google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 State Revenue from ESDM Optimistic Up - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

MARKET

Friday, September 29, 2017

State Revenue from ESDM Optimistic Up



Lifting oil in September was down compared to the first half of 2017.

The Ministry of Energy and Mineral Resources (ESDM) is optimistic that the state revenue from the ESDM sector will rise this year. Although acknowledged, commodity prices as a driver of the increase in state revenues can not be predicted, because it refers to the market.

ESDM Minister Ignasius Johan explained, there are two major factors that affect the state revenue in the sector of ESDM. First, commodity prices and quantity of production in the ESDM sector. Regarding commodity prices, the government can not control commodity prices because it refers to international prices. According to Jonan, oil and gas commodities as well as minerals and coal (minerba) is a global market price.

"So this can not be controlled," said Jonan in a press conference at the Office of the Ministry of Energy and Mineral Resources Jakarta on Thursday (28/9). He pointed out, by 2015, the price of oil is more than 100 per barrel. The total state revenue can reach about Rp 357 trillion from the EMR sector. However, in 2016, oil prices stay at US $ 38 per barrel, then the state revenue directly reduced.

Second, the problem of production quantity. Jonan explained, the problem of quantity can indeed be controlled by the government. But when production can be improved, the market is not necessarily absorbable. He gives an example, gas production is now quite a lot, so it can not be absorbed by the market.

"The production of gas a lot, sometimes there is in the mind want to sell where? Sometimes the sale of the nature spot, sudden or direct," he said.

In addition to these two factors, the state revenue from the ESDM sector is also from the imposition of tariffs or royalties or profit sharing. With commodity prices still low, the government can not increase tariffs, royalties or high yields. According to Jonan, the government tries to impose tariffs on non-tax revenues or royalties or so-called fair share results so as not to burden the business world.

 "If the business world weighs closing down, job opportunities will decrease," said Jonan.

Even though the condition of the ESDM sector is slowing down, by 2017 there has been an improvement from the state revenue side. Seen from the increase in state revenue in 2017 compared to 2016.

Oil target missed

Until August 2017, oil lifting is only 792,000 barrels per day or barrel oil per day (bopd). Whereas the target, oil lifting this year is set at 815,000 bph. Whereas in the first half of 2017 the average oil lifting 802,000 barrels per day. This means that there is a decrease in production in September 2017. The biggest contributors to oil lifting are Chevron Pacific Indonesia, Mobil Cepu Ltd, Pertamina EP, Total EP Indonesie, PHE ONWJ, Cnooc Ses Ltd, Medco Natuna, Chevron Indonesia, PC Ketapang II Ltd and Vico.

Jonan said, Indonesia's oil lifting is average until now still below 800,000 bpd. Until the end of the year projected will not reach the targel of the Revised State Budget (APBN-P) 2017.

"In my opinion, the oil until the end of the year outlook below 815,000 barrels per day," he said.

For gas, he is still quite optimistic target lifting this year is achieved. Because until August 2017, gas lifting has reached 1.134 million barrels of oil equivalent per day (boepd).

"If the gas above it, maybe 10% -15% above that target 1.115.000 boepd," he said. Contribution of gas production from Total EP Indonesie, BP Tangguh, Pertamina EP, Conoco Philips Grissik Ltd, JOB Pertamina-Medco Medco Natuna.

IN INDONESIA

Pendapatan Negara dari ESDM Optimistis Naik


Lifting minyak pada September ini turun dibandingkan semester pertama 2017.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) optimistis, pendapatan negara dari sektor ESDM akan naik tahun ini. Meski diakui, harga komoditas sebagai pendorong kenaikan pendapatan negara tidak bisa diprediksi, karena mengacu pasar.

Menteri ESDM Ignasius Johan menjelaskan, ada dua faktor besar yang mempengaruhi penerimaan negara di sektor ESDM. Pertama, harga komoditas dan kuantitas produksi di sektor ESDM. Terkait harga komoditas, pemerintah tidak bisa mengendalikan harga komoditas karena mengacu pada harga internasional. Menurut Jonan, komoditas migas serta mineral dan batubara (minerba) itu global market price. 

"Sehingga ini tidak bisa kita kendalikan," ujar Jonan dalam konferensi pers di Kantor Kementerian ESDM Jakarta pada Kamis (28/9). la mencontohkan, pada tahun 2015, harga minyak lebih dari 100 per barel. Total penerimaan negara bisa mencapai sekitar Rp 357 triliun dari sektor ESDM. Namun pada tahun 2016, harga minyak tinggal US$ 38 per barel, maka penerimaan negara langsung mengecil.

Kedua, masalah kuantitas produksi. Jonan memaparkan, masalah kuantitas memang bisa saja dikendalikan oleh pemerintah. Namun ketika produksi bisa ditingkatkan, pasar belum tentu bisa menyerap, la memberi contoh, produksi gas kini cukup banyak, sehingga tidak bisa diserap oleh pasar. 

"Produksi gas banyak, kadang-kadang ada dalam pikiran mau di jual ke mana? Kadang terjadi penjualan sifatnya spot, mendadak atau langsung," ujarnya.

Selain kedua faktor tersebut, penerimaan negara dari sektor ESDM juga dari pengenaan tarif atau royalti atau bagi hasil. Dengan harga komoditas masih rendah, pemerintah tidak bisa meningkatkan pengenaan tarif, royalti atau bagi hasil yang tinggi. Menurut Jonan, pemerintah berusaha mengenakan tarif PNBP atau royalti atau yang disebut bagi hasil fair supaya tidak memberatkan dunia usaha. 

 "Kalau dunia usaha berat nanti tutup, lapangan kerja berkurang," kata Jonan. 

Biarpun kondisi sektor ESDM mengalami perlambatan, pada tahun 2017 sudah terjadi perbaikan dari sisi penerimaan negara. Terlihat dari adanya peningkatan penerimaan negara di tahun 2017 dibandingkan dengan tahun 2016.

Target minyak meleset

Hingga Agustus 2017, lifting minyak hanya 792.000 barel per hari atau barrel oil per day (bopd). Padahal target, lifting minyak tahun ini dipatok sebesar 815.000 bph. Padahal pada semester I-2017 rerata lifting minyak 802.000 barel per hari. Artinya ada penurunan produksi pada September 2017. Kontributor terbesar lifting minyak adalah Chevron Pacific Indonesia, Mobil Cepu Ltd, Pertamina EP, Total EP Indonesie, PHE ONWJ, Cnooc Ses Ltd, Medco Natuna, Chevron Indonesia, PC Ketapang II Ltd dan Vico.

Jonan mengatakan, lifting minyak Indonesia memang rata-rata sampai saat ini masih di bawah 800.000 bph. Hingga akhir tahun diproyeksi tidak akan mencapai targel Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017. 

"Menurut saya, minyak sampai akhir tahun outlook di bawah 815.000 barel per hari," ujarnya.

Untuk gas, ia masih cukup optimistis target lifting pada tahun ini tercapai. Pasalnya hingga Agustus 2017, lifting gas sudah mencapai 1.134.000 barrel oil equivalent per day (boepd). 

"Kalau gas di atas itu, mungkin 10%-15% di atas itu. Targetnya 1.115.000 boepd," katanya. Kontribusi produksi gas dari Total EP Indonesie, BP Tangguh, Pertamina EP, Conoco Philips Grissik Ltd, JOB Pertamina-Medco Medco Natuna.

Kontan, Page-14, Friday, Sept 29, 2017

No comments:

Post a Comment

POP UNDER

Iklan Tengah Artikel 1

NATIVE ASYNC

Iklan Bawah Artikel