Not infrequently the contractors kantrak cooperation (KKS) complained about the oil and gas licensing process in the country that is too long. It makes the cost of the praduksi become more expensive.
In fact, the government continues to encourage the efficiency of production costs that will be paid through the cost recovery scheme is lower. Senior Vice President of Policy, Government & Public Affairs of Chevron Indonesia Yanto Sianipar said that to ensure sustainable investment, the government needs to clean up. Company, investing to get the best technology so as to accelerate work in the field.
On the other hand, the government still has homework in the form of long bureaucracy and inter-agency work and ministries that are less hamionis. Problems from the government side, making the contract period wasted for things that could actually be more simplified.
Based on Government regulation 35/2004 on Upstream Oil and Gas Business Activities, the cooperation contract is valid for 30 years with a maximum extension of twice 10 years. In practice, the process for producing oil and gas since the reserves was found in some areas is so long.
From the data of Special Unit for Upstream Oil and Gas Business Executor (SKK Migas), such as in East Java for offshore areas takes more than 15 years.
The period from the discovery of reserves to the stage of oil and gas production in Riau takes 15 years, the block off the coast of East Kalimantan takes 10 years, the land block in Maluku and Kalimantan takes about 7 years. The reason, each region has a different administration. The process of reaching that long production stage makes the production period shorter.
"The bureaucracy and inter-ministerial cooperation or non-technical traits that are very disturbing are not very supportive of sustainable investment. So maybe we need to also mengaddress or see the side of this nonteknis. How many our time is up, "he said.
In fact, BD Field, Madura Strait Block takes up to 30 years and the reserve discovery phase in 1987 until its first gas production in 2017. Extraordinarily long. In addition, as contractors contracting with the government, acceleration should be a government initiative. The reason, the government gets a portion of the results of activities conducted by companies other than taxes.
HELD STATE
Vice President of Sales and Commercial of BP Indonesia Budi Aguswidjaja said that the government as a party contracted with the company participates in the risk so that the processes that hamper the activity actually reduce the state profit.
Licensing process such as in the Ministry of Forestry and Environment also Ministry of Transportation, especially the sea not as fast as can be done in the Ministry of Energy and Mineral Resources.
"They should know that contracting with the state of treatment is distinguished. Not that we have the right to do without permission, but please we are given acceleration, get special treatment, "said Budi.
In a question and answer session on exploration activities with EMR Representative Menten Arcandra Tahar, the contractor complained about the difficulty of land acquisition. The contractor tells how to deal with land disputes with the owners. Not infrequently, disputes have even been processed on the green table and local governments can no longer help. In addition, contractors also have to deal with landowners who fix the price is too expensive.
Vice President of Public & Government Affairs ExxonMobil Cepu Limited Erwin Maryoto said it still has 4,400 m2 of land surrounding the central processing facility (CPF) that has not been released yet. The problem is that people want great value considering the oil reserves in it. He said that land acquisition would be easier if SKK Migas in the area could help. That is, just as when contractors are still contracted with Pertamina.
"In Banyu Urip Field there are still 4,400 m2 of land in the CPF facility that can not be acquired because the owner asked for Rp 1 trillion because he as the land owner calculates that oil is in it," he said.
Regarding land procurement, Head of the Division of Fonnalitas SKK Migas Didi Setiadi said that explicitly, the government has arranged the mechanism of land acquisition for the public interest.
SKK Migas as an extension of the government's hand can help negotiate with landowners, while the contractor pays only the agreed price. However, it is necessary to implement regulations in order to specifically regulate the Ministry of ESDM and the Ministry of Agrarian and Spatial Planning.
"It will be how we make this into the implementation rules so the Presidential Regulation may be more specific so it needs synchronization," Didi said.
The longer the process toward oil and gas production actually hoards the cost of production that is charged to the state through cost recovery scheme.
IN INDONESIA
Ketika Kontraktor (Terus) Mengeluh
Tidak jarang para kontraktor kantrak kerja sama (KKS) mengeluh soal proses perizinan minyak dan gas bumi di Tanah Air yang terlalu panjang. Hal itu membuat biaya praduksi menjadi lebih mahal.
Padahal, pemerintah terus mendorong adanya efisiensi agar biaya produksi yang akan dibayar melalui skema cost recovery lebih rendah. Senior Vice President Policy, Government & Public Affairs Chevron Indonesia Yanto Sianipar mengatakan bahwa untuk memastikan investasi berkelanjutan, pemerintah perlu berbenah. Perusahaan, berinvestasi untuk mendapat teknologi terbaik sehingga mempercepat kerja di lapangan.
Di sisi lain, pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah berupa panjangnya birokrasi dan kerja antar lembaga dan kementerian yang kurang hamionis. Masalah dari sisi pemerintah itu, membuat masa kontrak terbuang untuk hal yang sebenarnya bisa lebih disederhanakan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, kontrak kerja sama berlaku selama 30 tahun dengan perpanjangan maksimum dua kali 10 tahun. Dalam pelaksanaannya, proses untuk memproduksikan minyak dan gas bumi sejak cadangan ditemukan di beberapa daerah begitu panjang.
Dari data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) seperti di Jawa Timur untuk wilayah lepas pantai membutuhkan waktu di atas 15 tahun.
Periode dari penemuan cadangan sampai tahap produksi migas di Riau butuh waktu 15 tahun, blok lepas pantai Kalimantan Timur butuh 10 tahun, blok darat di Maluku dan Kalimantan butuh sekitar 7 tahun. Alasannya, masing-masing daerah memiliki administrasi yang berbeda. Proses untuk mencapai tahap produksi yang panjang tersebut membuat masa produksi menjadi lebih pendek.
“Birokrasi dan kerja sama antar kementerian ataupun sifat-sifat non-teknis yang sangat mengganggu itu sangat tidak mendukung investasi berkelanjutan. Jadi mungkin kita perlu juga mengaddress atau melihat sisi dari yang nonteknis ini. Berapa banyak waktu kita habis,” ujarnya.
Bahkan, Lapangan BD, Blok Madura Strait membutuhkan waktu hingga 30 tahun dan tahap penemuan cadangan pada 1987 hingga produksi gas pertamanya pada 2017. Luar biasa lama. Selain itu, sebagai kontraktor yang berkontrak dengan pemerintah, seharusnya percepatan menjadi inisiatif pemerintah. Pasalnya, pemerintah mendapatkan porsi dari hasil kegiatan yang dilakukan perusahaan selain dari pajak.
MERUGIKAN NEGARA
Vice President Sales and Commercial BP Indonesia Budi Aguswidjaja mengatakan bahwa pemerintah sebagai pihak yang berkontrak dengan perusahaan turut menanggung risiko sehingga proses-proses yang menghambat kegiatan sebenarnya mengurangi keuntungan negara.
Proses perizinan seperti di Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup juga Kementerian Perhubungan khususnya laut tak secepat yang bisa dilakukan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
“Seharusnya mereka tahu kalau berkontrak dengan negara perlakuannya dibedakan. Bukan berarti kami berhak melakukan tanpa izin, tetapi mohon kami diberikan percepatan, mendapat perlakuan khusus,” kata Budi.
Dalam sesi tanya-jawab tentang kegiatan eksplorasi bersama Wakil Menten ESDM Arcandra Tahar, kontraktor pun mengeluhkan sulitnya melakukan pengadaan lahan. Kontraktor menceritakan bagaimana menghadapi sengketa lahan dengan para pemilik. Tidak jarang, sengketa bahkan telah diproses di meja hijau dan pemerintah daerah tidak bisa lagi membantu. Selain itu, kontraktor pun harus berhadapan dengan pemilik lahan yang mematok harga terlalu mahal.
Vice President Public & Government Affairs ExxonMobil Cepu Limited Erwin Maryoto mengatakan bahwa pihaknya masih memiliki lahan seluas 4.400 m2 di sekitar fasilitas pemrosesan pusal (central processing facility/CPF) yang belum terbebaskan. Masalahnya, warga menginginkan nilai yang besar dengan mempertimbangkan cadangan minyak yang ada di dalamnya. Dia menyebut bahwa pengadaan lahan akan lebih mudah bila SKK Migas yang berada di daerah bisa membantu. Hal itu, sama halnya ketika kontraktor masih berkontrak dengan Pertamina.
“Di Lapangan Banyu Urip ini masih ada 4.400 m2 tanah dalam fasilitas CPF itu yang belum bisa dibebaskan karena pemiliknya minta Rp 1 triliun karena dia sebagai pemilik tanah menghitung bahwa di dalamnya ada minyak,” katanya.
Tentang pengadaan tanah, Kepala Divisi Fonnalitas SKK Migas Didi Setiadi mengatakan bahwa secara eksplisit, pemerintah telah mengatur mekanisme pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
SKK Migas sebagai perpanjangan tangan pemerintah bisa membantu negosiasi dengan para pemilik lahan, sedangkan kontraktor hanya membayar harga yang telah disepakati. Hanya saja, diperlukan peraturan pelaksanaan agar bisa mengatur secara spesifik terutama menghubungkan Kementerian ESDM dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
“Akan bagaimana kita menjadikan ini ke dalam peraturan pelaksanaan jadi dari Peraturan Presidennya itu mungkin bisa lebih spesifik sehingga butuh sinkronisasi,” kata Didi.
Semakin panjang proses menuju produksi migas sebenarnya turut mengerek biaya produksi yang dibebankan kepada negara melalui skema cost recovery.
Bisnis Indonesia, Page-30, Wednesday, October 4, 2017
No comments:
Post a Comment