The government is still looking for a formula for declining industrial gas prices.
Deputy Minister of Energy and Mineral Resources Arcandra Tahar said the Indonesian government will not import LNG, at least until 2019. This, said Arcandra, caused LNG reserves that have not been absorbed still much next year.
This is related to the projection of domestic LNG production in 2019 could reach 250 cargoes. The production will also be supported by several gas projects, such as Indonesia Deepwater Development (IDD) which will operate in 2022 and Masela in 2024.
"This year alone, there are 40 domestic LNG cargoes that do not sell and eventually sold to the spot market.Based on the best estimate of the government, in 2019 may not have been importing LNG, because there is still uncomitted cargo for PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) until 2019 and 2020, "said Arcandra in Jakarta, Tuesday (21/11).
In addition to adequate reserves, Arcandra explained, domestic uptake will also increase if you look at the current industry growth trends. Especially, the promising export demand, Arcandra explained, this would be the uptake of national gas production.
"We also have a gas network of households, gas pipelines, if we see the trend of domestic uptake will continue to increase," said Arcandra.
This growth is also seen from the growth in gas demand which according to Arcandra continues to grow from 2003 to 2016 ago by six percent. Meanwhile, in 2017, domestic demand is 56 percent.
The Ministry of Energy and Mineral Resources noted that by 2017 at least domestic gas reserves will be successfully absorbed by exports of both LNG and pipelines by 41 percent. Meanwhile, the industrial sector absorbed 23.53 percent, as well as the domestic fertilizer industry absorbed 11.15 percent.
Even so, it plans to reset the national gas balance to map national gas needs and reserves. This will be related to the possibility of Indonesia one day experienced a gas reserve deficit.
Arcandra said the gas balance that is currently being recalculated is targeted to be completed later this year. It is also to see how big uncommited cargo LNG that can not be absorbed by PLN and other industries.
Regarding the price of gas, Arcandra did not dismiss if the issue is still a hot talk among the industry. Currently, Arcandra said, the government is still looking for a formula to produce gas prices that can be accepted by the downstream industry, but not deadly upstream oil and gas industry.
Arcandra said one of the things currently undertaken by the ESDM Ministry is to dismantle the gas price structure. If the current price of gas is still around 11 US dollars per million metric british thermal unit (MMBTU) is admitted Aracandra much complained by the industry.
However, according to Arcandra, by asking for gas prices in the number 3 dollars per MMBTU, it will potentially harm the upstream oil and gas industry.
Earlier, Director of Upstream Chemical Industry Ministry of Industry Muhammad Khayam said three industrial sectors were waiting for the decline in gas prices, as proposed by the Ministry of Industry. Three sectors, among others, the steel industry, petrochemical industry, and fertilizer industry.
"We are waiting for the latest EMR Ministerial Regulation to enable 78 companies to participate in the gas price reduction," said Director of Upstream Chemical Industry Ministry of Industry Muhammad Khayam in Jakarta.
Of the 86 companies submitted by the Ministry of Industry, only eight companies are getting discounted gas price pursuant to Regulation of the Minister of Energy and Mineral Resources No. 40 of 2016 on Gas Prices for Certain Industries. The eight companies are PT Kaltim Parna Industri, PT Kaltim Methanol Industries, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Kujang Cikampek, PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Petrokimia Gresik and PT Krakatau Steel.
IN INDONESIA
Rl tidak Akan lmpor LNG
Pemerintah masih mencari formula penurunan harga gas industri.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar mengatakan, Pemerintah Indonesia tidak akan melakukan impor LNG, paling tidak, hingga 2019 mendatang. Hal ini, kata Arcandra, disebabkan cadangan LNG yang belum terserap masih banyak pada tahun depan.
Hal ini terkait proyeksi produksi LNG dalam negeri pada 2019 bisa mencapai 250 kargo. Produksi ini juga nantinya didukung beberapa proyek gas, seperti Indonesia Deepwater Development (IDD) yang akan beroperasi 2022 dan Masela pada 2024.
"Tahun ini saja, ada 40 kargo LNG dalam negeri yang tidak laku dan akhirnya dijual ke pasar spot. Berdasarkan perkiraan terbaik pemerintah, pada 2019 mungkin saja belum mengimpor LNG. Ini karena masih ada uncomitted cargo untuk PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sampai 2019 dan 2020," ujar Arcandra di Jakarta, Selasa (21/11).
Selain cadangan yang mencukupi, Arcandra menjelaskan, serapan domestik juga akan meningkat jika melihat tren pertumbuhan industri saat ini. Terutama, permintaan ekspor yang masih menjanjikan, Arcandra menjelaskan, hal ini akan menjadi serapan dari produksi gas nasional.
"Kita juga ada jaringan gas rumah tangga, gas pipa, jika kita lihat trennya serapan domestik akan terus meningkat," ujar Arcandra.
Pertumbuhan ini juga dilihat dari pertumbuhan kebutuhan gas yang menurut Arcandra terus tumbuh sejak 2003 hingga 2016 lalu sebesar enam persen. Sedangkan, pada 2017 ini kebutuhan domestik sebesar 56 persen.
Kementerian ESDM mencatat, pada 2017 setidaknya cadangan gas dalam negeri berhasil diserap oleh ekspor baik LNG maupun gas pipa sebesar 41 persen. Sedangkan, sektor industri menyerap 23,53 persen, begitu juga dengan industri pupuk yang menyerap gas dalam negeri sebesar 11,15 persen.
Meski begitu, pihaknya berencana melakukan atur ulang neraca gas nasional untuk memetakan kebutuhan dan cadangan gas nasional. Hal ini nantinya berkaitan dengan kemungkinan Indonesia suatu saat mengalami defisit cadangan gas.
Arcandra mengatakan, neraca gas yang saat ini sedang dihitung ulang tersebut ditargetkan bisa selesai akhir tahun ini. Hal ini juga untuk melihat seberapa besar uncommited cargo LNG yang tidak bisa diserap oleh PLN dan industri lainnya.
Terkait harga gas, Arcandra tidak menampik jika persoalan itu masih menjadi perbicangan hangat di kalangan industri. Saat ini, kata Arcandra, pemerintah masih mencari formula agar bisa memproduksi harga gas yang bisa diterima oleh industri hilir, tapi tidak mematikan industri hulu migas.
Arcandra mengatakan, salah satu yang saat ini dikerjakan oleh Kementerian ESDM adalah membongkar struktur harga gas. Jika saat ini harga gas masih berkisar 11 dolar AS per million metric british termal unit (MMBTU) memang diakui Aracandra banyak dikeluhkan oleh industri.
Akan tetapi, menurut Arcandra, dengan meminta harga gas di angka 3 dolar per MMBTU, hal tersebut akan berpotensi merugikan industri hulu migas.
Sebelumnya, Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam mengatakan, tiga sektor industri menunggu penurunan harga gas, seperti yang diajukan Kementerian Perindustrian. Tiga sektor itu, antara lain, industri baja, industri petrokimia, dan industri pupuk.
"Kami sedang menunggu Peraturan Menteri ESDM terbaru agar 78 perusahaan itu bisa ikut mendapatkan penurunan harga gas," kata Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam di Jakarta.
Dari 86 perusahaan yang diajukan Kementerian Perindustrian, hanya delapan perusahaan yang mendapatkan potongan harga gas berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 40 Tahun 2016 tentang Harga Gas Bumi untuk Industri Tertentu. Delapan perusahaan tersebut adalah PT Kaltim Parna Industri, PT Kaltim Methanol Industri, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Kujang Cikampek, PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Petrokimia Gresik, dan PT Krakatau Steel.
Republika, Page-13, Wednesday, Nov 22, 2017
No comments:
Post a Comment