The Upstream Oil and Gas Upstream Business Unit (SKK Migas) said that it will seek other buyers if domestic industries are bidding on gas from Masela Block at US $ 3 per million British thermal unit (mmbtu). Because the indication of gas prices in the Bintuni region has now reached US $ 5.2 per mmbtu.
Amien Sunaryadi
Head of SKK Migas Amien Sunaryadi said, until now, has not been determined gas pipeline allocation from Masela Block and who the buyer. However, if the domestic industry asks a price of US $ 3 per mmbtu, it would prefer to find other buyers.
"Because of this, the indicative price of those bidding in Bintuni Bay is US $ 5.2 per mmbtu. I went to China, all the way there, where it costs US $ 6.2 per mmbtu. If US $ 3 per mmbtu, SKK Migas will find other buyers, the point is higher, "he said.
According to him, SKK Migas will not release gas to intermediaries. Companies that bid gas at low prices are called likely to be no more than middlemen, not credible companies. The intermediary will eventually sell returns the gas supply to the manufacturing industry at a higher price.
Amien added it wants to sell gas from this Masela Block with a better price and to the bonafide company. The company could be on the Fortune 500 list or at least known in Indonesia.
"Well, if in Indonesia intermediary companies are not known, there is no profit we business with them," he said.
Ego Syahrial
Secretary-General and Director General of Oil and Gas at the Ministry of Energy and Mineral Resources (ESDM) Ego Syahrial added that related to gas pipeline allocation from Masela Project, it is still waiting for data from the Ministry of Industry about industries that need gas supply.
"This process is still ongoing," he said.
As is known, initially there are two options of liquefied natural gas (LNG) capacity of Masela Block, depending on domestic demand for gas. The two options include 9.5 million tons per year (million ton per annum / MTPA) refinery plus 150 million standard cubic feet per day (mmscfd) and 7.5 MTPA plus 474 mmscfd.
Therefore, Inpex is currently conducting a pre-defined project or pre-end engineering (pre-FEED) study after receiving a work order from SKK Migas. Pre-FEED will be an important step to formulate revised field development plans.
Amien added that the PreFEED study includes offshore and offshore pipelines, offshore facilities and LNG plants, as well as refinery locations. Pre-FEED is targeted for completion by the middle of this year. "So the year-end revision POD (Plan of Development) 1 project can be completed," he said.
So far it has been agreed that Pre-FEED is conducted with one production capacity option and one island. This is in accordance with the decision the visit of Minister of Energy and Mineral Resources to Japan on May 16, 2017. Meanwhile, on the warrant mentioned that the LNG plant capacity is set 9.5 million tons per year and pipe gas production of 150 mmscfd.
the Masela Block
To ensure continuity of the project, the government will grant a production sharing contract for Inpex Corporation in Masela Block for 27 years. So the Masela Block contract will end in 2055, rather than in 2028 as the initial contract.
The decision was one of the results of a discussion between the Minister of Energy and Mineral Resources (EMR) Ignatius Jonan and Inpex Corporation CEO Toshiaki Kitamura in October last year. As is known, PSC Block Masela signed Inpex in 1998 yesterday.
Furthermore, in 2010, the POD block was approved by the government under a floating LNG plant scheme. Inpex then proceeded to drill appraisal wells in 2013-2014 which ensured additional reserves. However, when Inpex submitted POD revision due to increasing reserve size, the government in 2016 then established the Masela Block development with an onshore LNG plant scheme.
The Masela Block, signed in 1998, is administered by Inpex as an operator with 65% share ownership and Shell Upstream Overseas Services of 35%. The Indonesian government hopes that Inpex can immediately start the gas field project.
IN INDONESIA
Gas Masela Ditawar Murah, SKK Migas Cari Pembeli Lain
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengaku bakal mencari pembeli lain jika industri dalam negeri menawar gas dari Blok Masela pada harga US$ 3 per juta british thermal unit (mmbtu). Pasalnya, indikasi harga gas di wilayah Bintuni saat ini sudah mencapai US$ 5,2 per mmbtu.
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengatakan, hingga saat ini, belum ditetapkan alokasi gas pipa dari Blok Masela dan siapa pembelinya. Namun, jika industri dalam negeri meminta harga US$ 3 per mmbtu, pihaknya lebih memilih mencari pembeli lain.
“Karena begini, indicative price dari yang menawar di Teluk Bintuni itu US$ 5,2 per mmbtu. Saya pergi ke China, jauh-jauh ke sana, di sana harganya US$ 6,2 per mmbtu. Kalau US$ 3 per mmbtu, SKK Migas akan mencari pembeli lain, intinya yang lebih tinggi,” kata dia.
Menurutnya, SKK Migas tidak akan melepas gas kepada perantara. Perusahaan yang menawar gas pada harga rendah disebutnya kemungkinan besar tidak lebih dari sekedar perantara, bukan perusahaan kredibel. Perantara tersebut pada akhirnya akan menjual kembali pasokan gas tersebut ke industri manufaktur dengan harga yang lebih tinggi.
Amien menambahkan, pihaknya ingin menjual gas dari Blok Masela ini dengan harga yang lebih baik dan kepada perusahaan bonafid. Perusahaan tersebut bisa saja termasuk dalam daftar Fortune 500 atau setidaknya dikenal di Indonesia.
“Nah, kalau di Indonesia saja perusahaan perantara tidak dikenal, tidak ada untungnya kita bisnis dengan mereka,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal merangkap Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ego Syahrial menambahkan, terkait alokasi gas pipa dari Proyek Masela, pihaknya masih menunggu data dari Kementerian Perindustrian tentang industri-industri yang membutuhkan pasokan gas.
“Ini prosesnya masih berlangsung,” tutur dia.
Seperti diketahui, awalnya terdapat dua opsi kapasitas kilang gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) Blok Masela, tergantung pada kebutuhan gas di dalam negeri. Dua opsi itu yaitu kilang berkapasitas 9,5 juta ton per tahun (million ton per annum/MTPA) plus 150 juta kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/ mmscfd) serta 7,5 MTPA plus 474 mmscfd.
Untuk itu, kini Inpex sedang melakukan kajian pra-pendefinisian proyek atau pre front end engineering design (pre-FEED) setelah menerima surat perintah kerja dari SKK Migas. Pra-FEED akan menjadi tahapan penting untuk memformulasikan revisi rencana pengembangan lapangan.
Amien menambahkan, kajian PreFEED tersebut mencakup pipa offshore hingga darat, fasilitas offshore dan kilang LNG, serta lokasi kilang. Pre-FEED ditargetkan selesai pada pertengahan tahun ini. “Sehingga akhir tahun revisi POD (plan of development/rencana pengembangan) 1 proyek ini bisa selesai,” kata dia.
Sejauh ini telah disepakati bahwa Pre-FEED dilakukan dengan satu opsi kapasitas produksi dan satu pulau. Hal ini sesuai keputusan usai kunjungan Menteri ESDM ke Jepang pada 16 Mei 2017. Adapun, pada surat perintah disebutkan bahwa kapasitas kilang LNG ditetapkan 9,5 juta ton per tahun dan produksi gas pipa sebesar 150 mmscfd.
Untuk menjamin kelanjutan proyek, pemerintah akan memberikan perpanjangan kontrak kerja sama (production sharing contract) bagi Inpex Corporation di Blok Masela selama 27 tahun. Sehingga kontrak Blok Masela akan berakhir pada 2055, alih-alih pada pada 2028 seperti kontrak awal.
Keputusan tersebut merupakan salah satu hasil pembahasan antara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan CEO Inpex Corporation Toshiaki Kitamura pada Oktober tahun lalu. Seperti diketahui, PSC Blok Masela ditandatangani Inpex pada 1998 lampau.
Selanjutnya pada 2010, POD blok ini disetujui pemerintah dengan skema kilang LNG terapung. Kemudian, Inpex melanjutkan pengeboran sumur appraisal pada 2013-2014 yang memastikan tambahan cadangan, Namun, ketika Inpex mengajukan revisi POD karena bertambahnya besaran cadangan, pemerintah pada 2016 lalu menetapkan pengembangan Blok Masela dengan skema kilang LNG di darat.
Blok Masela yang ditandatangani tahun 1998 dikelola oleh Inpex sebagai operator dengan kepemilikan saham 65% dan Shell Upstream Overseas Services sebesar 35%. Pemerintah Indonesia berharap agar Inpex bisa segera memulai proyek lapangan gas tersebut.
Media Indonesia, Page-18, Wednesday, Jan 10, 2018
No comments:
Post a Comment