google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 Reviewing the Convoluted Licensing in Upstream Oil and Gas - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

MARKET

Saturday, October 14, 2017

Reviewing the Convoluted Licensing in Upstream Oil and Gas



Minister of Energy and Mineral Resources (ESDM) lgnasius Jonan predicts oil and gas lifting production by the end of 2017 will not reach the target set.

Although lifting targeting always declines every year, lifting is almost never achieved. Target lifting in 2012 is set at 950,000 barrels per day (bpd), realization reached 910,000 bpd. Likewise with the target lifting in 2017 set at 815,000 bph, realization until the end of September reached 792,000 bpd.

Indeed, the decline in world oil prices is the main factor causing the decline of Indonesian oil and gas lifting. However, the decline in oil and gas production in Indonesia has actually occurred since several years ago.

Data of SKK Migas shows that in 2003 Indonesia's oil production could still reach 1,012,900 barrels of oil per day (BOPD). Since 2003, oil production has declined steadily to an average of 762,820 BOPD in 2013. Whereas in the period 2003-2008, world oil prices still increased. In 2003 world oil prices reached US $ 35.55 per barrel, then rose to US $ 100.01 per barrel in 2008.

Based on data on declining Indonesian oil production and data on world oil price hike, it indicates that there are other factors that cause the decline of oil production in Indonesia. The factor is the decrease of investment in upstream oil and gas in Indonesia which tend to decrease. Until September 2017, the realization of upstream oil and gas investment reached 29%.

Achievement is still below the target Work Plan and Budget (RKA) which has been agreed SKK Migas. In addition to low world oil prices, complicated investment licenses in upstream oil and gas become one of the causes of the RKA targets not reaching it.

During this time, the licensing regime in upstream oil and gas is very convoluted, long and tiered. The licensing procedure involves many agencies, both at the central and at the local government level. There are about 19 central and local government agencies authorized to issue investment licenses, which are divided into four phases of activities. Survey and exploration phase there are 117 permits, development and construction phases 137 permits, production phase 109 permits, and 10 post-operative phase permits. Total investment permits in upstream oil and gas that must be passed by investors as much as 373 licensing process.

The permission of oil and gas drilling permit must be done in stages, starting from the permit of regent or mayor, governor to minister, which takes about 3 months. Meanwhile, the permission to use explosives from the police takes about 1 month.

For drilling equipment that is still imported must undergo inspection in the form of master list which takes about 3 months. If a drilling site in a protected forest area is required a permit from the forestry minister takes 2 months. Likewise with the exploration approval from the Ministry of Energy and Mineral Resources as soon as possible for 4 months.

Duration of all licensing arrangements can reach more than 1-2 years. Difficult licensing in the upstream sector of oil and gas is certainly very detrimental to investors, which ultimately losses are borne by the state.

In the use of production sharing contract (PSC), the investor's losses will be charged to the state in the cost of recovery scheme, which is allocated in the APBN. The potential losses imposed on the country are estimated to be around US $ 315 million per year. If there are 10 Cooperation Contracts (KKS) experiencing a 1-year production delay, with the production capability of each KKS around 10,000 BOPD, the potential loss of the state could reach US $ 1.58 billion (assuming world oil price of US $ 50 per barrel) or Rp 20.48 trillion per year (assuming US $ 1 is equivalent to Rp 13,000).

LICENSE REFORM

In order to minimize the potential losses and decline in oil and gas production due to the convoluted licensing, there needs to be systemic and sustainable efforts to reform licensing in upstream oil and gas. These reforms include downsizing agencies authorized to grant permits, simplify and accelerate the licensing process conducted in one roof at BKPM, while the relevant agencies simply recommend only.

Recommendations on oil and gas engineering and security aspects were issued by the Ministry of ESDM and Polri, spatial planning by local government, infrastructure aspects by the Ministry of Public Works, and environmental aspect recommendations issued by the Ministry of Environment.

The number of licenses that up to now is still 373 licensing processes should be cut into 16 licensing processes. Each phase is shortened to a maximum of four permitting processes for each phase based on defined cluster. The entire licensing process should be completed within a maximum of 3 months.

In addition, all licensing arrangements and recommendation submissions are made by SKK Migas which facilitates KKS, while licensing fees are still charged to the contractor. Facilitated by SKK Migas, the contractor can focus on survey, development and construction, and production activities. Even since the contractor has submitted a request for permit to SKK Migas, that is when the contractor is allowed to start the survey activity.

Without the regime permit reform in the upstream oil and gas sector, do not expect Indonesia's oil production to be improved. Even the lifting target set in the APBN in each year will never be achieved, as it has been so far.

IN INDONESIA


Menyoal Perizinan Berbelit di Hulu Migas


Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) lgnasius Jonan memprediksi produksi siap jual (lifting) minyak dan gas pada akhir 2017 tidak akan bisa mencapai target yang ditetapkan. 

Kendati penetapan target lifting selalu menurun pada setiap tahunnya, tetapi realisasi lifting hampir tidak pernah tercapai.  Target lifting pada 2012 ditetapkan sebesar 950.000 barel per hari (bph), realisasi dicapai sebesar 910.000 bph. Begitu juga dengan target lifting pada 2017 ditetapkan sebesar 815.000 bph, realisasinya hingga akhir September baru mencapai 792.000 bph.

Memang penurunan harga minyak dunia menjadi faktor utama yang menyebabkan penurunan lifting migas Indonesia. Namun, kecenderungan penurunan produksi migas Indonesia sesungguhnya sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu.

Data SKK Migas menunjukkan pada 2003 produksi minyak Indonesia masih bisa mencapai 1.012.900 barrel oil per day (BOPD). Sejak 2003, produksi minyak mengalami penurunan secara berkelanjutan hingga mencapai rata-rata 762.820 BOPD pada 2013. Padahal pada periode 2003-2008, harga minyak dunia masih mengalami kenaikan. Pada 2003 harga minyak dunia mencapai sebesar US$ 35,55 per barel, lalu naik menjadi US$ 100,01 per barel pada 2008.

Berdasarkan data penurunan produksi minyak Indonesia dan data kenaikan harga minyak dunia, hal itu mengindikasikan bahwa ada faktor lain yang menjadi penyebab penurunan produksi minyak di Indonesia. Faktor itu adalah adanya penurunan investasi di hulu migas di Indonesia yang cenderung mengalami penurunan. Hingga September 2017, realisasi investasi hulu migas baru mencapai 29%. 

Pencapaian itu masih di bawah target Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) yang sudah disepakati SKK Migas. Selain rendahnya harga minyak dunia, izin investasi yang rumit di hulu migas menjadi salah satu penyebab tidak tercapainya target RKA itu.

Selama ini, rezim perizinan di hulu migas sangat berbelit, panjang dan berjenjang. Prosedur perizinan melibatkan banyak instansi, baik di pusat maupun di tingkat pemerintah daerah. Ada sekitar 19 instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berwenang mengeluarkan izin investasi, yang dibagi dalam empat fase kegiatan. Fase survei dan eksplorasi ada 117 izin, fase pengembangan dan konstruksi 137 izin, fase produksi 109 izin, dan fase pasca operasi 10 izin. Total izin investasi di hulu migas yang harus dilewati investor sebanyak 373 proses perizinan.

Pengurusan izin prinsip pengeboran migas harus dilakukan secara berjenjang, mulai dari izin bupati atau walikota, gubernur hingga menteri, yang membutuhkan waktu sekitar 3 bulan. Sementara itu, pengurusan izin penggunaan bahan peledak dari kepolisian membutuhkan waktu sekitar 1 bulan.

Untuk peralatan pengeboran yang masih diimpor harus menjalani pemeriksaan dalam bentuk master list yang membutuhkan waktu sekitar 3 bulan. Jika lokasi pengeboran di area hutan lindung diperlukan izin dari menteri kehutanan yang membutuhkan waktu 2 bulan. Begitu juga dengan persetujuan eksplorasi dari Kementerian ESDM paling cepat selama 4 bulan.

Jangka waktu pengurusan seluruh perizinan bisa mencapai lebih dari 1-2 tahun. Sulitnya perizinan di sektor hulu migas itu tentunya sangat merugikan bagi investor, yang ujung-ujungnya kerugian itu ditanggung negara.

Dalam penggunaan Production Sharing Contract (PSC), kerugian investor itu akan dibebankan kepada negara dalam skema cost of recovery, yang dialokasikan dalam APBN. Potensi kerugian yang dibebankan kepada negara itu diperkirakan bisa mencapai sekitar US$ 315 juta per tahun. Jika terdapat 10 Kontrak Kerja Sama (KKS) yang mengalami keterlambatan produksi selama 1 tahun, dengan kemampuan produksi setiap KKS sekitar 10.000 BOPD, potensi kerugian negara bisa mencapai US$ 1,58 miliar (dengan asumsi harga minyak dunia sebesar US$ 50 per barel) atau sebesar Rp 20,48 triliun per tahun (asumsi US$ 1 setara Rp 13.000).

REFORMASI PERIZINAN

Untuk menekan potensi kerugian dan penurunan produksi migas akibat berbelitnya perizinan, perlu ada upaya sistemis dan berkelanjutan untuk reformasi perizinan di hulu migas. Reformasi tersebut meliputi perampingan instansi yang berwenang memberikan izin, penyederhanaan dan percepatan proses perizinan yang dilakukan dalam satu atap di BKPM, sedangkan instansi terkait cukup memberikan rekomendasi saja. 

Rekomendasi aspek teknik migas dan keamanan dikeluarkan oleh Kementerian ESDM dan Polri, aspek tata ruang oleh pemerintah daerah, aspek infrastruktur oleh Kementerian Pekerjaan umum, dan rekomendasi aspek lingkungan hidup dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup.

Jumlah perizinan yang hingga kini masih sebanyak 373 proses perizinan harus dipangkas menjadi 16 proses perizinan. Masing-masing fase dipersingkat menjadi paling banyak empat proses perizinan untuk setiap fase berdasarkan klaster ditetapkan. Seluruh proses perizinan tersebut harus dapat diselesaikan paling lama dalam 3 bulan saja.

Selain itu, seluruh pengurusan perizinan dan pengajuan rekomendasi dilakukan oleh SKK Migas yang memfasilitasi KKS, sedangkan biaya pengurusan perizinan tetap dibebankan kepada kontraktor. Dengan difasilitasi SKK Migas, kontraktor bisa fokus pada kegiatan survei, pengembangan dan konstruksi, dan produksi. Bahkan sejak kontraktor sudah mengajukan permintaan pengurusan izin ke SKK Migas, pada saat itulah kontraktor diperbolehkan untuk memulai kegiatan survei.

Tanpa adanya reformasi rezim perizinan di sektor hulu migas, jangan harap produksi minyak Indonesia akan dapat ditingkatkan. Bahkan target lifting yang ditetapkan dalam APBN pada setiap tahunnya tidak akan pernah tercapai, seperti yang terjadi selama ini.

Bisnis Indonesia, Page-2, Saturday, October 14, 2017

No comments:

Post a Comment

POP UNDER

Iklan Tengah Artikel 1

NATIVE ASYNC

Iklan Bawah Artikel