The downstream sector of oil and gas in Indonesia is still attractive to investors despite its low investment realization with an average of US $ 1.73 billion per year. Meanwhile, the total realization of oil and gas investment reached US $ 18.18 billion per year. Based on data from Ministry of Energy and Mineral Resources, oil and gas investment in 2015 of US $ 17.95 billion consists of US $ 15.34 billion (upstream) and US $ 2.64 billion (downstream). Investments in 2016 fell to US $ 12.73 billion consisting of US $ 11.58 billion (upstream) and US $ 1.15 billion (downstream).
Then the realization of oil and gas investment in the first half of 2017 / US $ 3.43 billion consists of US $ 2.65 billion (upstream) and US $ 774.45 million (downstream). In fact, the government says Indonesia needs investment of up to US $ 30 billion to 2025 just to build gas infrastructure in midtsream and downstream This investment is needed to build gas pipeline along 27,273 kilometers, refineries and regasification facilities of liquefied natural gas (LNG), compressed natural gas (CNG) compression and regasification facilities, and SPBG.
Group Chief Economist BP Spencer Dale said that although the downstream investment realization in Indonesia has yet to show any significant contribution, this sector is still attractive to investors. The reason, the current trend of energy business globally changes. From the BP Statistical Review 2017, he calls the distribution of profits shifting from upstream to middle and downstream businesses.
According to him, the trend occurs because technology encourages increased supply of oil and natural gas. Thus, companies that have business lines in the field of production are beginning to look for ways to market and
opening access to buyers. Along with these trends, business actors who usually play in the upstream sector are now beginning to make the downstream sector as an investment field.
There will be many investment opportunities created in the midstream and downstream. This will happen in 10-15 years, "he said after presenting BP Statistical Review 2017 in Jakarta, Thursday (14/9).
Indonesia is supported by stable economic growth, high population and high growth of energy consumption. From BP Statistical Review 2017 data, Indonesia's fuel consumption volume in 2016 amounted to 1.61 million barrels per day (bpd) or grew 1.4% from 1.59 million bpd last year. For gas, natural gas consumption in Indonesia in 2016 fell 7% with volume 37.7 billion cubic meters and previous year 40.4 billion cubic meters.
As a oil and gas company, BP has also started to explore the midstream and downstream businesses in Indonesia. One of them, BP is expanding the LNG plant complex by adding Train-3. Not only that, BP also expanded its business to retail.
EFFICIENT YET
BP Statistical Review 2017 data recorded growth in energy consumption in Indonesia of 5.9% throughout 2016 or lower and economic growth in the second half / 2016 of 5.18% according to the Central Bureau of Statistics. The amount of energy consumption to drive the economy, according to him, is quite large.
This indicates the application of energy efficiency is still lacking. According to him, conditions will be better if the government can reverse the situation when greater economic growth and growth in energy consumption. Thus, the economy can grow with more efficient energy consumption.
"The economy can grow using lower energy consumption growth, it's good because it means you can be more economically efficient."
From the data indicate the downstream governance policy factors, one of which for natural gas affects the decline of investment. For example, at PT Perusahaan Gas Negara Tbk. which carried out infrastructure development in the period 2001-2008 with a compounded 8% compounded growth rate in 2009-2015 to 3%.
IN INDONESIA
Sektor Hilir Migas Masih Menggiurkan
Sektor hilir minyak dan gas bumi di Indonesia masih menarik bagi investor kendati realisasi investasinya masih rendah dengan rata-rata US$ 1,73 miliar per tahun. Sementara itu, rerata total realisasi investasi migas mencapai US$ 18,18 miliar per tahun. Berdasarkan data Kementenan ESDM, investasi migas pada 2015 sebesar US$ 17,95 miliar terdiri atas US$ 15,34 miliar (hulu) dan US$ 2,64 miliar (hilir). Investasi pada 2016 turun menjadi US$ 12,73 miliar terdiri atas US$ 11,58 miliar (hulu) dan US$ 1,15 miliar (hilir).
Kemudian realisasi investasi migas pada semester I/2017 US$ 3,43 miliar terdiri atas US$ 2,65 miliar (hulu) dan US$ 774,45 juta (hilir). Padahal, pemerintah menyebut Indonesia membutuhkan investasi hingga US$ 30 miliar sampai 2025 hanya untuk membangun infrastruktur gas di midtsream dan hilir Investasi ini dibutuhkan untuk membangun pipa gas sepanjang 27.273 kilometer, kilang dan fasilitas regasifikasi gas alam cair (liquefied natural gas/LNG), fasilitas kompresi dan regasifikasi gas terkompresi (compressed natural gas/CNG), serta SPBG.
Group Chief Economist BP Spencer Dale mengatakan, kendati saat ini realisasi investasi sektor hilir di Indonesia belum menunjukkan kontribusi signifikan, sektor ini masih menarik bagi para penanam modal. Alasannya, saat ini tren bisnis energi secara global mengalami perubahan. Dari BP Statistical Review 2017, dia menyebut distribusi keuntungan bergeser dari bisnis hulu ke tingkat menengah dan hilir.
Menurutnya, kecenderungan tersebut terjadi karena teknologi mendorong meningkatnya pasokan minyak dan gas bumi. Dengan demikian, perusahaan yang memiliki lini bisnis di bidang produksi mulai mencari cara untuk memasarkan dan membuka akses kepada pembeli. Bersamaan dengan tren tersebut, pelaku usaha yang biasanya bermain di sektor hulu kini mulai menjadikan sektor hilir sebagai ladang investasi.
Akan ada banyak kesempatan investasi tercipta di midstream dan downstream. Ini akan terjadi dalam 10-15 tahun,” ujarnya usai memaparkan BP Statistical Review 2017 di Jakarta, Kamis (14/9).
Indonesia didukung dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil, tingginya jumlah penduduk dan tingginya pertumbuhan konsumsi energi. Dari data BP Statistical Review 2017, volume konsumsi BBM Indonesia pada 2016 sebesar 1,61 juta barel per hari (bph) atau tumbuh 1,4% dari tahun sebelumnya 1,59 juta bph. Untuk gas, konsumsi gas alam di Indonesia pada 2016 turun 7% dengan volume 37,7 miliar kubik meter dan tahun sebelumnya 40,4 miliar kubik meter.
Sebagai perusahaan migas, BP juga sudah mulai merambah bisnis midstream dan hilir di Indonesia. Salah satunya, BP mempeluas kompleks kilang LNG dengan menambah Train-3. Tak hanya itu, BP juga memperluas bisnisnya ke ritel.
BELUM EFISIEN
Data BP Statistical Review 2017 mencatat pertumbuhan konsumsi energi di Indonesia sebesar 5,9% sepanjang 2016 atau lebih rendah dan pertumbuhan ekonomi pada semester II/2016 sebesar 5,18% menurut Badan Pusat Statistik. Besarnya konsumsi energi untuk menggerakkan perekonomian, menurutnya, tergolong besar.
Hal ini menunjukkan penerapan efisiensi energi masih kurang. Menurutnya, kondisi akan lebih baik bila pemerintah bisa membalik keadaan ketika pertumbuhan ekonomi yang lebih besar dan pertumbuhan konsumsi energi. Dengan demikian, perekonomian bisa tumbuh dengan konsumsi energi yang lebih efisien.
“Perekonomian bisa tumbuh menggunakan pertumbuhan konsumsi energi yang lebih rendah, hal itu baik karena itu berarti Anda bisa menjadi lebih efisien secara ekonomi."
Dari data menunjukkan faktor kebijakan tata kelola sektor hilir, salah satunya untuk gas alam memengaruhi turunnya investasi. Sebagai contoh, pada PT Perusahaan Gas Negara Tbk. yang melakukan pembangunan infrastruktur pada periode 2001-2008 dengan laju pertumbuhan majemuk 8% tereduksi pada 2009-2015 menjadi 3%.
Bisnis Indonesia, Page-28, Friday, Sept 15, 2017
No comments:
Post a Comment