The Government expands the additional portion of revenues for oil and gas contractors using the gross split share scheme regulated in the Minister of Energy and Mineral Resources Regulation. No. 52/2017 as revision of Regulation of Minister of Energy and Mineral Resources No. 8/2017 on the Gross Split Revenue Contract.
The government has implemented a gross profit sharing scheme since the beginning of this year for new contracts to replace production cost sharing contract (PSC) for cost recovery.
In the revision of the beleid, there are several important points. First, the split through the ministerial discretion is not restricted as in the preceding 5% maximum rule.
Second, the government adds a new component to the profit-sharing variable in the 2% plan of development (PoD) phase. If there is no PoD II, the 0% revenue-sharing variable is different from the previous rule which actually becomes 0.5% reduction for the contractor.
Thirdly, on the availability of supporting infrastructure components, the new frontier variable is increased by two, the new frontier offshore with 2% weight and the new frontier onshore 4%.
Fourth, the component of Hydrogen Sulfide Content Level (H2S), the highest weight that can be obtained at 5% from 1%. Fifth, on the component of the Domestic Content Level (TKDN), new incentives are given 2% additional split to achieve 30% to 50%.
Sixth, the components of the production stage, the weight plus and the beginning, 3% secondary and 5% tertiary, to 6% and 10% respectively.
OIL PRICE
Seventh, progressive components, incentives from oil prices using the fomula (85-ICP) x 0.25. Assuming ICP is US $ 50, the contractor may get an additional profit sharing of 8.75% or higher than the addition in the previous rule which uses a 5% level for oil prices of US $ 40 to US $ 55 per barrel.
Eighth, there is a new component in progressive profit sharing, ie gas price using formula for gas price of US $ 7 per MMBtu weight gain (7-gas price) x2,5. For the gas price of US $ 7 to US $ 10, the weight is 0%. Then, for a price of more than US $ 10 per MMBtu the formula (10-gas price) x 2.5. That is, the government set a normal limit of upstream gas prices of US $ 70-US $ 10 per MMBtu.
Ninth, for the cumulative component of production which previously started with 1 million barrels of oil equivalent (MMboe) with a weight of 5%. now converted to start from 30 MMboe with 10% weight. However, the government did not change the gross profit-sharing share between the government and contractors for oil development by 57:43 and 52:48 for gas. Meanwhile, the final profit sharing does not include the existing tax from upstream oil and gas activities.
Although the revenue-sharing space is expanded, Deputy Minister of Energy and Mineral Resources (ESDM) Arcandra Tahar said that in the most difficult field development scenario, the government still gets a profit share.
In the gross split regulated in the old rules only, Non-Tax State Revenue (PNBP), ie from the share of the government's share in ONWJ Block is only 19% for gas and 265% for oil. However, he did not mention how many of the smallest revenue-sharing opportunities the government has.
"There is no worst case scenario. just try, do not split this merged with this combined with this so that 100% contractor for example, probably not? I do not think so, "he said.
Previously, Executive Director of Indonesia Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong said that to attract government investment need to pay attention to the economic characteristics of each field. According to Marjolijn each field has a character so it has different challenges to be developed. With that in mind, Marjolijn said the government could not set one point that should be applied in other fields.
"Regarding the adequacy to be able to withdraw investment, according to IPA, the revision of the regulation should pay attention to the economic characteristics of each field resulting from the difficulty of the field." There can be no fixed number for all fields, "her said.
Energy Observer from Reforminer Institute Komaidi Notonegoro said the new gross split still can not minimize the risks that must be borne by the contractor. He mentioned that small-capital contractors will not be able to manage the work area because now all development risks are borne entirely by the contractor because no longer apply the operating cost refund scheme as implemented since the 1970s.
IN INDONESIA
Jatah Kontraktor Ditambah
Pemerintah memperluas tambahan porsi pendapatan bagi kontraktor minyak dan gas bumi yang menggunakan skema bagi hasil kotor atau gross split yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM. No. 52/2017 sebagai revisi Peraturan Menteri ESDM No. 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
Pemerintah menerapkan skema bagi hasil kotor sejak awal tahun ini untuk kontrak baru menggantikan kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) pengembalian biaya operasi atau cost recovery.
Dalam revisi beleid itu, terdapat beberapa poin penting. Pertama, ruang penambahan bagi hasil (split) melalui diskresi menteri tidak dibatasi seperti pada aturan sebelumnya yang maksimum 5%.
Kedua, pemerintah menambah komponen baru pada variable bagi hasil dalam fase rencana pengembangan lapangan (plan of development/PoD) II sebesar 3%. Jika tidak ada PoD II, variabel bagi hasil tetap 0% berbeda dengan aturan sebelumnya yang justru menjadi pengurang 0,5% bagi kontraktor.
Ketiga, pada komponen ketersediaan infrastruktur pendukung, variabel new frontier bertambah dua, yakni new frontier offshore dengan bobot 2% dan new frontier onshore 4%.
Keempat, komponen Tingkat Kandungan Hidrogen Sulfida (H2S), bobot tertinggi yang bisa didapat sebesar 5% dari semula 1%. Kelima, pada komponen Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN), insentif baru diberikan 2% tambahan split untuk capaian 30% hingga 50%.
Keenam, komponen tahapan produksi, bobot ditambah dan semula, 3% sekunder dan 5% tersier, menjadi 6% dan 10% secara berturut-turut.
HARGA MINYAK
Ketujuh, komponen progresif, pemberian insentif dari harga minyak menggunakan fomula (85-ICP) x 0,25. Dengan asumsi ICP US$ 50, kontraktor bisa mendapat tambahan bagi hasil 8,75% atau lebih tinggi dari tambahan dalam aturan sebelumnya yang menggunakan jenjang yaitu 5% untuk jenjang harga minyak US$ 40 sampai US$ 55 per barel.
Kedelapan, terdapat komponen baru pada bagi hasil progresif, yaitu harga gas menggunakan formula untuk harga gas US$ 7 per MMBtu bobot yang didapat (7-harga gas) x2,5. Untuk harga gas US$ 7 hingga US$ 10, bobotnya 0%. Kemudian, untuk harga lebih dari US$ 10 per MMBtu formulanya (10-harga gas) x 2,5. Artinya, pemerintah menetapkan batas normal harga gas hulu sebesar US$ 70-US$ 10 per MMBtu.
Kesembilan, untuk komponen kumulatif produksi yang sebelumnya dimulai dengan 1 juta barel setara minyak (MMboe) dengan bobot 5%. kini diubah menjadi mulai dari 30 MMboe dengan bobot 10%. Namun, pemerintah tidak mengubah porsi bagi hasil secara kotor antara pemerintah dan kontraktor untuk pengembangan minyak sebesar 57:43 dan 52:48 untuk gas. Adapun, bagi hasil akhir yang didapatkan belum termasuk pajak yang ada dari kegiatan hulu migas.
Meskipun ruang penambahan bagi hasil diperluas, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan bahwa pada skenario pengembangan lapangan tersulit, pemerintah tetap mendapat bagi hasil.
Pada gross split yang diatur dalam aturan lama saja, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yakni dari porsi bagi hasil pemerintah di Blok ONWJ hanya sebesar 19% untuk gas dan 265% untuk minyak. Namun, dia tidak menyebut berapa peluang bagi hasil paling kecil yang dimiliki pemerintah.
“Tidak ada worst case scenario. coba saja, jangan split ini digabung dengan ini digabung dengan ini sehingga kontraktor 100% misalnya, mungkin tidak? Rasanya tidak," katanya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong mengatakan bahwa untuk bisa menarik investasi pemerintah perlu memperhatikan karakteristik keekonomian masing-masing lapangan. Menurut Marjolijn setiap lapangan memiliki karakter sehingga memiliki tantangan berbeda untuk bisa dikembangkan. Dengan pertimbangan itu, Marjolijn menyebut pemerintah tidak bisa menetapkan satu angka yang harus diterapkan di lapangan lainnya.
"Mengenai kecukupan untuk dapat menarik kembali investasi, menurut IPA, revisi peraturan tersebut harus memperhatikan karakteristik keekonomian masing-masing lapangan yang diakibatkan dari tingkat kesulitan lapangan tersebut. Tidak bisa ditetapkan suatu angka tenentu untuk semua lapangan," ujarnya.
Pengamat Energi dari Reforminer Institut Komaidi Notonegoro mengatakan, gross split baru masih belum bisa meminimalisir resiko yang harus ditanggung kontraktor. Dia menyebut kontraktor bermodal kecil tetap tidak akan bisa mengelola wilayah kerja karena kini seluruh risiko pengembangan ditanggung sepenuhnya oleh kontraktor karena tidak lagi berlaku skema pengembalian biaya operasi seperti yang diterapkan sejak periode 1970-an.
Bisnis Indonesia, Page-32, Monday, Sept 4, 2017
No comments:
Post a Comment