuesday, North Korea launched a 2,700-kilometer ballistic missile and crossed over Japan.
The move signaled "early" military operations in the Pacific. Looking at North Korea's track record, it can be estimated that the country will still launch the next missiles.
North Korea's neighboring countries, China, South Korea and Japan, are the largest importers of energy. The country's third crude oil imports were 13.6 million barrels per day (34 percent of world trade), liquefied natural gas (LNG) 143 million tons (55 percent), and 551 million tons (46 percent) of coal. Everything is transported by sea so it is strongly influenced by the security situation of the region.
If the military conflict breaks out, according to Wood Mackenzie Product Suite Director Chris Graham, China is best equipped to take advantage of domestic coal and gas resources reserves. The opposite condition occurs in Japan and South Korea that choose not to store large amounts of oil and gas reserves.
The deterioration of the region's security situation is not impossible to encourage Japan to speed up the re-development of nuclear power plants which temporarily halted after a nuclear reactor leak in Fukushima after the tsunami-causing earthquake in Sana.
In the worst situation, China will use its oil strategic reserves. It became the first use since the reserves were built 3-4 years. Japan and Korea will use up enough domestic reserves for 90 days as an obligation of members of the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).
China does have oil production domestically, but 58 percent risk closing if war broke out. About 1.5 million barrels of crude oil per day of Chinese production from a total of 3.95 million barrels comes from the northern Chinese basin.
The nearest distance of the region's oil fields from the border with North Korea is only 200 km. Another production center that produces 0.8 million barrels per day, the Songliao Basin, is just 400 km from the border. The global oil market will be greatly affected if war broke out on the Korean Peninsula involving China, Japan and South Korea.
Because, 65 percent of the oil and gas processing industry in Asia are in the three countries. Efforts to accumulate reserves in affected countries and increasing logistics costs will raise prices for the short term.
On the other hand, Nomura's financial consultants lowered the chances of war on the Korean Peninsula to 35 percent today from the previous 50 percent. Tension increases, but keeps it under control. The reason, three signals that indicate the escalation of open war has not been seen.
These three signals are the orders of the United States Government to ask its citizens to leave South Korea, increase US military forces around the Korean Peninsula as in 1994, and increase the US defense preparedness from three to four.
Indonesia is relatively far away from the Korean Peninsula. Indonesia's crude oil is also not through the waters that become conflict areas. However, Indonesia exports oil, gas and coal to China, Japan and South Korea which will be disrupted if conflict broke out.
Prices may increase, but the price of Indonesian petroleum imports will also rise. Tensions on the Korean Peninsula should be a reminder of the importance of building energy security in the country. With the depletion of Indonesia's petroleum reserves for just 11 more years, the development of renewable energy based on domestic resources, can not help it, must continue to be pursued from now on.
IN INDONESIA
Dampak Rudal Korea Utara
Ketegangan di Semenanjung Korea belum akan pecah menjadi konflik bersenjata dalam waktu dekat, tetapi analis sudah memperkirakan dampaknya terhadap kegiatan ekonomi, salah satunya pasokan minyak dan gas bumi. Selasa pekan lalu, Korea Utara meluncurkan rudal balistik yang mencapai jarak 2.700 kilometer dan melintas di atas Jepang.
Langkah itu memberi sinyal ”awal” operasi militer di Pasifik. Melihat rekam jejak Korea Utara, dapat diperkirakan negara itu masih akan meluncurkan rudal-rudal berikutnya.
Negara tetangga Korea Utara, yaitu China, Korea Selatan, dan Jepang, adalah pengimpor terbesar energi. Impor minyak bumi ketiga negara itu 13,6 juta barrel per hari (34 persen perdagangan dunia), gas alam cair (LNG) 143 juta ton (55 persen), dan batubara 551 juta ton (46 persen). Semuanya diangkut melalui laut sehingga sangat dipengaruhi situasi keamanan kawasan.
Jika konflik militer pecah, menurut Product Suite Director Wood Mackenzie Chris Graham, China yang paling siap memanfaatkan cadangan sumber daya domestik batubara dan gas. Kondisi sebaliknya terjadi pada Jepang dan Korea Selatan yang memilih tidak menyimpan cadangan migas dalam jumlah besar.
Memburuknya situasi keamanan kawasan bukan tidak mungkin mendorong Jepang mempercepat pengembangan kembali pembangkit listrik tenaga nuklir yang sementara dihentikan setelah kebocoran reaktor nuklir di Fukushima setelah gempa bumi yang menyebabkan tsunami di Sana.
Dalam situasi terburuk, China akan memakai cadangan strategis minyaknya. Ini menjadi penggunaan pertama sejak cadangan dibangun 3- 4 tahun. Jepang dan Korea akan memakai cadangan dalam negeri yang cukup untuk 90 hari sebagai kewajiban anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
China memang memiliki produksi minyak di dalam negeri, tetapi 58 persen menghadapi risiko tutup jika pecah perang. Sekitar 1,5 juta barel minyak mentah per hari produksi China dari total 3,95 juta barrel berasal dari cekungan China utara.
Jarak terdekat ladang minyak kawasan itu dari perbatasan dengan Korea Utara hanya 200 km. Pusat produksi lain yang menghasilkan 0.8 juta barrel per hari, Cekungan Songliao, berjarak hanya 400 km dari perbatasan. Pasar minyak global pasti akan sangat terpengaruh jika pecah perang di Semenanjung Korea yang melibatkan China, Jepang, dan Korea Selatan.
Pasalnya, 65 persen industri pengolah migas Asia berada di tiga negara itu. Upaya menumpuk cadangan di negara-negara yang terdampak dan meningkatnya ongkos logistik akan menaikkan harga untuk jangka pendek
Di sisi lain, konsultan keuangan Nomura menurunkan peluang terjadi perang di Semenanjung Korea menjadi 35 persen saat ini dari sebelumnya 50 persen. Ketegangan meningkat, tetapi tetap terkontrol. Alasannya, tiga sinyal yang menunjukkan eskalasi menjadi perang terbuka belum tampak.
Ketiga sinyal itu adalah perintah Pemerintah Amerika Serikat meminta warga negaranya meninggalkan Korea Selatan, peningkatan kekuatan militer AS di sekitar Semenanjung Korea seperti pada 1994, dan peningkatan kesiapan pertahanan AS dari aras tiga menjadi empat.
Indonesia berada relatif jauh dari Semenanjung Korea. Minyak mentah Indonesia juga tidak melalui perairan yang menjadi wilayah konflik. Akan tetapi, Indonesia mengekspor minyak, gas dan batubara ke China, Jepang dan Korea Selatan yang akan ikut terganggu jika pecah konflik.
Harga boleh menjadi meningkat, tetapi harga impor minyak bumi Indonesia juga akan naik. Ketegangan di Semenanjung Korea sebaiknya menjadi pengingat pentingnya membangun ketahanan energi di dalam negeri. Dengan menipisnya cadangan minyak bumi Indonesia hanya untuk 11 tahun lagi, pengembangan energi terbarukan berbasis sumber daya dalam negeri, tidak bisa tidak, harus terus diupayakan dari sekarang.
Kompas, Page-17, Monday, Sept 4, 2017
No comments:
Post a Comment